Monday, August 26, 2019
Penjelasan Tentang Yesus Di Kayu Salib dan Salib Yesus
Yesus wafat di salib atau di tiang?
Ada sebagian orang percaya bahwa Yesus disalib di tiang dan bukan dipaku di tiang berbentuk salib. Sebenarnya fakta bahwa Yesus benar- benar disalibkan [artinya dipaku di tiang berbentuk salib] sesungguhnya tertulis dalam Kitab Suci, dan dapat dipelajari dari fakta- fakta sejarah.
1. Dari Kitab Suci:
Yesus berkata: “Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya Ia diolok-olokkan, disesah dan disalibkan, dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.” (Mat 20:18-19)
“Sesudah mengolok-olokkan Dia mereka menanggalkan jubah itu dari pada-Nya dan mengenakan pula pakaian-Nya kepada-Nya. Kemudian mereka membawa Dia ke luar untuk disalibkan. Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus.” (Mat 27:31-32, lih. Mrk 15:20-21, Luk 23:26)
“Bersama dengan Dia disalibkan dua orang penyamun, seorang di sebelah kanan dan seorang di sebelah kiri-Nya.” (Matius 27:38, lih. Mrk 15:27-28)
Ketika mereka sampai di tempat yang bernama Tengkorak, mereka menyalibkan Yesus di situ dan juga kedua orang penjahat itu, yang seorang di sebelah kanan-Nya dan yang lain di sebelah kiri-Nya, (Luk 23:33, lih. Yoh 19:18)
“Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan! Ia Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib itu dan kami akan percaya kepada-Nya.” (Mat 27:42)
Sementara mereka berdiri termangu-mangu karena hal itu, tiba-tiba ada dua orang berdiri dekat mereka memakai pakaian yang berkilau-kilauan. Mereka sangat ketakutan dan menundukkan kepala, tetapi kedua orang itu berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit. Ingatlah apa yang dikatakan-Nya kepada kamu, ketika Ia masih di Galilea, yaitu bahwa Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga.” (Luk 24:4-7)
2. Dari tulisan Bapa Gereja
a. St. Ignatius dari Antiokhia (35-117)
“Aku memuliakan Yesus Kristus, Tuhan yang telah melimpahi kamu dengan kebijaksanaan sedemikian…. Tentang Tuhan kita, kamu telah sepenuhnya yakin bahwa Ia adalah keturunan Daud menurut kemanusiaan-Nya, dan Sang Putera Allah menurut kehendak dan kuasa-Nya; bahwa Ia sungguh lahir dari seorang Perawan dan dibaptis oleh Yohanes agar segala pelaksanaan hukum dapat digenapi oleh-Nya (Mat 3:15); bahwa di dalam tubuh-Nya Ia sungguh-sungguh dipakukan di kayu salib demi kita, di bawah pemerintahan Pontius Pilatus dan Herodes, sang tetrakh, yang dari kisah Sengsara-Nya itu kita adalah buahnya, sehingga melalui kebangkitan-Nya, Ia dapat membangkitkan untuk sepanjang segala abad, sebuah standar bagi para orang kudus dan umat beriman di dalam satu tubuh Gereja-Nya, baik itu di kalangan orang Yahudi ataupun non- Yahudi.” (St. Ignatius of Antioch, Letter to the Smyrnaeans, Ch. 1)
b. St. Yustinus Martir (100-165)
“Jika, dengan demikian Bapa menghendaki agar Kristus mengambil bagi-Nya kutuk atas seluruh umat manusia, dengan memahami bahwa, setelah Ia disalibkan dan wafat, Ia akan membangkitkan Dia, mengapa kamu mempertanyakan tentang-Nya, yang taat untuk menderita semuanya ini menurut kehendak Bapa, seolah Ia dikutuk, dan bukannya malah menangisi dirimu sendiri?….” (St. Justin Martyr, Dialogue with Trypho, ch. 95)
3. Dari fakta sejarah
a. Sejarah mencatat bahwa penyaliban merupakan salah satu cara hukuman mati yang dilakukan di Persia, Seleusia, Carthage dan Roma sekitar abad 6 BC sampai abad 4 AD.
Tahun 337 hukuman penyaliban ini dihapuskan oleh Kaisar Konstantin di Roma. Memang istilah ‘crucifixion‘ dapat mengacu kepada hukuman siksaan di tiang ataupun pada pohon, namun juga dapat berarti pemakuan pada kombinasi palang kayu tiang terdiri dari tiang vertikal dan horizontal. Jika palang horizontal digunakan maka narapidana tersebut dipaksa untuk memanggulnya di bahunya, yang kemungkinan sudah luka- luka karena cambukan, ke tempat penyaliban. Sedangkan tiang vertikalnya umumnya sudah ada di tempat penyaliban. Kitab Suci mengatakan, bahwa setelah didera/ dihajar (lih. Luk 23:16) Yesus dibawa keluar untuk disalibkan, dan kemudian Simon dari Kirene dipaksa untuk membantu memikul salib Kristus (lih. Mrk 15: 21, Luk 23:16). Maka kita ketahui di sini bahwa Yesus disalibkan dengan pada tiang dengan palang mendatar/ horizontal, sebab palang inilah yang dipikul-Nya dan oleh Simon yang kemudian membantu-Nya.
b. Josephus (37-100), seorang sejarahwan Yahudi pada abad awal menuliskan beberapa cara penyiksaan dan posisi penyaliban pada sekitar keruntuhan Yerusalem di abad pertama.
Terdapat banyak cara penyaliban, namun yang umum adalah dengan palang salib horisontal tepat di di atas tiang sehingga membentuk huruf “T” atau palang tersebut diletakkan sedikit ke bawah seperti yang umum dikenal oleh kita umat Kristiani sebagai salib Kristus.
Josephus menuliskan demikian:
“Sekarang, sekitar waktu ini, Yesus, seorang yang bijak, kalau itu benar/ lawful memanggilnya sebagai manusia; sebab ia adalah seorang pembuat mukjizat, seorang guru bagi orang- orang yang menerima kebenaran dengan suka cita. Ia menarik kepadanya banyak orang Yahudi maupun non- Yahudi. Ia adalah Kristus. Dan ketika Pilatus, atas dorongan para pemimpin di antara kita, telah menghukumnya ke salib, mereka yang mengasihinya tidak meninggalkan dia; sebab ia menampakkan diri kepada mereka pada hari ketiga; seperti dinubuatkan oleh para nabi tentang hal ini dan sepuluh ribu hal ajaib lainnya tentang dia. Dan suku Kristen, yang mengambil nama darinya, tidak punah sampai hari ini…” (Josephus, Antiquities of the Jews, XVIII, 3:8-10)
Tulisan- tulisan pertama yang menjabarkan tentang penyaliban Yesus tidak secara khusus menyebutkan bentuk salib-Nya, tetapi tulisan-tulisan sekitar tahun 100 menyebutkan salib Kristus tersebut berbentuk T (huruf Tunani ‘tau’, seperti dituliskan dalam Surat Barnabas bab 9) atau komposisi palang vertikal dan horizontal, dengan sedikit tonjolan di atas- nya (lih. Irenaeus (130-202) Adversus Haereses II, xxiv,4). Ini cocok dengan penjabaran Mat 27:37, yang menuliskan bahwa di atas kepala Yesus, terpasang tulisan, “Inilah Yesus Raja orang Yahudi”.
c. Penemuan terkini tentang penyaliban adalah melalui penemuan arkeologis dari penggalian tahun 1968 di sekitar arah timur laut Yerusalem.
Ditemukan sebuah sisa- sisa jenazah seorang laki- laki, yang diidentifikasikan sebagai Yohan Ben Ha’galgol, yang meninggal tahun 70 AD. Analisa yang dilakukan oleh Hadassah Medical School, menyatakan bahwa luka-luka di tubuhnya seuai dengan yang dikisahkan sebagai luka- luka pada penyaliban Kristus. Penemuan lainnya adalah yang juga berasal dari abad pertama, dengan penemuan tulang kaki dengan paku, yang ditemukan di Yerusalem, yang kini disimpan oleh Israel Antiquities Authority di Israel Museum, juga menggambarkan luka- luka di kaki akibat penyaliban.
d. Bukti dari Kain kafan Turin (The Shroud of Turin), yang selengkapnya dapat dibaca di situs ini, silakan klik.
Pihak Vatikan memang belum mengeluarkan pernyataan resmi tentang keotentikan kain kafan Turin ini, namun dari data- data yang dapat kita baca mengenai penyelidikan sains tentang kain ini, semakin menunjukkan bukti yang cukup kuat bahwa kain ini bukan merupakan produk forgery/ pemalsuan dari abad pertengahan.
Dari informasi yang dapat kita baca di link di atas, kain kafan Turin diyakini sebagai kain yang membungkus jenazah Yesus pada saat Ia dikuburkan. Menurut fakta sejarah, kain ini pertama ditemukan di dinding kota Edessa (antara tahun 525-544) ketika kota itu diserang pasukan Persia. Sebelum kejadian itu tidaklah diketahui dengan pasti kisah dari kain Turin ini. Menurut sejarahwan Ian Wilson, yang mempelajari tradisi dan tulisan- tulisan pada abad awal, kemungkinan murid Yesus yang bernama Addai [Yudas Thaddeus] membawa kain kafan ini dari Yerusalem ke Edessa atas permintaan Raja Akbar V, yang pada saat itu sakit keras. Namun kemudian cucu dari Raja Akbar V tersebut menyerang umat Kristen, sehingga kain tersebut hilang ataupun disembunyikan. Kisah tentang Raja Akbar V ini dimuat dalam catatan sejarah Eusebius. Selanjutnya, berabad kemudian kain kafan ini ditemukan kembali oleh seorang prajurit Perancis, Geoffrey de Charny (1349), yang diperolehnya dari Konstantinopel.
Sejarah menunjukkan bahwa telah diadakan berkali- kali pemeriksaan akan keotentikan kain kafan dan gambar yang tercetak pada kain tersebut, yang padanya ‘tercetak’ gambar tubuh seorang laki- laki dengan luka- luka penyaliban. Jadi terdapat dua jenis gambar pada kain itu, yaitu bercak darah yang disebabkan oleh luka- luka; dan gambar rupa manusia yang bukan disebabkan oleh bercak darah. Asal gambar ini tidak dapat dijelaskan menurut para ahli yang telah meneliti kain kafan tersebut. Yang jelas, gambar itu bukan hasil pencetakan/ lukisan, dan bukan pula berasal dari darah atau karena persentuhan dengan tubuh manusia. (lih. Ray Rogers, Comments on the Book, The Resurrection of the Shroud by Mark Antonacci, 2001, p.4)
Melalui gambar tersebut, terdapat bukti luka- luka sebagai berikut:
1. Luka cambukan, sebanyak 120 buah (menurut Giulio Ricci 220 buah). Walaupun batas pencambukan menurut hukum Yahudi adalah 40, namun kemungkinan prajurit Romawi tidak mengikuti aturan ini, atau cambukannya terdiri dari tiga cabang sehingga semuanya berjumlah 120 cambukan.
2. Luka pada mahkota duri di kepala
3. Luka bekas paku di tangan dan kaki.
Mengenai luka di tangan, gambarnya sudah pernah kami tayangkan di sini, silakan klik.
4. Memar di muka, fraktur di hidung, luka besar di pipi kanan, luka di bawah mata kanan sehingga membuat mata kanan menutup, darah dari kedua lubang hidung, dan pipi sebelah kiri.
5. Luka besar di bahu, akibat memikul salib. Ini cocok dengan deskripsi bahwa Yesus memikul palang salib horizontal di bahu-Nya ke Golgota, walau di tengah jalan Simon dari Kirene dipaksa oleh para serdadu untuk membantu-Nya.
6. Tidak ada tulang-Nya yang dipatahkan. Luka paku 7 inci terlihat pada kakinya.
7. Luka pada lambungnya, karena tikaman.
3. Kesimpulannya: dari ayat- ayat Kitab Suci maupun fakta sejarah, kita ketahui bahwa Yesus disalibkan di tiang yang terdiri dari palang vertikal dan horisontal (bentuk salib), jadi bukan ‘hanya’ pada tiang/ pohon vertikal.
Demikianlah sekilas yang dapat saya tuliskan tentang pertanyaan anda. Suatu saat nanti mungkin Katolisitas akan menuliskan tentang hasil penelitian Kain kafan Turin ini secara lebih mendetail. Memang di saat yang lalu ada laporan yang bernada skeptikal tentang kain ini, namun berdasarkan penelitian terakhir, cukup banyak ditemukan bukti- bukti yang mendukung keotentikan kain ini, setidaknya mematahkan argumen bahwa gambar pada kain ini hanya karya artis pada jaman Abad Pertengahan.
Catatan:
Informasi tentang Kain Kafan Turin, disarikan dari:
Dr. Leoncio A Garza-Valdes, The DNA pf God? Newly Discovered Secrets of the Shrouds of Turin, (New York: Berkley Books, 1999)
C. Bernard Ruffin, The Shrouds of Turin, Our Sunday Visitor Publishing, Huntington, Ind. 1999, pp- 26-27.
Dr. Frederick T. Zugibe, The Cross and the Shroud, (Minnesota, Paragon House: 1981)
================================
Dalamnya Makna Tanda Salib
Tanda salib ini mengandung arti yang sangat mendalam yaitu 1) kemanunggalan dari Allah Trinitas, 2) salib menunjukkan keadilan Allah, yang menunjukkan betapa kejamnya akibat dosa kita, sehingga Allah sendiri yang menebusnya dengan wafat-Nya di salib itu (lih. Gal 3:13); 3) salib menunjukkan kasih Allah yang terbesar, yaitu bahwa Ia menyerahkan nyawa-Nya bagi kita (Yoh 15:13) agar kita dapat diselamatkan dan memperoleh hidup yang kekal (Yoh 3:16); 4) salib yang merupakan tanda keselamatan dan kemenangan orang-orang Kristen, yang disebabkan oleh kemenangan Kristus atas dosa dan maut. Jadi tanda salib ini merupakan lambang yang berdasarkan Alkitab (lih. Yeh 9:4, Kel 17:9-14, Why 7:3, 9:4 dan 14:1), dan bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Yesus. Bahkan Rasul Paulus sendiri bermegah dengan pewartaan salib Kristus (Gal 6:14), sehingga wajarlah jika kita sebagai pengikut Kristus membawa makna tanda salib ini kemanapun kita berada.
Menurut sejarah, diketahui bahwa Tanda Salib memang merupakan tradisi jemaat awal, yang dimulai sekitar abad ke-2 berdasarkan kesaksian para Bapa Gereja, terutama Tertullian, yang dilanjutkan oleh St. Cyril dari Yerusalem, St. Ephrem dan St Yohanes Damaskus. Jadi walaupun kita tidak membaca ajaran mengenai tanda salib ini dilakukan oleh para rasul di dalam Alkitab, namun bukan berarti bahwa tanda salib ini tidak berdasarkan Alkitab.
Sebab, biar bagaimanapun, makna yang terkandung dalam pembuatan tanda salib ini terpusat pada Kristus, untuk mengingatkan para beriman akan keselamatan yang dapat diperoleh oleh jasa Kristus yang tersalib dan bangkit. Maka tanda salib ini bagi umat Kristen adalah tanda yang harus kita bawa kemanapun sebagai tanda yang mengingatkan kita kepada salib Kristus yang menyelamatkan kita. Tradisi ini serupa dengan tradisi bangsa Yahudi yang memakai “tefilin” yaitu semacam kotak hitam yang berisi naskah Alkitab, yang mereka ikatkan di dahi mereka, sebagai pelaksanaan dari perintah dalam kitab Ul 6:4-8: “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu…” Tanda di dahi ini juga disebutkan di dalam kitab Yeh 9:4.
Tanda Salib menurut Para Bapa Gereja
Maka bagi umat Kristiani, tradisi membuat tanda salib ini sudah berakar sejak lama, bahkan dari Alkitab Perjanjian Lama, dan juga Perjanjian Baru, yaitu dari kitab Wahyu Why 7:3; 9:4; 14:1. Berakar dari ajaran Kitab Suci inilah, maka Para Bapa Gereja mengajar demikian:
1) Tertullian (abad 2) mengajarkan dalam De cor Mil, iii: “Dalam perjalanan kita dan pergerakan kita, pada saat kita masuk atau keluar, ….. pada saat berbaring ataupun duduk, apapun pekerjaan yang kita lakukan kita menandai dahi kita dengan tanda salib.”
2) St. Cyril dari Yerusalem (315-386) dalam Catecheses (xiii, 36) mengajarkan, “Maka, mari kita tidak merasa malu untuk menyatakan Yesus yang tersalib. Biarlah tanda salib menjadi meterai kita, yang dibuat dengan jari-jari kita, di atas dahi … atas makanan dan minuman kita, pada saat kita masuk ataupun keluar, sebelum tidur, ketika kita berbaring dan ketika bangun tidur ketika kita bepergian ataupun ketika kita beristirahat.”
3) St. Ephrem dari Syria (373) mengajarkan, “Tandailah seluruh kegiatanmu dengan tanda salib yang memberi kehidupan. Jangan keluar darin pintu rumahmu sampai kamu menandai dirimu dengan tanda salib. Jangan mengabaikan tanda ini, baik pada saat sebelum makan, minum, tidur, di rumah maupun di perjalanan. Tidak ada kebiasaan yang lebih baik daripada ini. Biarlah ini menjadi tembik yang melindungi segala perbuatanmu, dan ajarkanlah ini kepada anak-anakmu sehingga mereka dapat belajar menerapkan kebiasaan ini.”
4) St. Yohanes Damaskus (676-749) mengajarkan, “Tanda salib diberikan sebagai tanda di dahi kita, …. sebab dengan tanda ini kita umat yang percaya dibedakan dari mereka yang tidak percaya.”
Memang dalam hal cara membuat tanda salib itu terjadi perkembangan, karena pada awalnya tanda salib hanya dibuat di dahi saja, namun kemudian diajarkan juga untuk membuat tanda salib di mulut (St Jerome, Epitaph Paulae) dan di hati (Prudentius, Cathem., vi, 129). Tanda salib seperti yang kita kenal sekarang, yang secara jelas diajarkan oleh Paus Innocentius III (1198–1216), seperti demikian:
“The sign of the cross is made with three fingers, because the signing is done together with the invocation of the Trinity. … This is how it is done: from above to below, and from the right to the left, because Christ descended from the heavens to the earth, and from the Jews (right) He passed to the Gentiles (left). Others, however, make the sign of the cross from the left to the right, because from misery (left) we must cross over to glory (right), just as Christ crossed over from death to life, and from Hades to Paradise. [Some priests] do it this way so that they and the people will be signing themselves in the same way. You can easily verify this — picture the priest facing the people for the blessing — when we make the sign of the cross over the people, it is from left to right…“
Cara membuat tanda salib
Memang terdapat beberapa cara untuk membuat tanda salib. Yang terpenting di sini adalah makna yang ingin disampaikannya, dan penghayatan orang yang membuat tanda salib ini. Maka cara yang mendetail sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah, seperti apakah membuatnya dengan dua jari (jari penunjuk dan jari tengah, yang melambangkan dua kodrat Yesus, yaitu Allah dan manusia) atau tiga jari (yang melambangkan Trinitas), atau kelima jari (melambangkan kelima luka-luka Yesus di kayu salib). Atau arah salibnya ke kanan dulu baru kiri (seperti yang dilakukan Gereja-gereja Timur dan Orthodox) atau ke kiri dahulu baru ke kanan (seperti yang dilakukan oleh Gereja Katolik Roma).
Umumnya caranya adalah demikian:
Dengan dua atau tiga (atau lima jari) jari tangan kanan di dahi (sambil mngucapkan: “Atas nama Bapa”), tangan kemudian ke dada -melambangkan hati atau ke perut -menunjuk kepada luka Yesus di perut-Nya ataupun rahim di mana Yesus dikandung oleh Bunda Maria (sambil mengucapkan “dan Putera”, kemudian tangan menuju ke bahu kiri dan kanan (sambil mengucapkan “dan Roh Kudus” Amin). Dan tangan kembali terkatup.
Kapan kita membuat tanda salib?
1) Pada saat sebelum dan sesudah kita berdoa.
2) Ketika kita melewati setiap bangunan gereja Katolik, untuk menghormati kehadiran Tuhan Yesus di dalam tabernakel.
3) Ketika memasuki gereja (membuat tanda salib dengan air suci)
4) Saat-saat sedang menghadapi ketakutan ( misalnya: ketika kita mendengar sirine ambulans, mobil kebakaran) ataupun ketika menerima kabar duka cita orang yang meninggal.
5) Ketika kita melihat Salib Kristus, ataupun di saat- saat lain untuk menghormati Kristus, memohon pertolongan-Nya,
6) Ketika hendak mengusir godaan, ketakutan maupun mengusir pengaruh kuasa jahat.
7) Ketika ayah, sebagai imam dalam keluarga memberkati anak-anaknya, ia dapat menandai anak-anaknya dengan tanda salib di dahi mereka, misalnya sebelum anak-anak berangkat ke sekolah atau sebelum mereka tidur pada waktu malam hari.
Semoga kita dapat menghayati makna tanda salib ini, dan menjadikan tanda salib sebagai bagian dari hidup kita sendiri. Setiap kita membuat tanda salib kita mengingat dan menhormati Kristus yang oleh kasih-Nya rela menyerahkan hidup-Nya di kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita. Semoga kita dapat berkata bersama dengan Rasul Paulus, “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.” (Gal 6:14)
===================================== Art 2
MENGAPA ADA CORPUS YESUS DI SALIB KATOLIK ?
[Hari Minggu Prapaskah III: Kel 20:1-17; Mzm 19:8-11; 1Kor 1:22-25; Yoh 2:13-25].
“Orang Yahudi menuntut tanda dan orang Yunani mencari hikmat,” kata Rasul Paulus, “Tetapi kami memberitakan Kristus yang tersalib. Suatu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang bukan Yahudi, tetapi bagi mereka yang dipanggil… Kristus adalah kekuatan dan hikmat Allah!” (1Kor 1:22-24) Bahkan dengan lebih tegas Rasul Paulus melanjutkan, “Aku memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan…” (1Kor 2:2). Kristus yang tersalib. Itulah yang menjadi inti pewartaan Rasul Paulus. Tentu, ini tidak berarti bahwa ia tidak percaya Tuhan Yesus telah bangkit, sebab Paulus juga berkata, “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1Kor 15:14). Maka, pemberitaan Kristus yang tersalib, sesungguhnya bertujuan mengingatkan kita semua, akan betapa mahal harga yang harus dibayar oleh Kristus Tuhan kita, sebelum Ia bangkit dari kematian-Nya, untuk melepaskan kita—umat manusia—dari ikatan dosa dan maut. Di kayu salib itu, Yesus menggenapi apa yang dikatakan-Nya sendiri kepada para murid-Nya, “Tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13).
Maka, Gereja Katolik tidak dapat tidak, untuk mewartakan hal yang sama. Di setiap gedung-gedung gereja Katolik, dan rumah umat Katolik, bahkan dikenakan di leher orang Katolik, ada salib yang padanya tergantung suatu penggambaran tubuh atau ‘corpus’ Kristus yang tersalib. Ini menjadi suatu tanda bukti, betapa Gereja dengan setia mengenangkan pengorbanan Kristus, yang dengan salib suci-Nya, telah menebus dunia. “Apakah yang terjadi pada Injil dan pada Kekristenan, jika tanpa Salib Kristus, tanpa kurban penderitaan-Nya?” tanya Paus Paulus VI. “Itu akan menjadi sebuah Injil, sebuah Kekristenan, tanpa Penebusan dosa, tanpa Penyelamatan; sebuah Penebusan dan Penyelamatan yang tentangnya—kita harus mengakuinya di sini dengan ketulusan yang tak dapat dikurangi—kita mutlak membutuhkannya. Tuhan telah menebus kita dengan Salib itu, dengan kematian-Nya. Ia telah memberikan kita kembali, hak untuk hidup…” (Paus Paulus VI, Khotbah, 24 Maret 1967). Dengan memandang kepada Salib Kristus, kita diingatkan akan begitu kejamnya dosa—termasuk dosa-dosa kita—yang membuat-Nya sampai tergantung di sana. Namun juga, kita diyakinkan akan kasih Allah yang tiada bertepi, yang membuat-Nya mau menebus dosa kita, sampai menumpahkan darah-Nya sehabis-habisnya. Penderitaan dan wafat-Nya juga mendorong kita untuk tetap tabah dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan hidup sampai akhir hayat, sebab kita percaya, bahwa Tuhan Yesus menyertai kita. Ia telah terlebih dahulu melalui segala derita, untuk sampai kepada kemuliaan-Nya. Kitapun akan sampai ke sana, jika kita setia dan rela memikul salib kehidupan kita.
Namun tak dapat dipungkiri, bahwa penggambaran Kristus yang tersalib kadang mengundang rasa curiga dari sejumlah orang yang mempertentangkan penggambaran itu dengan firman Tuhan yang kita baca hari ini di Bacaan Pertama. Di sana disampaikan bahwa Tuhan melarang orang Israel untuk membuat patung yang menyerupai apapun yang ada di langit, di bumi maupun di bawah bumi (lih. Kel 20:4). Namun Gereja Katolik tidak mengartikan ayat itu terlepas dari ayat-ayat yang lain dalam Kitab Suci. Ayat tersebut berkaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu bahwa kita tidak boleh mempunyai allah lain di hadapan Tuhan. Sebab pada zaman kitab itu ditulis, bangsa Israel kerap membuat patung dan menjadikan patung itu sebagai allah lain di hadapan Allah. Mereka menjadikan patung anak lembu emas menjadi allah mereka (lih. Kel 32). Maka tentu Allah tidak berkenan. Namun jika patung dibuat untuk mengarahkan hati kepada Tuhan dan tidak disembah sebagai allah lain, hal itu tidak dilarang. Bahkan Allah sendiri memerintahkannya, seperti pada saat Ia menyuruh bangsa Israel untuk membuat patung kerub (malaikat) untuk diletakkan di atas tabut perjanjian (lih. Kel 25:18-22). Di Perjanjian Baru, Allah sendiri memperbaharui perintah-Nya tentang hal ini, dengan menjadikan Kristus “gambar dari Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15). Maka Gereja Katolik hanya mengikuti teladan dari Allah sendiri, untuk membuat gambaran Kristus, yang adalah gambaran Allah. Bukti peninggalan dari Gereja perdana juga menunjukkan hal ini. Mereka membuat gambar-gambar dan simbol Yesus di dinding-dinding katakomba (gereja bawah tanah), di mana mereka beribadah. Tentu mereka tidak menduakan Allah dengan gambar-gambar itu. Hal itu justru menunjukkan kesatuan mereka dengan Kristus sehingga walaupun dianiaya karena mengimani Kristus, mereka lebih memilih mati daripada meninggalkan Dia. Mereka mengikuti jejak Kristus yang tersalib untuk sampai kepada kehidupan kekal.
Melalui cermin di hadapanku, kupandang salib Kristus itu yang menggantung di leherku. “Ya, Tuhan Yesus, terima kasih untuk pengorbanan-Mu. Kumohon rahmat-Mu agar aku boleh tetap setia sampai akhir, untuk mengimani Engkau yang disalibkan untukku dan seluruh dunia, demi menebus dosa-dosa kami.”
================================= Art 3
APA MAKNA PERAYAAN SALIB SUCI BAGIMU ?
[Hari Minggu Biasa XXIV: Bil 21:4-9; Mzm 78:1-2, 34-38; Flp 2:6-11; Yoh 3:13-17]
Hari Minggu ini kita merayakan pesta Salib Suci, untuk mengenang Tuhan Yesus Kristus yang disalibkan untuk kita. Gereja merayakannya sambil juga mengenang St. Helena yang menurut tradisi Gereja, telah turut berjasa menemukan kembali salib suci Kristus di Yerusalem. Sehubungan dengan ini, ada juga fakta sejarah yang perlu kita ketahui, agar semakin memantapkan iman kita.
Pemberontakan bangsa Yahudi di abad awal mendorong Hadrian, Kaisar Romawi yang berkuasa saat itu (117-138), untuk menghapus nama Yudea, dan menamakan daerah itu menjadi Syria Palestina. Hadrian juga mengubah nama ibukota Yerusalem menjadi Aelia Capitolina dan melarang orang Yahudi untuk masuk ke sana. Saat itu Yerusalem, termasuk bait Allah, memang sudah menjadi reruntuhan akibat revolusi di tahun 70. Kaisar Hadrian meluluh-lantakkan apa yang masih tersisa di sana, dengan maksud menghabisi agama Yahudi. Hal serupa dilakukannya untuk menumpas pengaruh agama Kristiani. Ia meratakan bukit Kalvari dan membangun sebuah kuil dewa Yupiter di atasnya. Ia juga meratakan bukit di mana kubur Yesus terletak, dan membangun kuil bagi dewi Venus di atasnya. Ironisnya, bangunan- bangunan tersebut malah kemudian menjadi tanda dan bukti sejarah akan keberadaan tempat- tempat suci, di mana Tuhan Yesus sungguh telah disalibkan, dikuburkan dan bangkit dari mati.
Setahun setelah Kaisar Konstantin naik tahta di tahun 312, ia me-legalkan agama Kristiani di wilayah kekuasaan Romawi. Pada waktu itu, ibunya, St. Helena, juga menjadi Kristen. Dengan kuasa dari puteranya, di tahun 324 St. Helena pergi ke Palestina untuk menemukan tempat-tempat kudus sehubungan dengan Kristus dan mengabadikannya dengan membangun gereja di tempat- tempat itu. Demikianlah, ia membangun gereja Nativity di Betlehem, dan gereja Ascencion di bukit tempat Yesus naik ke Surga. Dua tahun berikutnya, kuil Yupiter dan kuil Venus dirobohkan. Para pekerja menggali lokasi tersebut dan menemukan kubur Yesus. Mereka lalu membangun gereja atasnya yang terus dilestarikan di sepanjang sejarah, dan yang sekarang kita kenal dengan nama the Church of the Holy Sepulchre di Yerusalem. Demikian pula, dengan dibongkarnya kuil tersebut, tersingkaplah lokasi penyaliban Tuhan Yesus di Kalvari/ Golgota. Di sebelah timur lokasi itu, di dalam sebuah sumur batu, ditemukan tiga buah salib dan plakat kayu yang bertuliskan INRI (Iesus Nazaranus Rex Iudaeorum). Menurut tulisan para Bapa Gereja, ketiga salib dan plakat itu kemudian dikeluarkan dari sumur. Seorang wanita yang sakit parah dan dalam sakrat maut dibawa ke sana. Wanita itu menyentuh ketiga salib itu satu persatu. Setelah menyentuh salib yang ketiga, ia sembuh seketika, dan dengan demikian orang-orang mengetahui salib yang mana di antara ketiga salib itu, yang adalah salib Kristus.
Apa gunanya kita mengetahui kisah ini? Pertama, kita dapat mengetahui lokasi otentik bukit Golgota dan kubur Yesus, sebab dewasa ini di Yerusalem ada lokasi lain yang diprediksikan oleh sejumlah orang di abad ke-19, sebagai lokasi Golgota dan kubur Yesus. Namun biar bagaimanapun, prediksi baru tersebut tetaplah tidak cukup didukung oleh fakta historis. Kedua, ditemukannya lokasi penyaliban Kristus dan kayu salib-Nya membuat kita semakin menyadari bahwa Tuhan Yesus sungguh-sungguh pernah mengambil rupa manusia dan telah disalibkan untuk kita. Ketiga, perayaan Salib Suci mengingatkan kita akan begitu besarnya makna Salib itu bagi kita umat-Nya. Salib itu disebut suci, karena Kristus Tuhan kita, pernah tergantung di sana saat menyerahkan nyawa-Nya demi menebus dosa-dosa kita. Sebab jika tidak demikian, maka salib tidak memiliki arti apapun bagi kita selain daripada dua palang kayu yang disatukan yang menjadi tempat penghukuman bagi para narapidana di zaman penjajahan Romawi di abad-abad pertama. Namun justru karena Kristus pernah disalibkan untuk kita, maka salib tidak lagi menjadi tanda keaiban, tapi sebaliknya menjadi tanda keajaiban kasih Allah yang menyelamatkan. Karena itu, salib bukanlah tanda kelemahan Allah, namun sebaliknya, kekuatan-Nya. Sebab hanya kekuatan Allah-lah yang menjadikan Kristus tetap mengasihi dan mengampuni orang- orang yang menyalibkan-Nya. Dan hanya dengan kekuatan Allah-lah, Kristus dapat merendahkan diri dan mengosongkan diri-Nya sedemikian rupa demi menyelamatkan kita. Kini dengan memandang kepada salib Kristus itulah kita pun dikuatkan untuk terus mengasihi dan mengampuni sesama; dan juga untuk bertumbuh dalam kerendahan hati, sebab itulah jalan yang dipilih Allah untuk menghantar kita kepada keselamatan kekal. Betapa dalamnya makna Salib itu, sehingga layaklah Tanda Salib itu melekat di batin kita, dan tidak semata kita buat di awal dan akhir doa secara tergesa-gesa.
Di pesta perayaan Salib suci ini, mari kita mendaraskan doa sederhana yang disusun oleh St. Fransiskus dari Asisi, “Kami menyembah Engkau, ya Kristus dan memuji-Mu, sebab dengan Salib Suci-Mu Engkau telah menebus dunia…..” Ya, Tuhan bantulah aku untuk semakin menghayati dalamnya makna Tanda Salib itu!
====================Art 4
SALIB TANPA KRISTUS : TIDAK MEMILIKI TUJUAN
Berikut adalah homili Paus Fransiskus dalam Misa bersama para seminaris, novis, dan mereka yang sedang merenungkan panggilan hidupnya:
Saudara dan Saudari terkasih,
Kemarin saya merasa senang bertemu dengan kalian, dan hari ini sukacita kita bahkan lebih besar, karena kita telah berkumpul untuk Ekaristi pada Hari Tuhan. Kalian adalah para seminaris, para novis, orang-orang muda dalam sebuah perjalanan panggilan, dari segala penjuru dunia. Kalian mewakili kaum muda Gereja! Jika Gereja adalah mempelai Kristus, kalian dalam arti tertentu merepresentasikan momen pertunangan, musim semi panggilan, musim penemuan, penilaian, formasi. Dan itu adalah musim yang sangat indah, di mana di dalamnya pondasi diletakkan untuk masa depan. Terima kasih atas kedatangannya!
Hari ini sabda Allah berbicara kepada kita tentang misi. Dari mana misi berasal? Jawabannya sederhana: itu berasal dari sebuah panggilan, panggilan Tuhan, dan ketika Ia memanggil orang-orang, Ia melakukan demikian dengan maksud untuk mengirim mereka keluar. Bagaimana seseorang yang dikirim keluar diartikan untuk menjalaninya? Apa saja poin-poin acuan misi Kristiani? Bacaan-bacaan yang telah kita dengar menyarankan tiga [poin]: sukacita penghiburan, Salib, dan doa.
1. Elemen pertama: sukacita penghiburan. Nabi Yesaya sedang menyampaikan pesan kepada orang-orang yang telah melalui masa gelap pengasingan, pencobaan yang sangat sulit. Tapi sekarang waktu penghiburan telah tiba bagi Yerusalem; kesedihan dan ketakutan harus memberi jalan kepada sukacita: “Bersukacitalah … bersorak-sorailah… bergembiralah dengannya dalam sukacita, “kata nabi itu (66:10). Ini adalah undangan besar kepada sukacita. Kenapa? Apa alasan undangan kepada sukacita ini? Karena Tuhan akan mencurahkan atas Kota Suci dan penghuninya sebuah “riam” penghiburan, sebuah luapan penghiburan yang sesungguhnya – sedemikian rupa sehingga akan datang – riam kelembutan keibuan: “Kalian akan digendong di atas pinggulnya dan ditimang pada pangkuannya” (ayat 12). Seperti ketika seorang ibu meletakan anaknya pada pangkuannya dan membelai-belainya: demikian TUHAN akan lakukan dan melakukannya terhadap kita. Ini adalah riam kelembutan yang memberi kita banyak penghiburan. “Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan menghibur kamu” (ayat 13).
Setiap orang Kristen, dan terutama kalian dan saya, dipanggil untuk menjadi pembawa pesan pengharapan yang memberikan ketenangan dan sukacita: penghiburan Allah, kelembutan-Nya terhadap semua. Tetapi jika kita mulanya mengalami sukacita karena dihibur oleh-Nya, dicintai oleh-Nya, maka kemudian kita dapat membawa sukacita itu kepada orang lain. Ini penting jika misi kita adalah untuk menjadi berbuah: merasakan penghiburan Allah dan menyebarkannya kepada orang lain! Saya terkadang bertemu orang-orang yang telah dikonsekrasikan yang takut akan penghiburan Tuhan, dan … malangnya, mereka tersiksa, karena mereka kekurangan kelembutan ilahi ini. Namun, jangan takut. Jangan takut, karena Tuhan adalah Tuhan penghiburan, Dia adalah Tuhan kelembutan. Tuhan adalah Bapa dan Dia berkata bahwa Ia akan berada untuk kita seperti seorang ibu dengan bayinya, dengan kelembutan seorang ibu. Jangan takut akan penghiburan Tuhan. Undangan Yesaya harus bergema dalam hati kita: “Hiburlah, hiburlah umat-Ku” (40:1) dan ini harus mengarah pada misi. Kita harus menemukan Tuhan yang menghibur kita dan pergi untuk menghibur umat Allah. Ini adalah misi itu. Orang-orang saat ini tentu membutuhkan kata-kata, tetapi kebanyakan dari semua mereka membutuhkan kita untuk menjadi saksi akan belas kasihan dan kelembutan Tuhan, yang menghangatkan hati, menyalakan kembali harapan, dan menarik orang-orang ke arah yang baik. Betapa sukacitanya itu membawa penghiburan Tuhan kepada orang lain!
2. Titik acuan kedua dari misi adalah Salib Kristus. Santo Paulus, menulis kepada jemaat di Galatia, mengatakan: “Jauhlah dariku kepada kemuliaan kecuali dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” (6:14). Dan dia berbicara tentang “tanda-tanda Yesus”, yaitu, luka-luka Tuhan yang disalibkan, sebagai balasan, sebagai tanda khusus hidupnya sebagai seorang Rasul Injil. Dalam karya pelayanannya Paulus [bukan saja] mengalami penderitaan, kelemahan dan kekalahan, tetapi juga kesukacitaan dan penghiburan. Ini adalah misteri Paskah Yesus: misteri kematian dan kebangkitan. Dan justru dengan membiarkan dirinya menjadi serupa dengan kematian Yesus maka Santo Paulus menjadi pengikut dalam kebangkitan-Nya, dalam kemenangan-Nya. Di saat kegelapan, dalam pencobaan, fajar cahaya dan keselamatan sudah hadir dan bekerja. Misteri Paskah adalah hati yang berdebar akan misi Gereja! Dan jika kita tetap dalam misteri ini, kita terlindung baik dari cara pandang misi duniawi dan penuh kemenangan dan dari keputusasaan yang dapat dihasilkan dari pencobaan dan kegagalan.
Buah keberhasilan pastoral, buah keberhasilan pewartaan Injil diukur bukan dengan keberhasilan atau kegagalan sesuai dengan kriteria evaluasi manusia, tetapi dengan menjadi serupa dengan logika Salib Yesus, yang merupakan logika melangkah di luar diri sendiri dan menghabiskan diri sendiri, logika cinta ini. Ini adalah Salib – selalu Salib yang hadir dengan Kristus, karena pada waktu kita ditawarkan Salib tanpa Kristus: hal ini tidak memiliki tujuan! – Adalah Salib, dan selalu Salib dengan Kristus, yang menjamin keberhasilan misi kita. Dan itu adalah dari Salib, tindakan tertinggi dari belas kasihan dan kasih, maka kita dilahirkan kembali sebagai “ciptaan baru” (Gal 6:15).
3. Elemen ketiga pada akhirnya [ialah]: doa. Dalam Injil kita mendengar: “Karena itu berdoalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (Luk 10:2). Para pekerja untuk tuaian tidak dipilih melalui iklan kampanye-kampanye atau daya tarik-daya tarik dari pelayanan dan kemurahan hati, tetapi mereka “dipilih” dan “dikirim” oleh Allah. Dialah yang memilih, Dialah yang mengirim, Tuhanlah yang mengirim, Dialah yang memberi misi. Untuk ini, doa adalah penting. Gereja, sebagaimana Benediktus XVI sering tegaskan, adalah bukan milik kita, melainkan milik Allah, dan berapa kali kita, pria dan wanita yang telah dikonsekrasi, berpikir bahwa Gereja adalah milik kita! Kita buat itu … sesuatu yang kita ciptakan dalam pikiran kita. Tapi itu bukan milik kita! Itu adalah milik Allah. Ladang yang akan dibudidayakan adalah milik-Nya. Misi itu adalah rahmat. Dan jika Rasul itu lahir dari doa, ia temukan dalam doa cahaya dan kekuatan atas tindakannya. Misi kita berhenti berbuah, itu memang terpadamkan saat hubungan dengan sumbernya, dengan Tuhan, terganggu.
Para seminaris terkasih, para novis terkasih, orang-orang muda terkasih, pahami panggilan kalian. Salah satu dari kalian, salah satu dari para pembina kalian, berkata kepada saya suatu hari, “evangeliser, on le fait à genoux” “evangelisasi dilakukan oleh lutut seseorang”. Dengarkan dengan baik: “evangelisasi dilakukan oleh lutut seseorang”. Tanpa hubungan relasi konstan dengan Allah, misi itu menjadi sebuah pekerjaan. Tapi untuk apa kalian bekerja? Sebagai penjahit, seorang juru masak, seorang imam, apakah merupakan pekerjaan kalian menjadi seorang imam, menjadi seorang biarawati? Tidak. Ini bukan pekerjaan, melainkan sesuatu yang lain. Risiko dari aktivisme, dari mengandalkan terlalu banyak pada struktur-struktur, adalah sebuah bahaya yang selalu hadir. Jika kita melihat Yesus, kita melihat bahwa sebelum menghadapi keputusan atau peristiwa penting Ia mempersiapkan dirinya sendiri dalam doa yang intens dan panjang. Mari kita memupuk dimensi kontemplatif, bahkan di tengah angin puyuh dari tugas-tugas yang lebih mendesak dan berat. Dan semakin misi itu memanggil kalian untuk pergi keluar ke pinggiran eksistensi, biarkan hati kalian menjadi lebih erat bersatu dengan hati Kristus, penuh belas kasihan dan kasih. Di sinilah letak rahasia buah keberhasilan pastoral, buah keberhasilan seorang murid Tuhan!
Yesus mengutus para pengikut-Nya dengan tanpa “pundi-pundi, tanpa bekal, tanpa sandal” (Luk 10:4). Penyebaran Injil tidak dijamin baik dengan banyaknya sejumlah orang, atau dengan kewibawaan dari lembaga itu, atau dengan banyaknya jumlah sumber daya yang tersedia. Yang penting adalah untuk diserap oleh kasih Kristus, untuk membiarkan dirinya sendiri dipimpin oleh Roh Kudus dan untuk mencangkokkan kehidupan sendiri seseorang ke pohon kehidupan, yang merupakan Salib Tuhan.
Teman-teman terkasih, dengan keyakinan besar saya mempercayakan kalian kepada perantaraan Maria yang Tersuci. Dia adalah ibu yang membantu kita untuk mengambil keputusan-keputusan hidup secara bebas dan tanpa rasa takut. Semoga ia membantu kalian untuk menjadi saksi akan sukacita penghiburan Allah, tanpa menjadi takut akan sukacita, ia akan membantu kalian untuk menyesuaikan diri kalian sendiri dengan logika cinta Salib, untuk tumbuh dalam kesatuan yang lebih mendalam dengan Tuhan dalam doa. Maka hidup kalian akan menjadi kaya dan berbuah melimpah! Amin.
(AR)
Paus Fransiskus,
Basilika Santo Petrus, 7 Juli 2013
Diterjemahkan dari: www.vatican.va
=================================== Art 5
Paus : Mengikuti Kristus bukanlah sebuah karier, melainkan jalan Salib
Kita seharusnya tidak mereduksi pewartaan akan Yesus menjadi sebuah kebudayaan yang ‘berkilauan’ atau ‘topeng’ belaka, melainkan harus ‘langsung ke hati’ dan mengubah kita. Kemudian, mengikuti Yesus ‘tidak berarti mendapatkan lebih banyak kekuasaan’, seperti sebuah ‘karir’ karena jalan-Nya adalah jalan Salib. Ini adalah fokus dari homili Paus Fransiskus pada Misa Selasa pagi [28/05/2013] di kapel kediaman Paus Casa Santa Marta. Emer McCarthy melaporkan:
Apa upah kami dalam mengikuti Engkau? Paus Fransiskus mengawali dengan pertanyaan Petrus kepada Yesus. Sebuah pertanyaan, katanya, yang mana pada akhirnya menyangkut kehidupan setiap orang Kristen. Yesus mengatakan bahwa mereka yang mengikuti Dia akan memiliki “banyak hal yang baik” tetapi “dengan penganiayaan.” Jalan Tuhan, ia melanjutkan, “adalah jalan kerendahan hati, sebuah jalan yang berujung pada Salib.” Itu sebabnya, ia menambahkan, “akan selalu ada kesulitan,” “penganiayaan.” Akan selalu ada, “karena Dia melalui jalan ini sebelum kita”. Paus memperingatkan bahwa “ketika seorang Kristen tidak memiliki kesulitan-kesulitan dalam hidup – ketika semuanya baik-baik saja, semuanya indah – Ada sesuatu yang salah.” Ini menuntun kita untuk berpikir bahwa si ini atau si itu adalah “seorang teman yang hebat dari roh dunia, dari keduniawian.” Paus mencatat ini “merupakan godaan utama bagi orang Kristen”:
“Mengikuti Yesus, ya, tetapi sampai titik tertentu: mengikuti Yesus karena budaya: Aku seorang Kristen, saya bagian dari budaya ini … Tapi tanpa perlu pemuridan sejati Yesus, kebutuhan untuk melalui jalan-Nya. Jika kalian mengikuti Yesus sebagai rencana budaya, maka kalian sedang menggunakan jalan ini untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi, untuk memiliki kekuasaan lebih. Dan sejarah Gereja penuh dengan hal ini, mulai dengan beberapa kaisar dan kemudian [dengan] banyak penguasa dan banyak orang, bukan? Dan bahkan beberapa – saya tidak akan mengatakan banyak, tetapi beberapa – imam, uskup, bukan? Beberapa orang mengatakan bahwa ada banyak [yang seperti itu] … tapi mereka itu adalah orang-orang yang berpikir bahwa mengikuti Yesus adalah sebuah karir.”
Paus mengingatkan bahwa pada satu waktu, “dalam kepustakaan dari dua abad yang lalu,” kadang-kadang dikatakan bahwa seseorang “dari waktu ia masih kecil sudah ingin berkarir dalam gereja.” Di sini Paus menegaskan bahwa “banyak orang Kristen, tergoda oleh roh dunia, berpikir bahwa mengikuti Yesus itu baik karena dapat menjadi sebuah karir, mereka bisa maju.” Tapi ini “bukan roh-Nya”. Sebaliknya itu adalah sikap Petrus ketika dia berbicara kepada Yesus tentang karir dan Yesus menjawab: “Ya, Aku akan memberikan segalanya dengan penganiayaan.” “Kalian tidak dapat menghapus Salib dari jalan Yesus, itu selalu ada.” Namun, Paus Fransiskus mengingatkan, ini tidak berarti bahwa orang Kristen harus menyakiti diri sendiri. Orang Kristen “mengikuti Yesus dari kasih dan saat kalian mengikuti Yesus karena kasih, iri hati iblis melakukan banyak hal.” “Roh dunia tidak akan mentolerir hal ini, tidak mentolerir kesaksian ini”:
“Pikirkan tentang Ibu Teresa: Apa yang roh dunia katakan tentang Ibu Teresa? ‘Ah, Beata Teresa adalah seorang wanita cantik, dia melakukan banyak hal baik bagi orang lain …’ Roh dunia ini tidak akan pernah mengatakan bahwa Beata Teresa menghabiskan, setiap hari, berjam-jam, dalam adorasi … Tidak pernah! Hal ini mereduksi aktivitas Kristiani sebatas kegiatan sosial saja. Seolah-olah kehidupan Kristiani adalah sebuah permukaan halus yang berkilau – kilau, sebuah topeng yang indah. Pewartaan Yesus tidak hanya di permukaan: Pewartaan Yesus langsung tertuju ke tulang, hati, jauh ke dalam dan mengubah kita. Dan roh dunia tidak mentolerir hal itu, tidak akan mentolerir hal itu, dan karena itu, ada penganiayaan.”
Paus Fransiskus mengatakan mereka yang meninggalkan rumah mereka, keluarga mereka, untuk mengikuti Yesus, menerima kembali seratus kali lipat “sekarang pada saat ini.” Seratus kali bersama-sama dengan penganiayaan. Dan ini tidak boleh dilupakan:
“Mengikuti Yesus hanya seperti itu: pergi bersamaNya karena kasih, di belakang-Nya: Pada perjalanan yang sama, jalan yang sama. Dan roh dunia tidak akan mentolerir ini dan inilah apa yang akan membuat kita menderita, tetapi menderita seperti yang Yesus alami. Mari kita meminta rahmat ini: mengikuti Yesus dalam jalan yang Dia telah tunjukkan kepada kita dan yang telah Dia ajarkan kepada kita. Ini indah, karena Dia tidak pernah meninggalkan kita sendirian. Tidak pernah! Dia selalu bersama kita. Maka jadilah itu”.
Misa ini dikonselebrasikan oleh Uskup Agung Rino Fisichella dan Mgr. José Octavio Ruiz Arenas, presiden dan sekretaris Dewan Kepausan untuk Evangelisasi Baru. Acara ini dihadiri oleh sekelompok imam dari Dewan Kepausan di atas dan staf dari Pembangkit Listrik Vatikan dan Laboratorium Teknis Gubernurat Pertukangan Vatican, didampingi oleh Insinyur Pier Carlo Cuscianna, Direktur Pelayanan Teknis Gubernurat.
(AR)
Paus Fransiskus,
Domus Sanctae Marthae, 28 Mei 2013
Diterjemahkan dari : www.news.va
Umat Kristen yang hangat suam-suam kuku melukai Gereja
Semua orang Kristen memiliki tugas untuk meneruskan iman dengan keberanian, Umat Kristen yang hangat suam-suam kuku, iman yang hangat suam-suam kuku melukai Gereja, karena hal tersebut menciptakan perpecahan. Keberanian untuk menjadi orang Kristen di masyarakat saat ini adalah fokus dari homili Jumat pagi Paus Fransiskus di Casa Santa Marta. Emer McCarthy melaporkan:
Paus Fransiskus berkonselebrasi dengan Uskup Agung Claudio Maria Celli, Presiden dari Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial dan misa dihadiri oleh Garda Swiss Kepausan dengan komandan mereka Daniel Rudolf Anrig. Pada hari Minggu 6 Mei, para penjaga itu akan mengadakan perayaan tahunan mereka, memperingati pertahanan terakhir mereka di tahun 1527 dengan Misa dan pengambilan sumpah anggota baru.
Pada akhir perayaan, Paus Fransiskus memberi mereka salam khusus, menggambarkan pelayanan mereka sebagai “kesaksian yang indah akan kesetiaan terhadap Gereja” dan “kasih bagi Paus.”
Dalam homilinya yang berfokus pada bacaan hari ini, Paus Fransiskus mengatakan semua orang Kristen yang telah menerima karunia iman harus meneruskan karunia ini dengan mewartakannya dengan kehidupan kita, dengan perkataan kita. Namun kemudian, Paus bertanya, “apakah iman yang mendasar ini? Ini adalah iman akan Yesus yang Bangkit, akan Yesus yang telah mengampuni dosa-dosa kita melalui kematian-Nya dan mendamaikan kita dengan Bapa”:
“Menyalurkan iman ini mengharuskan kita untuk berani: keberanian untuk menyebarkan iman. Sebuah keberanian yang terkadang sederhana. Saya teringat – maaf – sebuah cerita pribadi: sewaktu kecil setiap Jumat Agung nenekku membawa kami ke Prosesi Lilin dan pada akhir prosesi sampai pada Kristus yang berbaring dan nenek saya meminta kami berlutut dan mengatakan kepada kami anak-anak, ‘Lihat Dia sudah mati, tapi besok Dia akan Bangkit! “Itu adalah bagaimana iman merasuk: iman akan Kristus yang Tersalib dan Bangkit. Dalam sejarah Gereja ada banyak, banyak orang yang telah ingin mengaburkan kepastian yang kuat ini dan berbicara tentang kebangkitan spiritual. Tidak, Kristus hidup.”
Paus Fransiskus terus mengatakan bahwa “Kristus hidup dan juga hidup di antara kita”, ia menegaskan bahwa umat Kristen harus memiliki keberanian untuk memberitakan kebangkitan-Nya, Kabar Baik tersebut. Tapi, ia menambahkan [bahwa] ada juga keberanian lain yang Yesus minta dari kita:
“Yesus – untuk memasukkannya ke dalam istilah yang lebih kuat – menantang kita untuk berdoa dan mengatakan ini: ‘Apapun yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak’ Jika kamu meminta sesuatu dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya … Tapi ini benar-benar ampuh! Kita harus memiliki keberanian untuk pergi kepada Yesus dan bertanya kepadaNya: ‘Tapi Engkau mengatakan ini, lakukan itu! Buat iman bertumbuh, buat evangelisasi bergerak maju, bantu aku untuk memecahkan masalah ini! … Apakah kita memiliki keberanian ini dalam doa? Atau kita berdoa sedikit, kapan kita bisa, menghabiskan ‘sedikit’ waktu dalam doa? Tapi keberanian itu, parresia (Yunani: Keberanian untuk berbicara di muka umum) bahkan dalam doa … .“
Paus mengingatkan kembali bagaimana kita membaca dalam Alkitab bahwa Abraham dan Musa memiliki keberanian untuk “bernegosiasi dengan Tuhan”. Sebuah keberanian “untuk kepentingan orang lain, untuk kepentingan Gereja” yang kita juga perlu hari ini:
“Ketika Gereja kehilangan keberanian, Gereja masuk ke dalam suasana yang ‘hangat suam-suam kuku’, Umat Kristen yang suam-suam kuku, tanpa keberanian … Mereka sangat melukai Gereja, karena suasana ini menarik kalian ke dalamnya dan masalah-masalah timbul di antara kita; kita tidak lagi memiliki cakrawala, atau keberanian untuk berdoa ke surga, atau keberanian untuk mewartakan Injil. Kita yang hangat suam-suam kuku … kita memiliki keberanian untuk terlibat dalam hal-hal kecil kita dalam kecemburuan kita, iri hati kita, karir kita, dalam keegoisan untuk melangkah maju … Dalam segala hal ini, tapi ini tidak baik bagi Gereja: Gereja harus berani! Kita semua harus berani dalam doa, dalam menantang Yesus “
(AR)
Paus Fransiskus,
Domus Sanctae Marthae, 3 Mei 2013
Diterjemahkan dari : www.vatican.va
PESAN FRANSISKUS PAUS TENTANG SALIB 2013
Saudara – saudari yang terkasih, terima kasih karena kalian telah mengambil bagian dalam momen doa khusuk ini. Saya juga berterima kasih kepada mereka yang telah menyertai kita melalui media massa, terutama yang sakit dan lanjut usia.
Saya tidak ingin berbicara banyak. Satu kata saja sudah cukup untuk malam ini, yaitu Salib. Salib adalah jawaban Allah terhadap kejahatan di dunia. Kadang – kadang Allah seperti tidak berbuat apa – apa terhadap kejahatan, sepertinya dia diam saja. Dan nyatanya, Allah telah berbicara, Ia telah menjawab, dan jawabnya adalah Salib Kristus: sebuah kata yang mengandung kasih, kemurahan hati, dan pengampunan. Kata ini juga menyingkapkan sebuah penghakiman, yakni Allah dalam menghakimi kita, Ia mengasihi kita. Ingat ini: Allah, dalam menghakimi kita, Ia mengasihi kita. Jika saya menerima kasih-Nya maka saya diselamatkan, jika saya menolakNya maka saya dilaknat, bukan olehNya melainkan oleh diri saya sendiri. Karena Allah tidak pernah melaknat, Ia hanya bisa mengasihi dan menyelamatkan. Saudara – saudari terkasih, Salib juga merupakan jawaban yang diberikan oleh seorang Kristen dalam menghadapi kejahatan, kejahatan yang terus bekerja di dalam dan sekeliling kita. Seorang Kristen harus membalas kejahatan dengan kebaikan, memikul salibnya seperti yang dilakukan Yesus. Malam ini kita telah mendengar kesaksian yang telah diberikan oleh saudara – saudari kita di Libanon: mereka mengarang doa – doa dan renungan meditasi yang begitu indah. Kita sampaikan rasa terima kasih kita yang mendalam kepada mereka untuk karyanya dan untuk kesaksian yang mereka berikan. Kita dapat melihat ini dulu saat Paus Benediktus XVI mengunjungi Libanon: kita melihat keindahan dan ikatan persatuan yang kuat yang mempersatukan orang – orang Kristen di tanah tersebut dan persahabatan dengan saudara – saudari kita yang Muslim dan masih banyak lagi. Peristiwa tersebut merupakan sebuah tanda bagi Timur Tengah dan seluruh dunia: sebuah tanda pengharapan.
Kita sekarang melanjutkan Jalan Salib ini dalam kehidupan kita. Marilah kita melangkah bersama mengikuti jejak Salib sambil membawa dalam hati kita kata – kata kasih dan pengampunan. Marilah kita melangkah maju sambil menantikan Kebangkitan Yesus yang begitu mencintai kita. Dia penuh dengan cinta.
Paus Fransiskus,
29 Maret 2013
Diterjemahkan secara bebas dari www.news.va
=========================
Memikul salib, mengikuti Yesus
[Hari Minggu Biasa ke XIII: 2Raj 4:8-16; Mzm 89:2-3,16-19; Rm 6:8-11; Mat 10:37-42]
Di dunia yang serba praktis dan cepat ini, berkembang mental untuk menolak segala bentuk ketidaknyamanan. Jika ketidaknyamanan saja ditolak, apalagi penderitaan. Dunia menganggap penderitaan sebagai sesuatu yang negatif dan harus dihilangkan. Bahkan di kalangan umat Kristen sendiri, ada sejumlah orang yang berpendapat bahwa tanda seorang benar-benar dikasihi Tuhan ialah jika ia tidak lagi menderita. Namun Gereja Katolik tidak mengajarkan demikian. Salah satu alasannya, adalah karena perkataan Tuhan Yesus sendiri yang dicatat dalam Injil hari ini. “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:38). Salib, atau penderitaan, merupakan jalan yang harus kita tempuh, untuk mengikuti Yesus. Sebab sejujurnya, selama kita hidup di dunia, penderitaan tidaklah sepenuhnya dapat dihindari. Tidak perlu dicari, penderitaan akan datang sendiri. Memang ada penderitaan yang datang karena kesalahan kita, tetapi ada juga yang bukan karena kesalahan kita. Juga, ada penderitaan yang harus kita terima, sebagai konsekuensi dari panggilan hidup yang kita jalani sebagai pengikut Kristus. Pendeknya, hidup kita sebagai murid Kristus tidak terlepas dari salib.
St. Agustinus mengajarkan adanya dua macam salib yang Tuhan perintahkan harus kita pikul. Pertama, salib yang jasmaniah dan yang kedua, salib yang rohaniah. Salib yang jasmaniah maksudnya adalah menahan nafsu yang tak teratur yang berhubungan dengan sentuhan, rasa, penglihatan dan seterusnya. Sedangkan dengan salib yang rohani adalah yang jauh lebih pantas kita perhatikan, Ia [Tuhan Yesus] mengajar kita untuk mengendalikan apa-apa yang disukai pikiran kita dan untuk mengekang dorongan-dorongan yang tak teratur, dengan kerendahan hati, ketenangan, kesederhanaan, kesopanan, damai sejahtera, dst. Sungguh berharga lah di mata Allah, dan sungguh mulia salib ini, yang menguasai dan mengatur semua gairah pikiran yang tak teratur, menurut aturan yang benar.
Mungkin sejenak kita dapat merenungkan, apakah salib yang sedang kita pikul pada saat ini… Sebab setiap kita memiliki jenis salib yang tidak sama. Walau secara umum kita ketahui bahwa salib itu berkenaan dengan bagaimana kita mengalahkan kecenderungan keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup, namun kadarnya untuk tiap-tiap orang berbeda. Demikian pula, apa yang disukai oleh pikiran itupun berbeda antara yang satu dan lainnya. Apa yang sangat menggoda bagi seseorang bisa jadi tidak terlalu masalah bagi orang lain. Namun intinya, kita dipanggil untuk memikul salib kita masing-masing, artinya mengendalikan tubuh dan pikiran untuk dapat mengatasi godaan-godaan yang kita hadapi. Bacaan Kedua menyatakan kepada kita bahwa penderitaan dapat dimaknai sebagai kematian kita terhadap dosa, supaya kita dapat dibangkitkan dan hidup di dalam Kristus. Penderitaan menjadi jalan yang harus dilalui agar kita dapat menemukan “kehidupan” yang sesungguhnya. Betapa banyak orang yang disembuhkan dari kesombongan setelah mengalami keterpurukan, entah karena penyakit, ataupun berbagai kesulitan hidup lainnya. Betapa banyak orang tidak lagi memusatkan pikiran kepada kesenangan duniawi, melainkan mensyukuri kehidupan hari demi hari, setelah pernah melewati masa-masa krisis dalam hidup! Betapa banyak orang yang justru mengalami kedekatan dengan Tuhan ketika sedang mengalami penderitaan! Betapa melalui penderitaan kita dapat belajar untuk lebih bergantung kepada Tuhan…
Sungguh, melalui penderitaan, kita sebenarnya dikuduskan. Kita dilatih untuk tidak menjadi sombong dan mengandalkan kekuatan sendiri, tetapi untuk mengandalkan kekuatan Tuhan. Dalam kelemahan, kita menjadi lebih mudah untuk bersandar kepada-Nya, sebab kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan dan apa yang kita capai, bukanlah merupakan jerih payah kita sendiri melainkan rahmat Tuhan yang bekerja di dalam kita. Maka penderitaan adalah semacam partisipasi kita dalam misteri Kristus, yaitu jalan yang menjadikan kita sedikit demi sedikit menyerupai Dia. Karena keselamatan kita diperoleh melalui sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, maka kita mesti mengambil bagian dalam sengsara-Nya, agar dapat memeroleh keselamatan itu.
Tersirat dalam Injil hari ini, bahwa salib juga berkenaan dengan bagaimana kita mengatur urutan cinta dalam kehidupan kita. Kata Yesus, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak untuk Aku” (Mat 10:37). Apakah artinya kita tidak boleh mengasihi keluarga kita? Tentu tidak demikian St. Hieronimus mengajarkan bahwa frasa yang perlu diperhatikan adalah “lebih daripada mengasihi Aku [Yesus]”. Sebab Allah tetaplah harus berada di tempat pertama dan utama dalam urutan kasih kita. Artinya, meski kita hidup berkeluarga, kita tetap harus menempatkan kasih kepada Allah di atas kasih kepada keluarga kita. Jika kita setia melayani keluarga kita, motivasinya adalah demi mengasihi Allah yang menghendakinya demikian. Dengan pemahaman ini, kita dikuatkan untuk melakukan tugas dan tanggungjawab sehari-hari, betapapun berat dan melelahkan. Sebab kita tahu apa yang kita lakukan adalah demi kasih kita kepada Allah, yang terlebih dahulu mengasihi kita. Dengan cara inilah kita mengambil bagian—walaupun dengan cara yang sangat sederhana—dalam salib Kristus. Dengan melakukan tugas-tugas kita dan menyatukannya dengan korban salib Kristus, kita mengambil bagian dalam karya keselamatan-Nya. Kita mengambil bagian dalam ketaatan-Nya, dalam kasih-Nya kepada Allah Bapa dan sesama.
Kasih kepada Allah ini pulalah yang mendorong kita untuk turut mendukung karya-Nya dalam diri sesama, terutama dalam diri para pelayan-Nya. Bacaan Pertama hari ini mengisahkan tentang seorang wanita yang kerap mengundang Nabi Elisa untuk singgah dan makan di rumahnya. Allah berkenan kepada apa yang dilakukan oleh wanita itu, dan mengaruniakan kepadanya seorang anak laki-laki. Demikian juga di Bacaan Injil, kita mendengar perkataan Yesus yang mengajak kita untuk bermurah hati kepada mereka yang melanjutkan karya-karya kerasulan, secara khusus, para imam. Karena dengan menyambut mereka, artinya kita pun menyambut Kristus yang mengutus mereka dan Allah Bapa yang mengutus Kristus (lih. Mat 10:41-42). Para imam adalah mereka yang memilih untuk mengambil cara hidup Yesus sebagai cara hidup mereka sendiri. Mereka secara lebih eksplisit mengambil jalan salib Yesus sebagai sebagai jalan hidup mereka. Mari kita mendukung para imam dengan doa-doa dan perhatian kasih; agar mereka tetap setia dalam panggilan hidup mereka dan menjadi teladan bagi kita semua. Dalam kesatuan sebagai anggota-anggota Tubuh Mistik Kristus, marilah kita memohon kepada Kristus, agar kerelaan-Nya untuk menebus dosa-dosa kita dengan sengsara dan wafat-Nya, menumbuhkan dalam hati kita kerelaan untuk mengikuti jalan salib-Nya, agar kelak kitapun disatukan dengan kebangkitan dan kemuliaan-Nya di Surga. Dengan sukacita kulambungkan Mazmur hari ini, “Kerelaan Tuhan hendak kunyanyikan selama-lamanya. Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya, hendak menuturkan kesetiaan-Mu turun temurun. Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya, kesetiaan-Mu tegak seperti langit… Tuhan Yesus, jadikanlah kami rela memikul salib kami dan mengikuti Engkau, seumur hidup kami. Agar kelak Kau gabungkan kami dalam kemuliaan-Mu selama-lamanya. Amin.”
===================
JEJAK YESUS : SUKA CITA DAN SALIB
[Hari Minggu Palma: Mat 21:1-11; Yes 50:4-7; Mzm 22:8-24; Flp 2:6-11; Mat 26:14-27:66 ]
“Yerusalem, Yerusalem, lihatlah Rajamu!” Sambil mengangkat suara, kita pun mengangkat tangan dan melambaikan daun-daun palma di awal Perayaan Ekaristi hari ini. Kita memperagakan penyambutan kepada Tuhan Yesus ketika Ia memasuki Yerusalem sekitar 2000 tahun lalu, yang menjadi kenangan yang hidup bagi kita umat-Nya. Daun-daun palma itu menjadi tanda sukacita, setelah dijadikan sebagai tanda pertobatan kita, kala daun-daun palma tahun sebelumnya dibakar menjadi abu dan ditorehkan dengan Tanda Salib di dahi kita, di hari Rabu Abu yang lalu. Demikianlah selalu ada dimensi sukacita dan salib dalam perjalanan hidup ini. Dan hanya jika memaknainya dalam kesatuan dengan Kristus, kita memperoleh makna yang mendalam akan segala sukacita dan salib yang kita alami di hidup ini.
Paus Fransiskus menegaskan kedua hal ini, yaitu sukacita dan salib, dalam homili Minggu Palma di tahun 2013,
“1. Yesus memasuki Yerusalem. Kerumunan para murid menemani-Nya dalam suasana pesta, pakaian mereka dihamparkan di hadapan-Nya. Ada pembicaraan tentang mukjizat-mukjizat yang telah dilakukan-Nya dan terdengarlah pujian yang lantang: “Terpujilah Raja yang datang dalam nama Tuhan. Damai sejahtera di Surga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi” (Luk 19:38). Kerumunan orang-orang merayakan pujian, berkat dan damai sejahtera: sukacita membahana di udara. Yesus telah membangkitkan pengharapan yang besar, khususnya di hati orang-orang yang sederhana, rendah hati, miskin dan terlupakan, mereka yang tidak dipandang oleh mata dunia. Ia memahami penderitaan umat manusia, Ia telah memperlihatkan wajah kerahiman Allah dan Ia telah merunduk untuk menyembuhkan tubuh dan jiwa. Inilah Yesus. Ini adalah hati-Nya yang memandang kita semua, kesakitan kita dan dosa-dosa kita. Kasih Yesus begitu besar. Maka Ia memasuki Yerusalem, dengan kasih-Nya ini, dan memandang kita. Ini adalah peristiwa yang indah, bersinar—cahaya kasih Yesus, kasih dari hati-Nya—yang penuh suka cita, penuh semarak. Di awal Misa, kita pun mengulanginya. Kita melambaikan daun-daun palma kita… Kita menyambut Yesus; kita pun menyatakan sukacita kita pada saat mengiringi-Nya, saat mengetahui bahwa Ia begitu dekat, hadir di dalam kita dan di antara kita sebagai Sahabat, Saudara dan juga Raja: yaitu, sebuah mercusuar yang bersinar bagi hidup kita. Yesus adalah Allah, tetapi Ia merendahkan diri-Nya untuk berjalan bersama kita. Ia adalah Sahabat dan Saudara kita. Ia menerangi jalan kita di sini. Dan dengan cara ini kita telah menyambut-Nya hari ini. Dan ini adalah kata pertama yang ingin kusampaikan kepada kalian: Sukacita! Jangan menjadi orang-orang yang penuh kesedihan: seorang Kristen tidak pernah dapat bersedih! Jangan menyerah kepada keputusasaan! Bagian kita adalah bukan sukacita karena punya banyak harta, tetapi karena telah berjumpa dengan Seorang Pribadi: Yesus, di tengah kita, bahkan di masa-masa sulit, bahkan ketika jalan hidup kita mendaki menghadapi berbagai masalah dan rintangan yang nampaknya tak mungkin dilewati, dan ada begitu banyaklah rintangan ini! Dan saat ini, sang seteru, yaitu iblis, datang, seringnya tersamar dalam rupa malaikat, dan dengan licik berkata kepada kita. Jangan mendengarkan dia! Mari kita mengikuti Yesus! Kita menyertai, kita mengikuti Yesus, tetapi di atas semua itu, kita tahu bahwa Ia menyertai kita dan menggendong kita di bahu-Nya. Ini adalah sukacita kita, ini adalah pengharapan yang mesti kita bawa ke dunia ini. Semoga jangan membuat diri kalian tak berpengharapan! Jangan biarkan harapan itu dicuri! Harapan yang Tuhan Yesus berikan kepada kita.
2. Kata kedua. Mengapa Yesus memasuki Yerusalem? Atau lebih tepatnya: bagaimana Yesus memasuki Yerusalem? Orang banyak menyambutNya sebagai Raja. Dan Ia tidak menyangkalnya, Ia tidak menyuruh mereka diam (lih. Luk 19:39-40). Tetapi Raja yang seperti apa Yesus itu? Mari memandang-Nya: Ia menunggangi keledai. Ia tak diiringi pasukan kerajaan, tak dikelilingi oleh sekompi prajurit sebagai lambang kekuatan. Ia diterima oleh orang-orang yang rendah, rakyat sederhana yang merasa telah melihat sesuatu yang lebih pada diri Yesus. Mereka memiliki citarasa iman yang berkata: di sinilah Juru Selamat kita. Yesus tidak memasuki kota suci untuk menerima pernghargaan yang khusus diberikan kepada para raja di dunia, kaum penguasa dan pemerintah. Ia memasuki Yerusalem untuk didera, dihina dan disiksa, sebagaimana dinubuatkan oleh Nabi Yesaya di Bacaan Pertama (Yes 50:6). Ia masuk untuk menerima mahkota duri, tongkat dan jubah ungu. Kekuasaan-Nya sebagai Raja menjadi obyek cercaan. Ia masuk untuk mendaki gunung Kalvari, dengan membawa beban kayu salib. Dan ini membawa kita kepada kata kedua: Salib. Yesus masuk Yerusalem untuk wafat di kayu salib. Dan di sinilah kekuasaan-Nya sebagai Raja bersinar dengan cara yang ilahi: Tahta kerajaan-Nya adalah kayu Salib! Ini mengingatkan saya akan apa yang dikatakan oleh Paus Benediktus XVI kepada para Kardinal: kalian adalah para pangeran, tetapi [pangeran] dari Seorang Raja yang tersalib. Itu adalah tahta Yesus. Yesus mengambilnya bagi diri-Nya sendiri… Mengapa Salib? Sebab Yesus mengambil bagi diri-Nya sendiri, kejahatan, kekotoran, kedosaan dunia, termasuk dosa dari kita semua, dan Ia membersihkannya. Ia membersihkannya dengan darah-Nya, dengan kerahiman dan kasih Allah. Marilah melihat ke sekeliling: berapa banyak luka yang diakibatkan oleh kejahatan pada umat manusia! Perang, kekeraan, konflik ekonomi yang memukul kaum yang terlemah, serakah untuk uang yang tak dapat kamu bawa dan harus ditinggalkan. Ketika kita masih kecil, nenek kita biasa mengatakan: kain kafan tidak punya kantong. Kecintaan akan kekuasaan, korupsi, perpecahan, kejahatan melawan hidup manusia dan melawan ciptaan! Dan seperti setiap orang dari kita mengetahui dan menyadari dosa-dosa pribadi kita: kegagalan kita dalam hal cinta dan hormat terhadap Allah, terhadap sesama dan terhadap semua ciptaan Tuhan. Yesus di Salib merasakan seluruh beban kejahatan dan dengan kekuatan kasih Allah, Ia menaklukkannya, Ia mengalahkannya dengan kebangkitan-Nya. Ini kebaikan yang Yesus kerjakan bagi kita di tahta Salib-Nya. Salib Kristus yang dirangkul dengan cinta, tak pernah memimpin kepada kesedihan, tetapi kepada sukacita, kepada sukacita karena telah diselamatkan dan karena melakukan sedikit dari apa yang telah Ia lakukan di hari kematian-Nya…” (Paus Fransiskus, Homili, Minggu Palma, 24 Maret 2013).
Saudara-saudariku terkasih, hari ini kita memasuki Pekan Suci. Kita diajak untuk merenungkan puncak karya Allah dalam hidup kita yaitu bahwa Kristus Sang Putra Allah telah mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba, menjadi sama dengan manusia, merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di salib, untuk menyelamatkan kita. Dan dengan kebangkitan-Nya, Ia mengalahkan maut. Maka segala ciptaan akan bertelut dan mengaku, bahwa “Yesus Kristus adalah Tuhan!” (lih. Flp 2:5-11).
Semoga kita dapat semakin menghayati karya Allah ini dalam hidup kita, dan membiarkanNya memimpin kehidupan kita di dunia ini. Dengan rela Yesus memasuki Yerusalem, dengan pengetahuan penuh bahwa Ia akan menyerahkan nyawa-Nya untuk kita. Namun Ia melakukan-Nya dengan sukacita, karena besarnya cinta kasih-Nya kepada kita. Sukacita dan salib bagi Kristus adalah bagaikan dua permukaan pada satu koin atau dua serat jalinan benang. Itu adalah dua hal yang terjalin karena cinta, namun cinta inilah yang mengalahkan dunia dan segala kejahatan. Sebab Yesus berkata, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” (Yoh 16:33) Yesus Tuhan telah mengalahkan dunia ini dengan Salib-Nya dan karenanya kita selalu mempunyai pengharapan di tengah pergumulan dan salib kehidupan kita bahwa jika kita menghadapinya bersama Yesus, kitapun akan beroleh sukacita yang kekal bersama-Nya. Memasuki Pekan Suci, semoga kita semakin erat disatukan dengan sukacita dan Salib-Nya.
https://stand-under.blogspot.com/2019/08/penjelasan-tentang-yesus-di-kayu-salib.html
Source : katolisitas.com
Penjelasan Tentang Yesus Di Kayu Salib dan Salib Yesus
Reviewed by JMG
on
August 26, 2019
Rating: 5