Latest News

Monday, July 31, 2017

Mengapa Katolik Menggunakan Dupa Pada Saat Ekaristi & Berdoa?

Penggunaan wewangian (dupa) dalam ekaristi adalah merupakan symbol. Adapun pada perjanjian lama, pesan untuk menggunakan dupa datang sendiri dari Allah yang meminta Musa untuk menghormati kehadiranNya dalam kemah pertemuan;

Kel 30:34-37
Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: �Ambillah wangi-wangian, yakni getah damar, kulit lokan dan getah rasamala, wangi-wangian itu serta kemenyan yang tulen, masing-masing sama banyaknya. Semuanya ini haruslah kaubuat menjadi ukupan, suatu campuran rempah-rempah, seperti buatan seorang tukang campur rempah-rempah, digarami, murni, kudus. Sebagian dari ukupan itu haruslah kau giling sampai halus, dan sedikit dari padanya kauletakkanlah di hadapan tabut hukum di dalam Kemah Pertemuan, di mana Aku akan bertemu dengan engkau; haruslah itu maha kudus bagimu. Dan tentang ukupan yang harus kaubuat menurut campuran yang seperti itu juga janganlah kamu buat bagi kamu sendiri; itulah bagian untuk TUHAN, yang kudus bagimu.�

Gereja Katolik percaya bahwa Yesus sebagai penggenapan nubuat perjanjian lama, selalu hadir dalam Tabernakel suci. Oleh karenanya selain dupa digunakan sebagai persembahan penghormatan pada Yesus yang hadir, dupa juga digunakan untuk menciptakan suasana penyembahan terhadap Yesus.

Para Rasul Kristus mengajarkan kita, bahwa pada setiap misa kudus, Kurban Kristus selalu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus pada altar untuk menghadirkan berkat pengudusan umatNya.

Karena makna kurban Kristus tersebut, altar merupakan obyek yang suci dan oleh karenanya, kita melihat diarahkan kepada altar. Dupa juga digunakan sebelum pembacaan Injil , karena Injil merupakan Sabda Allah. Dupa juga diarahkan kepada imam, karena pada ekaristi, imam bertindak atas nama Kristus (Persona Christi). Dupa juga diarahkan kepada umat, karena melalui pembabtisan, setiap umat beriman adalah tempat roh kudus berdiam, serta umat juga diundang untuk mempersatukan doa-doa mereka dengan doa Kristus sendiri (yang diwakilkan imam) kepada Allah Bapa.

Sumber: Katolisitas

Saturday, July 29, 2017

Lima Pilar Pelayanan Gereja

P. Cornel Fallo, SVD
STP Dian Mandala Gunungsitoli, Keuskupan Sibolga

Lima pilar pelayanan Gereja merupakan fondasi kokoh yang menyingkapkan tugas dan tanggungjawab serta eksistensi pelayanan Gereja di dunia (Bdk. GS art 1, 43). Gereja sebagai umat Allah berkat sakramen pembaptisan menyadari diri memiliki tanggungjawab menunaikan tugas dan panggilan dalam lima pilar pelayanan Gereja di dunia (Bdk. LG art 31). Sebab, lima pilar pelayanan Gereja tersebut merupakan implementasi dari Tri tugas Yesus Kristus sendiri.[1] Lima pilar pelayanan Gerejani yang dimaksudkan ialah Kerygma, Diakonia, Koinonia, Leitourgia dan Martyria (Bdk. LG art. 25-27). Kelima pilar pelayanan Gereja ini akan dibahas dalam uraian berikut ini.

1. Kerygma (Pewartaan)
�Kerygma� berasal dari bahasa Yunani yang berarti karya pewartaan Kabar Gembira. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru ditemukan dua kata kerja Yunani yang berhubungan dengan kerygma atau pewartaan ini yakni �kerussein� (Ibr 5:12) dan �didaskein� (Ibr 6:1). Dalam perspektif biblis ini �kerussein� berarti mewartakan secara meriah dan resmi Kabar Gembira tentang kedatangan Kerajaan Allah yang dilakukan oleh para Rasul serta kesaksian mereka tentang ajaran dan karya Yesus Kristus. Kata kerja �kerussein� menunjuk pada aktivitas pewartaan yang ditujukan kepada orang yang belum mengenal atau belum percaya kepada Yesus Kristus. Sedangkan kata kerja �didaskein� berarti mengajar atau memberikan pelajaran kepada orang yang telah beriman dalam rangka memperkembangkan dan memekarkan iman yang sudah mulai tumbuh.

Dengan demikian �didaskein� merupakan aktivitas pewartaan yang bersifat lanjutan dan diberikan kepada orang yang telah mengenal dan percaya kepada Yesus Kristus, agar iman umat semakin berkembang ke arah kedewasaan.[2] Dan memang sesungguhnya arti asli dari kata kerygma adalah bahwa karya pewartaan itu berkaitan erat dengan mulut atau kata dalam menyampaikan Sabda Tuhan kepada telinga atau pendengaran yang menggerakkan hati manusia untuk berbuat ke arah pertobatan. Melalui tindakan itu kita diingatkan oleh pengajaran Santo Paulus bahwa iman itu tumbuh lewat pendengaran. Keselamatan itu diperoleh berkat iman kepada Yesus Kristus (bdk. 1 Tim 2:4).

Dalam hubungan dengan proses penelitian ini maka pemahaman didaskein-lah yang paling tepat untuk ditindaklanjuti. Landasan kokoh tentang tindakan pewartaan ini adalah Tuhan Yesus sendiri. Metodologi yang digunakan Yesus dalam melaksanakan tugas pewartaan tersebut adalah dengan membangun jejaring dan kepercayaan. Untuk itu, Yesus memanggil para Rasul dengan melibatkan mereka dalam melaksanakan tugas pewartaan. Demikian juga umat beriman Kristiani di mana semua diberi kepercayaan, dipanggil dan diutus Tuhan Yesus untuk mengambil bagian dalam tugas pewartaan Kabar Gembira (bdk. LG art 35). Tuhan Yesus mengutus kita semua dengan bersabda: �Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu� (Mat 28: 19-20).

Penekanan utama dalam tugas pewartaan Gereja ini bukan saja pewartaan verbal tetapi juga pewartaan melalui kesaksian hidup sebagai bentuk pewartaan yang ampuh dan sebagai daya dorong untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang nyata.[3] Partisipasi tersebut dapat dilakukan dengan mengambil bagian melalui tugas-tugas pelayanan Gerejani dalam kehidupan bersama umat di dalam kelompok basis. Kelompok umat basis merupakan tempat persemaian benih pewartaan sabda Allah sehingga Gereja tetap tumbuh, hidup dan berkembang.[4] Senada dengan itu dokumen Dialog dan Pewartaan menegaskan bahwa pewartaan adalah komunikasi pesan Injil, misteri keselamatan yang dilaksanakan Allah bagi semua orang dalam Yesus Kristus berkat kuasa Roh Kudus. Pewartaan merupakan suatu ajakan untuk menyerahkan diri dalam iman kepada Yesus Kristus dan melalui pembaptisan masuk ke dalam persekutuan kaum beriman yang adalah Gereja. Pewartaan biasanya terarah pada katekese yang bertujuan untuk memperdalam iman kepada Yesus Kristus. Pewartaan adalah dasar, pusat dan sekaligus puncak dari evangelisasi (DP 10). Dialog Pewartaan mencantumkan sejumlah kualitas yang justru mencirikan karya pewartaan itu sendiri. Kualitas-kualitas pewartaan itu adalah pertama; pewartaan yang meyakinkan, karena tugas mewartakan itu bukan berhubungan dengan perkataan manusia melainkan kesaksian tentang Firman Allah dan kehadiran Roh yang berkesinambungan di semua tempat dan dalam segala waktu. Kedua; pewartaan yang setia kepada amanat yang disampaikan Gereja yakni �yang secara mendalam bersifat Gerejawi�. Pewartaan itu mesti rendah hati yakni bahwa orang-orang yang mewartakan hanyalah �sarana� yang sempurna di dalam tangan Allah. Ketiga; penuh hormat dan dialogal yakni dengan kesadaran bahwa Allah sudah lebih dahulu berkarya sebelum kedatangan para misionaris (pewarta). Akhirnya pewartaan itu semestinya terinkulturasi oleh sikap hormat yang ada lebih dahulu dalam diri pewarta terhadap konteks budaya dan agama di mana Injil itu akan diajarkan.[5]

2. Diakonia (Pelayanan)
Diakonia berarti pelayanan. Terminologi diakonia ini berasal dari kata bahasa Yunani yakni dari kata kerja �diakon� yang berarti melayani. Tuhan Yesus sendiri amat pandai memilih kata yang tepat untuk menggambarkan eksistensi terdalam dari kehadiranNya di dunia ini bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (bdk. Mat 20:28). Dari sebab itu, Santo Paulus menganggap pekerjaannya sebagai suatu �diakonia� artinya pelayanan dan dirinya sebagai �diakonos� artinya pelayan bagi Kristus (bdk. 2 Kor 11:23) serta bagi umat Kristus (bdk. Kol 1:25).[6]

Dari pemahaman di atas dapatlah kita mengerti mengapa Tuhan Yesus menegaskan bahwa hakekat dari pekerjaan melayani harus melekat dalam diri mereka yang dikhususkan sebagai pemimpin. Para rasul termasuk orang-orang yang dipilih dan dikhususkan Yesus untuk menjadi pemimpin umat. Spiritualitas dasar pemimpin umat menurut Yesus harus dicirikan dengan melayani bukan berkuasa dan memerintah. Para rasul adalah pemimpin umat yang sekaligus �diakonos� atau pelayan (bdk. Luk 22:25-27). Dengan kata lain para rasul adalah pemimpin yang melayani umat Allah. Tugas pelayanan para rasul dilanjutkan dalam pelayanan Gereja sebagai salah satu pilar eksistensinya.

Tugas pelayanan yang dilakukan oleh Gereja ini dilaksanakan dengan suka rela tanpa menuntut. Tujuannya ialah agar Gereja tumbuh dan berkembang ke arah yang semakin membebaskan dan menyelamatkan umat manusia. Santo Paulus dengan tepat mengungkapkan landasan pelayanan Gereja pada pola kehidupan dan pelayanan Yesus sendiri. Yesus dalam rupa Allah telah mengosongkan diriNya dan mengambil rupa seorang diakonos atau doulos (hamba) (bdk. Filipi 2:5-7). Oleh karena itu Gereja menggalakkan aktivitas pelayanan karena didorong oleh panggilan untuk mencintai Tuhan dan sesama. Dasarnya adalah karena Yesus sendiri sudah lebih dahulu melayani kita. Seluruh hidup Yesus selama 33 tahun ditandai oleh jiwa melayani. Tujuan hidup Yesus bukan untuk mendapatkan pelayanan tetapi memberikan pelayanan. Isi hidupNya bukan dilayani melainkan melayani. Seluruh Kitab Perjanjian Baru tidak pernah menggambarkan Yesus sebagai manusia yang mengandalkan kehormatan dan kuasa tetapi Tuhan yang melayani dan menghamba. Dia adalah sang diakonos (pelayan) dan bahkan doulos (hamba). Dengan demikian Gereja terpanggil untuk melayani dan bukan untuk berkuasa. Panggilan Gereja untuk mewujudnyatakan diakonia sebagai suatu panggilan relasional agar saling menolong dalam kesetikawanan. Suatu panggilan untuk memperjuangkan prinsip hidup memberi dan bukan mengambil demi kepentingan, kepuasan dan kekenyangan pribadi.[7]

Dalam perkembangan dan eksistensi Gereja dewasa ini, maka panggilan untuk melaksanakan diakonia bukan hanya menjadi tugas para pemimpin saja, melainkan juga dikembangkan di antara anggota Gereja Perdana. Semangat diakonia itu terungkap dan terlaksana dalam persaudaraan sejati yang dibangun di antara anggota umat. Hal itu amat jelas terwujud dalam tindakan berkumpul, menyatukan diri dalam prinsip hidup bersama yakni �segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama. Dan selalu dari antara mereka yang menjual harta miliknya, lalu dibagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing� (bdk. Kis 2:44-45; 4:32-37). Dewasa ini panggilan dan semangat untuk melaksanakan diakonia kemudian menjadi panggilan bagi semua umat beriman. Karena praksis diakonia diarahkan demi pengabdian kepada kepentingan umat Allah. Maka secara tidak langsung seluruh umat harus ikut mengambil bagian di dalam praksis diakonia ini. Praksis diakonia harus dijalankan oleh semua umat beriman Kristiani, mulai dari anak-anak, orang muda Katolik (pelajar dan juga mahasiswa-mahasiswi STP Dian Mandala) serta orang dewasa dan lanjut usia.

3. Koinonia (Paguyuban)
Koinonia adalah bahasa Yunani, berasal dari kata �koin� yang berarti mengambil bagian. Dalam perspektif biblis, koinonia diartikan sebagai paguyuban atau persekutuan (bdk. Kis. 2:41-42). Koinonia dapat diidentikan dengan sebuah paguyuban dalam melaksanakan sabda Tuhan. Suasana hidup dalam persekutuan tersebut ialah persekutuan hidup yang guyub dalam arti hidup rukun dan damai. Dan suasana hidup seperti itulah yang digambarkan oleh Tuhan Yesus dengan bersabda: �Saudara-saudaraKu ialah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan melaksanakannya� (Luk 8:21). Oleh karena itu dokumen Konsili Vatikan II pertama-tama menggambarkan Gereja bukan sebagai suatu institusi duniawi melainkan sebagai suatu persekutuan ataupun paguyuban umat beriman yang menerima dan meneruskan cahaya Kristus yang diwujudkan dalam warna dasar perbuatan atau amal yang baik dan berguna bagi sesama. Gereja sebagai sakramen yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan dalam kesatuan dengan seluruh umat manusia dihantar kepada segala kebenaran, dipersatukan dalam persekutuan serta pelayanan, dilengkapi dan dibimbing dengan aneka karunia hierarkis dan karismatis serta disemarakkan dengan buah-buahNya. Demikianlah seluruh Gereja tampak sebagai �Umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus (LG art 4)�. Selanjutnya Gereja mendapat arti dalam diri umat beriman Kristiani itu sendiri, di mana berkat sakramen Baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus terhimpun dalam persekutuan atau paguyuban menjadi satu umat Allah. Dengan cara mereka sendiri, mereka ikut mengemban tri tugas Kristus di dunia ini sebagai imam, nabi dan rajawi Kristus (LG art 31). Dari gambaran ini dapatlah dimengerti bahwa semua umat Kristiani adalah umat Allah atau Gereja itu sendiri. Oleh karena itu setiap anggota dituntut untuk berpartisipasi dalam persekutuan atau paguyuban sebagai bagian dari hidupnya sendiri. Sebab, dengan demikian Gereja akan tetap hidup, terpikat dan berkembang dalam dunia hingga keabadian. Koinonia memiliki konotasi sebagai milik bersama atau bersolidaritas. Dalam terang Sabda Tuhan syarat untuk membangun paguyuban Kristiani adalah orang-orang yang suka mendengarkan Sabda Allah dan berusaha melaksanakannya. Pelaksanaan Sabda Allah dapat berupa aktivitas pewartaan, liturgi, pelayanan, kesaksian dan berjuang untuk hidup dalam semangat rukun-guyub dan aktif dalam melakukan solidaritas. Hal ini dapat digambarkan secara gamblang dalam hidup seorang katekis atau seorang guru agama Katolik yang bertugas untuk melaksanakan katekese atau mengajar agama di stasi atau sekolah. Setiap hari Minggu berpartisipasi aktif dalam perayaan Ekaristi, bersedia membantu pelayanan kepada orang sakit dan sebagai warga setempat iapun wajib membangun hidup bersama yang rukun dan guyub.[8]

4. Leitourgia (Liturgi)
Liturgi berasal dari kata bahasa Yunani yakni dari kata kerja �Leitourgian� (leos artinya rakyat dan ergon artinya kerja) yang berarti bekerja untuk kepentingan umum, kerja bakti atau gotong royong. Orang yang melakukan pekerjaan itu disebut �Leitourgos�. Dan pekerjaan luhur itu disebut �Leitourgia�. Dari pemahaman ini sekarang kita menggunakan kata �Liturgi� untuk Ekaristi dan ibadah. Dalam konteks pilar pelayanan Gereja liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk penghayatan iman demi mengungkapkan misteri Kristus serta hakikat asli pelayanan Gereja yang sejati.[9] Dengan demikian maka Liturgi itu sungguh mengagumkan, menguatkan tenaga umat beriman untuk mewartakan Kristus dan dengan sendirinya terpanggil mewartakannya juga kepada mereka yang berada di luar Gereja. Di pihak lain liturgi mendorong umat beriman supaya sesudah dipuaskan dengan sakramen-sakramen Paskah menjadi sehati dan sejiwa dalam kasih. Jadi Liturgi terutama Ekaristi, bagaikan sumber yang mengalirkan rahmat kepada umat beriman dan menjadi puncak kehidupan Gereja dalam seluruh aktivitas umat menuju kehidupan yang sejati.[10]

Dari pemahaman di atas maka sudah sepantasnya semua umat beriman Kristiani terdorong untuk berpartisipasi mengambil bagian dalam pelayanan liturgi Gereja demi rahmat dan berkat untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang. Konsili suci menasihati agar umat beriman tidak saja berpartisipasi, tetapi lebih dari itu menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaknya hati disesuaikan dengan apa yang mereka ucapkan dan bekerja sama dengan rahmat surgawi agar tidak sia-sia menerimanya. Keikutsertaan sepenuhnya harus berawal dari kesadaran mendalam dan keaktifan yang sadar dalam perayaan-perayaan liturgi yang dirayakan tersebut. Untuk itu dibutuhkan bimbingan dan arahan dari petugas pastoral (pemimpin paroki) sehingga dalam kegiatan liturgi tersebut tidak hanya dipatuhi hukum-hukum untuk merayakannya secara sah dan halal, melainkan supaya umat beriman berpartisipasi merayakannya dengan kesadaran yang optimal, keaktifan yang gembira dan penuh makna bagi kehidupan jiwa dan raga.[11]

Perjamuan Ekaristi secara lahir memang kelihatan dari kerja bakti atau liturgi. Di dalam tata liturgi itulah kita merayakan Perjamuan Ekaristi Kudus. Di dalamnya umat beriman mengambil bagian dari hidup Kristus yang mulia. Dalam Perjamuan Ekaristi umat beriman disatukan dengan Kristus secara sakramental. Kristus juga menyatukan umat beriman satu sama lainnya di dalam perayaan kudus tersebut. Melalui dan dalam perayaan Ekaristi itulah kita menerima Tubuh dan Darah Kristus sendiri yang berenergi Ilahi untuk mendorong teguhnya persatuan dengan Kristus sendiri dan persatuan kita satu sama lain.

Dalam dan melalui peristiwa penerimaan Tubuh dan Darah Kristus justru Kristus sendiri membagikan Tubuh-Nya kepada setiap umat beriman yang hadir. Buah dari persatuan umat beriman dengan Yesus Kristus dalam perayaan suci itu mendorong umat beriman untuk menghadirkan Kristus kembali di tengah kehidupan sehari-hari dalam dan melalui perbuatan-perbuatan baik seperti rela berkorban dalam cinta kasih melalui karya pelayanan kepada sesama. Jadi secara spiritual kita didorong untuk membagikan roti diri kehidupan kita sendiri kepada sesama. Dengan demikian umat beriman yang telah bersatu dengan Kristus justeru selalu dibaharui untuk melakukan karya-karya Kristus sendiri. Karena itu Yesus sendiri mengundang umat beriman untuk selalu mengulang kembali peristiwa mulia itu; �Lakukan ini sebagai peringatan akan Daku� (1 Kor 11:24-26). Peringatan dalam bahasa Yunani adalah Anamnesis yakni menghadirkan misteri wafat dan kebangkitan Kristus. Sebab justru di dalam Perayaan Ekaristi tersebut Yesus sungguh hadir dalam SabdaNya dan Tubuh-DarahNya yang dibagikan sebagai santapan kehidupan kekal.

Paus Pius XII dan Paus Yohanes Paulus II sangat mengagumi dan menghargai Ekaristi. Hal itu dinyatakan dengan mengeluarkan ensiklik yang mengajarkan bagaimana Ekaristi suci dimaknai dalam kehidupan umat Kristiani. Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Ecclesia De Eucharistia menegaskan bahwa Ekaristi ditampilkan sebagai puncak segala sakramen dalam penyempurnaan persekutuan kita dengan Allah Bapa, oleh penyatuan diri kepada putera tunggalNya, lewat karya Roh Kudus. Oleh karena itu maka tak seorangpun diizinkan meremehkan misteri yang dipercayakan ke tangan kita. Misteri ini terlalu agung bagi siapapun untuk merasa bebas memperlakukannya secara ringan dan dengan mengabaikan kesucian serta universalitasnya.[12]

5. Martyria (Kesaksian)
Martyria berasal dari kata bahasa Yunani yakni �marturion� yang artinya kesaksian. Saksi sering diartikan sebagai orang yang melihat atau mengetahui suatu kejadian. Makna saksi merujuk kepada pribadi seseorang yang mengetahui atau mengalami suatu peristiwa dan mampu memberikan keterangan yang benar. Yesus adalah saksi yang memberikan �berita� tentang rencana Allah Bapa untuk menyelamatkan manusia. Dia-lah saksi yang setia dan benar (Why 3:14). Maka di depan Pilatus, Yesus mengakui bahwa Dia-lah Raja, namun kerajaan-Nya bukan dari dunia ini. Dia lahir dan datang ke dalam dunia, untuk memberikan kesaksian tentang apa yang dilihat dan didengarNya di hadirat BapaNya (Yoh 3:32). Para Rasul dipanggil Yesus untuk menjadi saksiNya mulai dari Yerusalem, Yudea dan Samaria bahkan sampai ke ujung bumi (Kis 1:8). Tetapi menjadi saksi Kristus bukan tanpa resiko. Bahkan Yesus sendiri telah menjadi martir atau saksi hidup karena melaksanakan kehendak Allah Bapa untuk membebaskan dan menebus umat manusia. Dalam perkembangan sejarah Gereja Katolik kita menemukan banyak orang telah merelakan hidupnya untuk mati sebagai martir demi mempertahankan imannya akan ajaran dan kesaksian hidup Yesus Kristus karena teladan hidup Yesus itu sendiri. Para martir bersaksi dengan caranya masing-masing untuk menyuburkan kehidupan Gereja hingga sekarang. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Gereja dipanggil untuk memberikan kesaksian kepada seluruh dunia, mewartakan Injil kepada semua orang. Dan situasi zaman sekarang lebih mendesak Gereja untuk memberikan kesaksian secara profesional melalui kehadiran dalam fungsi sebagai garam dan terang dunia agar memanggil dan membaharui semua orang masuk ke dalam satu keluarga umat Allah. Gereja hadir bagi semua orang dan bangsa lengkap dengan tantangan realitanya maka melalui teladan hidup (kesaksian hidup), maupun pewartaannya, dan dengan sakramen-sakramen serta daya-daya rahmat surgawi, Tuhan menghantarkan semua orang dan bangsa kepada iman, kebebasan dan damai Kristus (Bdk. LG art. 1).

Oleh karena itu kesaksian Gereja atau umat Allah hendaknya berbuah dan berhasil ketika mereka menggabungkan diri sebagai anggota masyarakat di lingkungannya dengan sikap penghargaan dan cinta kasih, ikut serta dalam kehidupan budaya dan sosial melalui pelbagai kegiatan (AG art 1). Point kesaksian yang hendak dibidik adalah agar anggota masyarakat dihantar kepada kerinduan akan kebenaran dan cinta kasih yang diwahyukan oleh Allah. Hendaknya seperti Kristus yang berkeliling sambil berbuat baik (bdk. Mat 9:35) demikian juga Gereja membangun relasi dengan semua orang, khususnya dengan mereka yang miskin dan tertimpa kemalangan dan dengan sukarela mengorbankan diri untuk mereka (bdk. 2 Kor 12:15). Hendaknya Gereja � umat beriman, juga memberikan kesaksian dengan membaktikan diri secara tepat dalam bidang-bidang kemasyarakatan dan secara istimewa bagi pendidikan anak-anak dan kaum muda untuk memerangi kebodohan dan menciptakan kondisi hidup yang lebih baik. Dalam semua itu, haruslah dicamkan bahwa Gereja tidak bermaksud mencampuri urusan pemerintahan tetapi memberikan kesaksian yang benar tentang Kristus dan berkarya demi keselamatan sesama manusia.[13] Akhirnya cermatilah dengan hati bersih dan pikiran jernih serta belajar dari kesaksian hidup para martir bahwa pola kesaksian hidup kita dalam arus globalisasi dunia zaman ini selalu disertai dengan salib yang harus dipikul. Tetapi siapa yang bertahan dia akan menang (bdk. Lukas 21:18-19).

Kita semua, umat beriman Kristiani yang telah dibaptis dipanggil menjadi saksi-saksi Kristus. Jadi ternyata menjadi saksi Tuhan bukan hanya milik hirarki. Jika kita membaca riwayat hidup para kudus, kebanyakan dari mereka adalah para awam yang berani memberikan kesaksian untuk mempertahankan imannya bahkan dengan resiko kematian. Kita ambil contoh kesaksian Santa Monika yang berhadapan dengan suami dan puteranya yang kafir. Kesaksiannya akhirnya dijawab Tuhan dengan pembaptisan suami dan anaknya menjadi Uskup terkenal. Santa Agnes yang setia kepada Kristus justru berhadapan dengan pemimpin kafir yang menjatuhkan tuduhan karena menolak menyembah berhala. Akhirnya berkat kesaksiannya, Santa Agnes yang setia kepada Kristus harus dihukum mati. Boleh dikatakan bahwa baru pada tahun 1965 Gereja memikirkan secara sistematis dengan mengeluarkan dekrit tentang Kerasulan Awam. Namun sebelum itu terjadi di banyak tempat dan lingkup umat tertentu bahwa Gereja itu diidentikan dengan Uskup dan Pastor. Artinya yang memberikan kesaksian hanyalah kaum berjubah. Padahal Gereja telah menyadari bahwa kita semua termasuk para awam memperoleh tugas dan hak atas kerasulan dari persatuan dengan Kristus. Oleh sakramen pembaptisan mereka bagai dicangkokkan ke dalam Tubuh Mistik Kristus dan dikukuhkan oleh Roh Kudus dalam Sakramen Krisma atau Penguatan.[14]

[1]Konferensi Wali Gereja Indonesia. Buku Iman Katolik - Buku Informasi Dan Referensi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 382.
[2]Ladislao Csonka. Menyusuri Sejarah Pewartaan Gereja, (Judul asli: Storia Della Catechesi), diterjemahkan oleh P. F.X. Adisusanto, SJ, (Jakarta: Komisi Kateketik KWI, 2010), hlm. 5-6.
[3]Felipe Gomez, SJ., The Good Shepherd, Cardinal Bea Institute, (Ateneo De Manila University, Quezon City, Philippines: 1997), hlm. 102-104.
[4]Mereka inilah umat dan kepada merekalah Injil, Kabar Gembira Kerajaan, Kabar Gembira pembebasan diwartakan {Lih. Yanuarius Seran, Pr. M.Hum., Pengembangan Komunitas Basis - Cara Baru Menjadi Gereja Dalam Rangka Evangelisasi Baru, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007), hlm.42}.
[5]Stephen B. Brevens & Roger P. Schroeder. Terus Berubah-Tetap Setia, Dasar, Pola, Konteks Misi, (Judul asli: Theology of Mission for Today), diterjemahkan oleh Yosef Maria Florisan, (Maumere:Ledalero, 2006), hlm. 608-611.
[6]Andar Ismail. Selamat Melayani Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 3.
[7]Drs. Philipus Tule, Lic., Agama-agama Kerabat Dalam Semesta, Wilhelmus Djulei, Lic (Editor), (Ende: Nusa Indah, 1994), hlm. 129-143.
[8]Suwita, Pr., Seri Pancatugas Gereja Bidang: Paguyuban, (Malang:Dioma, 2003), hlm. 3-19.
[9]Ibid hlm. 1-2.
[10]Ibid hlm. 7.
[11]Ibid hlm. 8-9.
[12]Konferensi Waligereja Indonesia. Ecclesia De Eucharistia (Ekaristi dan Hubungannya dengan Gereja), Seri Dokumen Gerejawi No. 67, Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFM.Cap (Penerj.), (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005), hlm. 30-43.
[13]Ibid, hlm. 426-429.
[14]Suwita, Pr., Seri Pancatugas Gereja Bidang: Kesaksian, (Malang: Dioma, 2003), hlm. 22-44.

Wednesday, July 26, 2017

Berapa kali kita perlu membuat tanda salib pada saat Perayaan Ekaristi?

Dalam Perayaan Ekaristi, umat membuat tanda salib bersama-sama dengan umat yang lain hanya dua kali saja. Pertama, pada waktu imam mengawali Misa dengan tanda salib, dan kedua pada waktu imam mengakhiri Misa dengan memberikan berkat. Selain itu, ada juga tiga tanda salib kecil yang dibuat bersama-sama imam dan umat yang lain, di dahi, di bibir dan di dada, pada awal bacaan Injil. Tanda salib kecil ini dibuat tanpa mengatakan apa-apa. Selain itu, umat bisa saja membuat tanda salib secara individual, sendiri-sendiri, pada waktu berdoa pribadi saat tiba di gereja dan saat hendak meninggalkan gereja, atau saat menyampaikan doa-doa pribadi di depan patung atau lukisan orang-orang kudus, di luar Misa.

Bagaimana dengan doa pribadi sebelum dan sesudah menerima Komuni? Perlukah umat membuat tanda salib? Boleh saja, meski sebenarnya tidak perlu. Misa pada hakikatnya adalah suatu doa juga, dan pada awal dan akhir Misa kita sudah membuat tanda salib bersama-sama; jadi, untuk berbagai doa yang dipanjatkan selama berlangsungnya Misa, sebenarnya umat tidak perlu membuat tanda salib lagi.

Ada umat yang membuat tanda salib sesaat sebelum atau sesaat sesudah menerima Tubuh Kristus; perlukah itu? Sebenarnya, tidak ada tradisi demikian di Gereja Katolik Ritus Romawi. Dalam aturan tertulis demikian, "Umat menyambut [Komuni] entah sambil berlutut entah sambil berdiri, ... Tetapi, kalau menyambut sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan mereka menyatakan tanda hormat yang serasi..." (PUMR. 160). Maka, daripada membuat tanda salib penghormatan, yang lebih cocok adalah membungkukkan badan atau berlutut dengan kaki kanan menyentuh lantai.

Ada umat yang setelah membuat tanda salib lalu mencium ujung ibu jari atau melanjutkannya dengan tiga tanda salib kecil seperti yang kita buat sebelum Injil; perlukah itu? Jawabnya, boleh-boleh saja karena hal ini merupakan penghayatan pribadi walau sebenarnya tidak perlu.

Sumber: Katekese Liturgi 2016 - Keuskupan Surabaya

Monday, July 24, 2017

Pengetahuan Liturgi Dasar bagi Organis

PENGANTAR

Organis adalah salah satu petugas liturgi yang memiliki peranan penting bagi lancar dan khidmatnya suatu perayaan Ekaristi. Tugasnya adalah mengiringi nyanyian umat dan/atau solis/koor. Untuk melaksanakan tugas ini diperlukan tidak hanya kemampuan musikal yang baik, tapi juga pengetahuan liturgi yang baik sehingga dapat turut serta meningkatkan kualitas perayaan Ekaristi sekaligus membantu umat dalam berdoa dan bernyanyi.

Di banyak paroki, seringkali kebutuhan akan organis yang baik hanya terbatas pada kemampuan teknikalnya untuk mengiringi nyanyian, tanpa diimbangi dengan pendidikan liturgi yang memadai terutama menyangkut peran liturgis seorang organis. Menurut pengalaman saya sendiri, sejak pertama bertugas sebagai organis tahun 1995 yang lalu, belum pernah diadakan sarasehan/workshop/seminar liturgi bagi organis. Dalam diskusi-diskusi di dunia facebook pun juga jarang sekali menyentuh organis.

Maka tulisan ini bermaksud memberikan sharing tentang apa yang saya ketahui sebagai organis, khususnya dari buku-buku liturgi, khususnya menyangkut hal-hal praktis dalam mengiringi perayaan Ekaristi. Apa yang saya sampaikan di sini bukanlah sesuatu yang baru karena sebenarnya sudah banyak disinggung dalam pengantar Buku Iringan Puji Syukur.

NYANYIAN MISA

Dalam satu perayaan Ekaristi, dimungkinkan ada banyak nyanyian. Secara garis besar nyanyian Misa dapat dibagi dua, yakni: Proprium, yakni nyanyian yang berubah seturut penanggalan liturgi, meliputi nyanyian pembuka, nyanyian komuni, mazmur tanggapan, dan bait pengantar injil. Ada pula yang biasa disebut ordinarium, yakni bagian yang tetap dari Misa, meliputi: kyriale (Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus, Agnus Dei), Bapa Kami, Anamnesis, dan aklamasi-aklamasi serta dialog-dialog yang dinyanyikan oleh Imam dan ditanggapi oleh seluruh umat. Selain itu bacaan-bacaan, doa umat, dan doa syukur agung dapat pula dinyanyikan. Nyanyian persembahan sifatnya opsional, artinya tidak perlu dinyanyikan bila tidak ada perarakan persembahan.

BAGIAN YANG BOLEH DAN TIDAK BOLEH DIIRINGI

Seperti yang sudah disampaikan di atas, tugas organis adalah mengiringi nyanyian umat dan/atau solis/koor. Setiap bagian yang dinyanyikan oleh umat dapat diiringi. Misalnya ketika jawaban umat "Terpujilah Kristus" setelah bacaan Injil. Namun organis tidak pernah boleh mengiringi bagian Imam, karena suara Imam sebagai pemimpin perayaan harus terdengar jelas tanpa diganggu suara lain yang berpotensi mengalihkan perhatian umat. Jadi misalnya dalam aklamasi sesudah Injil, ketika Imam menyanyikan "Demikianlah Injil Tuhan" organis tidak boleh mengiringi, kemudian ketika umat menyanyikan tanggapannya "Terpujilah Kristus" organis boleh mengiringi.Demikian pula dalam doa-doa yang didaraskan oleh Imam, organis tidak boleh mengiringi. Biasanya ini terjadi dalam perayaan perkawinan ketika pemberkatan cincin, organis atau koor malah mengiringi dengan nyanyian atau musik instrumental. Begitu pula pembacaan bacaan-bacaan, apalagi doa syukur agung tidak boleh diiringi apapun. Ini juga berlaku apabila bacaan-bacaan dan doa-doa tersebut dinyanyikan, juga tidak boleh diiringi.

Bagaimana dengan Mazmur Tanggapan, apakah nyanyian pemazmur boleh diiringi? Memang pernah ditemui organis yang tidak mengiringi ayat-ayat mazmur dan hanya mengiringi ulangan saja, biasanya didasari pada argumen seperti di atas, bahwa nyanyian mazmur termasuk dalam bacaan Kitab Suci. Memang Mazmur tanggapan adalah bagian Kitab Suci, namun sifat Mazmur Tanggapan adalah tanggapan umat atas Sabda Allah yang baru saja diperdengarkan, sehingga sesungguhnya bagian tersebut, termasuk ayatnya, adalah bagian umat. Mungkin pendapat saya ini kurang tepat, namun yang saya tahu, Romo Antonius Soetanta SJ seorang pakar liturgi membuat buku khusus untuk mengiringi ayat-ayat Mazmur Tanggapan. Jadi kalaupun alasan saya kurang tepat, masih bisa berdalih mengikuti ahlinya. Hehehe.

REGISTER SUARA

Alat musik liturgi resmi Gereja Katolik adalah orgel pipa. Alat musik ini selain suaranya yang khas, juga memiliki ciri khas lain yakni pedalnya yang panjang sebanyak sekitar 2 oktaf, berbeda dengan organ modern yang hanya sekitar 1,5 oktaf. Seiring perkembangan teknologi dan mengingat biaya pembuatan orgel pipa juga mahal sekali, suara yang dihasilkan orgel pipa dapat direproduksi oleh organ modern, khususnya organ besar merk Rodgers atau Eminent. Namun belakangan ini makin jarang pula ditemui organ seperti Rodgers atau Eminent. Bisa dikatakan, di setiap gereja di KAJ selalu ada organ modern, khususnya merk Yamaha yang konon user friendly dan dapat mengeluarkan lebih banyak suara. Bila demikian, sungguh baik apabila suara organ yang menyerupai orgel pipa tetap dipertahankan sebagai register utama untuk mengiringi nyanyian.

VOLUME

Mengingat peran organ sebagai pengiring, tentu saja volumenya tidak boleh lebih keras dari yang diiringi. Dalam liturgi, kata-kata nyanyian memiliki porsi utama, maka jangan sampai kata-kata menjadi tidak jelas karena tertimpa suara iringan. Maka sangat perlu bagi organis melakukan penelitian kecil-kecilan untuk mengetahui volume ideal.

NYANYIAN MERIAH

Ada beberapa nyanyian yang punya sifat meriah. Dalam pemahaman saya nyanyian yang harus meriah adalah Kemuliaan, Bait Pengantar Injil sampai Aklamasi Sesudah Injil, aklamasi sebelum prefasi dan Kudus. Pada bagian ini biasanya saya pakai register meriah, seperti Octave 2, untuk memacu umat dan menunjukkan kemeriahan nyanyian-nyanyian ini.

NYANYIAN BERBENTUK DIALOG

Yang dimaksud nyanyian berbentuk dialog adalah nyanyian yang dibagi dalam dua kelompok, yakni koor dan umat. Contohnya adalah lagu-lagu kyriale di Puji Syukur misalnya Misa Kita II, selalu ada bagian yang dikhususkan untuk koor dan ada yang khusus umat.

Romo Tanto pernah mengajari saya tehnik yang tepat untuk mengiringi nyanyian tipe ini, yakni menggunakan register lembut untuk mengiringi bagian koor dan menggunakan register yang lebih keras untuk mengiringi bagian umat. Cara lainnya yang selalu saya pakai adalah, tidak menggunakan pedal ketika bagian koor dan menggunakan pedal ketika bagian umat. Kombinasi atas kedua cara ini juga bisa dilakukan ketika koor menyanyikan SATB dengan baik pada bagiannya, yakni mengiringi dengan register lembut tanpa pedal ketika bagian koor, dan dengan register keras dengan pedal ketika bagian umat. Kebetulan buku koor Puji Syukur untuk SATB selalu menyanyikan unisono pada bagian umat, ini juga untuk mendukung dialog koor-umat.

Apa sesungguhnya tujuan pola seperti ini? Saya pernah baca, dialog koor-umat atau satu bagian umat dengan bagian yang lain, adalah simbolisasi dialog Allah dengan manusia. Bingung? Saya juga :D, jadi mari kita belajar menghayati simbolisasi ini dengan lebih baik.

MUSIK INSTRUMENTAL

Pernah suatu ketika saya mengiringi sebuah koor. Pada saat nyanyian komuni, lagunya sudah selesai ketika perarakan komuni sudah selesai. Dirigen kemudian meminta untuk memainkan organ secara instrumental karena Imam masih membereskan bejana-bejana di altar. Dalam kesempatan lain, pada perarakan persembahan dirigen juga meminta hal serupa karena Imam masih menyiapkan bahan persembahan di altar.

Alasan seperti itu sesungguhnya tidak tepat karena fungsi nyanyian adalah mengiringi prosesi. Nyanyian pembuka untuk mengiringi perarakan pembuka, nyanyian persiapan persembahan untuk mengiringi perarakan persembahan, dan nyanyian komuni untuk mengiringi prosesi komuni. Nyanyian tetap boleh dilangsungkan sampai setelah perarakan itu selesai, namun bila nyanyian selesai ketika prosesinya sudah selesai, tidak perlu ada nyanyian lagi. Khususnya dalam hal prosesi komuni, saat hening sesudah komuni juga merupakan bagian dari ibadat. Maka bila nyanyian komuni sudah selesai, begitu pula prosesinya, tidak perlu ditambahkan nyanyian lagi atau musik instrumental untuk memberikan waktu hening bagi umat.

Pada prinsipnya, musik instrumental diijinkan untuk mengiringi prosesi pembuka, perarakan persembahan dan prosesi komuni, juga pada saat akhir Misa. Tentu saja lebih baik bila bagian tersebut dinyanyikan. Namun memainkan musik secara instrumental tidak diijinkan pada masa Adven, Prapaskah, Trihari Suci, dan pada perayaan liturgi seputar kematian. Pada masa-masa itu, alat musik hanya diijinkan untuk mengiringi nyanyian dan tidak untuk dimainkan tersendiri.

ORGANIS BUKAN PEMIMPIN NYANYIAN

Dalam suatu perayaan Ekaristi atau ibadat lainnya, pemimpin nyanyian adalah seorang dirigen atau bila tidak ada dirigen adalah solis. Organis adalah pengiring dan bukan pemimpin nyanyian. Maka dalam menjalankan tugasnya, seorang organis terikat pada kewajiban untuk taat kepada si pemimpin nyanyian. Sering terjadi ada organis yang memainkan tempo lagu sesukanya sendiri dan tidak sesuai dengan aba-aba dirigen. Yang seperti ini tidak tepat dan hanya menunjukkan ego si organis. Taat pada pemimpin nyanyian adalah bagian dari spiritualitas seorang organis.

Penulis: Onggo Lukito, organis Paroki St. Robertus Bellarminus, Cililitan, Jakarta Timur.

Sunday, July 23, 2017

Bolehkah Homili Digantikan Dengan Drama?

Jika kita berpegang kepada Redemptionis Sacramentum, jawabannya adalah tidak. Homili yang menjelaskan bacaan-bacaan Kitab Suci dan Injil, merupakan satu kesatuan dengan bacaan-bacaan tersebut dalam Liturgi Sabda, di mana melalui pembacaan Sabda itu, Tuhan Yesus hadir (lih. KGK 1088).

Atas dasar pemahaman ini, umumnya homili dibawakan oleh imam perayaan yang berperan sebagai Kristus (in persona Christi), yang juga menyatakan kehadiran Kristus dalam Sabda-Nya. Maka tidak pada tempatnya homili digantikan dengan drama, apalagi dengan tari-tarian yang melompat-lompat, karena maksud homili adalah menjelaskan misteri iman dan norma-norma hidup Kristiani berkaitan dengan ayat-ayat Kitab Suci yang baru saja dibacakan.

Ketentuannya dalam Redemptionis Sacramentum tentang homili adalah demikian:

RS 64 Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa Kudus, dan yang merupakan bagian utuh dari liturgi itu �pada umumnya dibawakan oleh Imam perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam konselebran, atau kadang-kadang, tergantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu atau karena alasan khusus, tugas homili bahkan dapat diberikan kepada seorang Uskup atau Imam yang hadir dalam perayaan Ekaristi tetapi tidak ikut berkonselebrasi.

RS 65 Perlulah diingat bahwa norma apapun yang di masa lalu mengizinkan orang beriman tak tertahbis membawakan homili dalam perayaan Ekaristi, harus dipandang sebagai batal berdasarkan norma kanon 767, �1. Praktek ini sudah dibatalkan dan karenanya tidak bisa mendapat pembenaran berdasarkan kebiasaan.

RS 66 Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam Misa, berlaku juga untuk para seminaris, untuk mahasiswa teologi dan untuk orang yang telah diangkat dan dikenal sebagai �asisten pastoral�; tidak boleh ada kekecualian untuk orang awam lain, atau kelompok, komunitas atau perkumpulan apa pun.

Demikianlah ketentuan dari Kitab Hukum Kanonik tentang homili:

KHK kan 767

� 1 Di antara bentuk-bentuk khotbah, homililah yang paling unggul, yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri dan direservasi bagi imam atau diakon; dalam homili itu hendaknya dijelaskan misteri- misteri iman dan norma-norma hidup kristiani, dari teks suci sepanjang tahun liturgi.

� 2 Dalam semua Misa pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya wajib yang dirayakan oleh kumpulan umat, homili harus diadakan dan tak dapat ditiadakan, kecuali ada alasan yang berat.

� 3 Jika cukup banyak umat berkumpul, sangat dianjurkan agar diadakan homili, juga pada perayaan Misa harian, terutama pada masa adven dan prapaskah atau pula pada kesempatan suatu pesta atau peristiwa duka.

� 4 Pastor paroki atau rektor gereja wajib mengusahakan agar ketentuan-ketentuan ini ditepati dengan seksama.

Sumber : http://www.katolisitas.org/bolehkah-homili-digantikan-dengan-drama/

Friday, July 21, 2017

Makna Nyanyian Perarakan

Setelah umat bersiap-siap di dalam ruangan perayaan, dirigen atau pemimpin nyanyian mengumumkan nomor nyanyian yang hendak dilambungkan. Mereka bernyanyi dengan sukacita. Para petugas yang sudah terampil pun berjalan dengan wajah berseri-seri.

Nyanyian menciptakan keindahan iman seluruh Gereja yang satu dan kudus, tak hanya kesatuan di antara mereka yang sedang mengawali perayaan Ekaristi.

Dalam nyanyian itu segala perbedaan dan keunikan suara dipadukan. Suara Gereja sedang berkumandang. Suara yang menggemakan kesatuan iman, doa, dan pujian dari Gereja semesta di seluruh dunia. Kita meyakini pula bahwa suara Gereja itu sedang berpadu dengan suara-suara surgawi. Para malaikat dan orang-orang kudus turut bergabung dan bersukacita dalam perayaan Gereja. Ada misteri tersembunyi di balik keindahan umat yang bernyanyi.

Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR 47) menjelaskan: �Setelah umat berkumpul, imam bersama dengan diakon dan para pelayan berarak menuju altar. Sementara itu dimulai nyanyian perarakan.� Perarakan masuk mengandaikan terwujudnya kebersamaan umat terlebih dulu. Imam bersama rombongan berarak menuju altar. Para pelayan menghormati altar, meletakkan peranti perarakan pada tempatnya, lalu menuju tempat duduk yang sudah disediakan bagi mereka. Imam menghormati altar dengan tiga cara: membungkuk, mendupai, mencium.

Nyanyian perarakan terus mengiringi semua tindakan itu, sampai dengan imam siap di kursinya untuk melanjutkan ke ritus berikutnya. Nyanyian berhenti sebelum imam membuat tanda Salib bersama jemaat. Jika bait-bait nyanyian sudah habis, sementara imam belum siap di kursinya, sebaiknya nyanyian diulangi lagi dari awal atau alat musik meneruskannya secara instrumental.

Maksud dan cara

Sebagai unsur yang memperindah perarakan masuk, nyanyian perarakan terutama bertujuan untuk "membuka Misa, membina kesatuan umat yang berhimpun, mengantar masuk ke dalam misteri masa liturgi atau pesta yang dirayakan, dan mengiringi perarakan imam beserta pembantu-pembantunya." Beberapa butir tujuan ini dapat dijadikan acuan ketika kita hendak menentukan apa nyanyiannya dan bagaimana membawakannya.

Syair dan melodi seperti apa yang paling cocok untuk dapat memenuhi tuntutan tujuan di atas? Untuk membantu menentukan pilihan, PUMR 48 menganjurkan dua buku nyanyian gregorian. Buku nyanyian lain juga boleh digunakan asalkan nyanyian yang dipilih masih sesuai dengan sifat perayaan, sifat pesta, dan suasana masa liturgi, serta disahkan oleh Konferensi Waligereja atau Uskup Dioses.

Sudah selayaknya semua nyanyian dalam buku resmi yang disahkan para uskup telah teruji melalui tiga penilaian, yakni dari sisi liturgis (fungsi dalam liturgi), pastoral (keadaan umat dan budayanya), dan musikal (kualitas estetisnya). Proses pemilihan nyanyian dipercayakan kepada mereka yang cukup memahami ketiga bidang itu. Jika disadari bahwa ternyata ditemukan nyanyian yang tidak mengindahkan tiga penilaian tadi, meski ada dalam buku resmi, jangan ragu untuk tak memilih nyanyian itu.

Ada beberapa cara membawakan nyanyian ini. Paduan suara dan umat bisa membawakan bersama sama atau bergantian. Dapat juga umat melagukan seluruhnya. Atau paduan suara saja yang mewakili umat bernyanyi. Tentu cara terakhir ini lebih baik baru dipilih jika keadaan umat memang tidak memungkinkan. Bagaimanapun akan terasa lebih indah jika kesatuan dan kebersamaan umat sungguh tampak saat mereka bernyanyi.

Sumber: http://archdioceseofmedan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=357%3Amakna-nyanyian&catid=1%3Aartikel-terbaru&Itemid=1

Thursday, July 20, 2017

Dewan Kardinal

oleh: P. William P. Saunders*

Saya membaca bahwa Bapa Suci mengangkat beberapa kardinal baru. Bagaimana asal-mula jabatan ini? Bagaimana seseorang dapat menjadi kardinal? ~ seorang pembaca di Burke

Paus Yohanes Paulus II secara resmi mengangkat 30 orang kardinal baru pada tanggal 28 September 2003 dan akan secara resmi memasukkan mereka ke dalam �Dewan Kardinal� pada tanggal 21 Oktober. (Seorang kardinal lain - kardinal yang ke-31 - diangkat sebagai kardinal �in pectore� (�dalam hati�), artinya nama kardinal tersebut dirahasiakan.) Ketigapuluh kardinal baru ini terdiri dari tujuh pejabat Kuria Romawi, 19 uskup agung, dan empat imam yang dihormati Bapa Suci karena pelayanan mereka kepada Gereja. Para kardinal tersebut berasal dari 21 negara yang berbeda.

Perkembangan jabatan kardinal serta tugas tanggung-jawabnya tercermin dalam dua akar kata yang mungkin membentuknya. Di satu pihak, para ilmuwan berpendapat bahwa �kardinal� berasal dari bahasa Latin �cardo�, yang berarti �poros�, karenanya menunjuk pada seseorang yang diserahi kepercayaan untuk suatu jabatan administratif gerejawi yang penting. Di lain pihak, sebagian ilmuwan berpendapat bahwa �kardinal� berasal dari bahasa Latin �incardinare�, suatu istilah yang pertama kali didapati dalam Surat-surat Paus St. Gregorius I (wafat thn 604), yang menunjuk pada penerimaan secara resmi para klerus yang melayani suatu keuskupan selain dari para uskup yang memang ditahbiskan untuk itu. Kedua arti tersebut berperan dalam sejarah mengenai jabatan ini yang hendak kita bicarakan.

Gelar kardinal muncul menyusul invasi kaum barbar yang terjadi sekitar tahun 500. Selama masa-masa pergolakan ini, uskup dipindahtugaskan untuk melayani keuskupan lain jika keuskupannya sendiri dikuasai dan Gereja ditutup. Dalam situasi seperti ini, para uskup dipindahtugaskan ke suatu keuskupan baru dan akan tetap tinggal di sana sebagai �kardinal uskup� hingga keuskupan mereka sendiri pulih kembali.

Sekitar abad 10 di Roma, para klerus senior yang terikat pada basilika dan ke-27 �gelar� Gereja-gereja Roma - paroki-paroki pertama - disebut sebagai kardinal untuk menyatakan suatu tingkat penghormatan terhadap jabatan mereka. Hingga tingkat tertentu, hak istimewa ini diperluas pada para imam yang melayani di beberapa gereja katedral utama lainnya, seperti Cologne, Trier, Madgeburg, dan Santiago de Compostela. Namun demikian, di Roma, para kardinal ini menjadi suatu badan istimewa dan lebih terlibat dalam tugas-tugas liturgi dan administratif Gereja.

Pada masa Paus Leo IX (wafat thn 1054), gelar kardinal diperuntukkan bagi para penasehat dan pembantu utama Paus yang tinggal di Roma. Pada tahun 1059, Paus Nikolaus II menunjuk para kardinal sebagai penentu suksesi paus. Pada tahun 1084, bukan hanya para uskup dan para imam yang dianugerahi gelar kardinal, melainkan juga para diakon; sebagai contoh, dalam masa pontifikat Paus Urbanus II, terdapat tujuh kardinal diakon, jumlah yang biasa ditetapkan bagi diakon yang melayani paus. Juga pada masa itu, gelar kardinal dan hak untuk memilih Paus diberikan kepada para uskup yang tinggal di luar wilayah Roma dan memimpin keuskupannya sendiri. Di kemudian hari, Paus Alexander III (wafat thn 1181) pada tahun 1179 menetapkan bahwa hak pengangkatan kardinal secara eksklusif ada dalam wewenang Paus.

Sepanjang sejarah, jumlah kardinal berubah-ubah. Paus Sixtus V (wafat thn 1590) pada tahun 1586 menetapkan jumlah kardinal adalah 70, sesuai jumlah Tua-tua dalam Perjanjian Lama. Paus Yohanes XXIII (wafat thn 1963) mencabut ketentuan ini dengan menambah jumlah kardinal. Dalam surat apostoliknya �Ingravescentem Aetatem� (1970, Paus Paulus VI menetapkan batasan usia tertentu bagi para kardinal: pada usia 75 tahun, seorang kardinal wajib mengajukan pengunduran dirinya sebagai kepala dari suatu jabatan administratif di Kuria atau pengunduran dirinya sebagai uskup, yang mana pengunduran diri ini dapat diterima ataupun ditolak. Pada usia 80 tahun, seorang kardinal kehilangan hak suaranya dalam pemilihan penerus St Petrus. Dengan dimasukkannya para kardinal baru, Dewan Kardinal sekarang mempunyai 194 anggota (tidak termasuk kardinal in pectore), 139 di antaranya memiliki hak pilih. Sebagai tambahan, jumlah normal para kardinal yang layak memberikan suaranya dalam pemilihan penerus St Petrus adalah 120; tetapi, Paus Yohanes Paulus II telah melampaui jumlah tersebut, seperti yang telah dilakukannya di masa lampau.

Seperti disinggung di atas, Bapa Suci mengangkat satu kardinal in pectore, artinya ia menyimpan nama kardinal tersebut dalam hati. Tujuan dari merahasiakan identitas seorang kardinal adalah untuk melindunginya dari bahaya, baik bahaya politik atau bahaya lainnya di mana ia tinggal. Kardinal in pectore tidak terikat tugas kewajiban seorang kardinal pun ia tidak memiliki hak istimewa seorang kardinal; tetapi, keadaan akan berbalik begitu Bapa Suci mengungkapkan namanya, dan hak presedensi / senioritasnya dihitung sejak dari saat paus mengangkatnya sebagai kardinal in pectore.

Patut kita ingat bahwa paus memilih sebagai kardinal, mereka yang �unggul dalam ajaran, kesusilaan, kesalehan dan juga kearifan bertindak� (Kitab Hukum Kanonik, Kan 351). Pada umumnya uskup - sesungguhnya uskup agung sebab ia memimpin suatu keuskupan yang luas - yang ditunjuk sebagai kardinal. (Jika yang ditunjuk bukan seorang uskup, haruslah ia menerima tahbisan uskup. Namun demikian, suatu pengecualian dilakukan ketika Pastor Avery Dulles diangkat sebagai kardinal; Pastor Avery Dulles mohon pada Bapa Suci untuk tidak ditahbiskan sebagai uskup sebab, mengingat usianya yang telah lewat 80 tahun, ia beranggapan tidak akan mampu melaksanakan tugas tanggung-jawab yang diharapkan sekaligus sebagai kardinal dan uskup.)

Teristimewa sejak masa pontifikat Paus Paulus VI, pemilihan para kardinal lebih mencerminkan Gereja semesta dari segenap penjuru dunia. Dengan mengangkat ketigapuluh kardinal baru ini, yang terdiri dari para pejabat Kuria Romawi, para uskup agung (termasuk dari negara-negara seperti Vietnam dan Sudan di mana Gereja mengalami penganiayaan), dan para imam yang dihormati karena pelayanan mereka yang luar biasa kepada Gereja, Bapa Suci mengatakan, �Mereka semuanya, dengan aneka ragam bentuk pelayanan yang berbeda, mencerminkan universalitas Gereja.�

Keseluruhan kardinal membentuk suatu �dewan� khusus yang mengemban tanggung-jawab atas terselenggaranya pemilihan paus. Seperti disampaikan Bapa Suci dalam sambutannya kepada para kardinal baru yang diangkat pada tahun 1988, �[Mereka] membentuk badan Gereja, para rekan kerja utama paus dalam pelayanan pastoralnya yang universal.� Dewan Kardinal dipimpin oleh seorang dekan yang dipilih oleh para kardinal lainnya dan disahkan oleh paus. Para kardinal secara kolegial membantu paus saat mereka berkumpul dalam suatu konsistori atas undangan untuk membahas masalah-masalah yang sangat penting. Secara individual, seorang kardinal mengepalai suatu lembaga di Kuria atau ambil bagian dalam suatu komisi kepausan. Sebagai contoh, Kardinal Ratzinger adalah Kepala Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman.

Terakhir, satu hal kecil mengenai mengapa para kardinal mengenakan jubah berwarna merah. Dalam upacara pelantikan, Bapa Suci mengatakan: �Merah adalah lambang wibawa jabatan kardinal, yang melambangkan bahwa kalian siap bertindak dengan gagah berani, bahkan hingga pada tahap mencurahkan darah kalian demi berkembangnya iman Kristiani.�

Jabatan kardinal memang merupakan jabatan terhormat, namun demikian, juga menuntut tanggung-jawab yang berat. Pada tahun 1998, menyambut milenium baru, Bapa Suci menyampaikan nasehat kepada para kardinal dan juga segenap dewan: �Kiranya Parakletos [Roh Kudus] dapat tinggal sepenuhnya dalam diri kalian masing-masing, memenuhi kalian dengan penghiburan ilahi, dan dengan demikian menjadikan kalian penghibur bagi mereka semua yang menderita, teristimewa para anggota Gereja yang menanggung banyak pencobaan, para anggota komunitas-komunitas yang sengsara dan teraniaya karena Injil�. Kalian dipanggil untuk membantu Paus dalam mengemudikan bahtera Petrus menuju tujuan surgawi. Aku mengandalkan dukungan kalian, nasehat bijak kalian yang mencerahkan dalam membimbing Gereja menghadapi tahap terakhir persiapan menyambut Tahun Suci. Bersama-sama kalian melangkah melewati ambang tahun 2000, aku memohon kepada Tuhan karunia Roh Ilahi yang berlimpah ruah bagi segenap Gereja, agar `musim semi' Konsili Vatikan II dapat sampai pada `musim panas'nya, yaitu, perkembangannya yang matang, dalam milenium baru. Misi yang dipercayakan Tuhan kepada kita sekarang membutuhkan kepekaan yang seksama serta terus-menerus. Oleh sebab itulah, aku menasehati kalian agar lebih dan terlebih lagi menjadi utusan-utusan Allah, yang mendengarkan SabdaNya dengan seksama, yang mampu memantulkan terang-Nya di tengah umat Kristiani dan segenap umat manusia yang berkehendak baik.�

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : �Straight Answers: The College of Cardinals� by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright �2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: �diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.�

Tuesday, July 18, 2017

Caeremoniarius dalam Liturgi Katolik

Duta Besar Vatikan untuk Indonesia
Berikut ini beberapa informasi singkat mengenai caeremoniarius dalam Liturgi Gereja Katolik.

Siapa itu caeremoniarius dan bagaimanakah peranannya dalam Liturgi Gereja kita?

Berikut ini beberapa kutipan dari dokumen liturgi dan artikel mengenai seremoniarius atau pemandu ibadat/perayaan liturgi.

�Terutama untuk gereja-gereja katedral atau gereja-gereja yang besar dianjurkan agar ditunjuk seorang pelayan yang mumpuni atau seorang caeremoniarius (pemandu ibadat) untuk mempersiapkan perayaan liturgi dengan baik, membagikan tugas kepada masing-masing pelayan, dan mengatur pelaksanaan perayaan, sehingga berlangsung dengan indah, rapi, dan khidmat.� (Pedoman Umum Misale Romawi no. 106).

�Suatu perayaan liturgi, khususnya yang dipimpin oleh uskup, agar dapat me-mancarkan keindahan, kesederhanaan dan keteraturannya, membutuhkan seorang magister caeremoniarum untuk menyiapkan dan memimpinnya dalam kerjasama erat dengan uskup dan pihak-pihak lain�� (Caeremoniale Episcoporum [Ceremonial of Bishops] no. 34).

Dari dua kutipan ini nampak bahwa seremoniarius memainkan peranan penting baik pada waktu menyiapkan maupun pada saat pelaksanaan perayaan liturgi, khususnya yang dipimpin oleh Uskup, seperti Misa Tahbisan Diakon/Imam, Misa Krisma, Misa Paskah, Misa Natal, dan Misa-Misa meriah lainnya yang dipimpin oleh Uskup.

Namun, sayangnya fungsi dan peranan seremoniarius dalam perayaan-perayaan liturgi Gereja Katolik di keuskupan-keuskupan di Indonesia nampaknya belum begitu dikenal. Kata �caeremoniarius� itu sendiri mungkin masih terdengar asing di telinga banyak umat Katolik Indonesia.

Sumber: http://www.mirifica.net/2014/06/12/lokakarya-nasional-caeremoniarius-komisi-liturgi-kwi/

Sunday, July 16, 2017

Magister Caeremoniarum

Ada seorang yang sama yang selalu berada di sebelah kiri belakang Paus pada setiap perayaan liturgi. Pernahkah Anda melihatnya di foto, siaran langsung atau rekaman misa kudus yang dipimpin Paus? Ia adalah �Maestro delle Celebrazioni Liturgiche Pontificie� atau Pemandu Perayaan Liturgi Kepausan (MC Kepausan). Anda mungkin lebih sering melihat Uskup Agung Piero Marini (tiga foto pertama), yang lebih dari 20 tahun melayani Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI. Mulai 1 Oktober 2007, Mgr. Piero Marini telah digantikan oleh Mgr. Guido Marini (tiga foto selanjutnya) yang kebetulan memiliki nama keluarga yang sama.

MC Kepausan tidak hanya mengatur seluruh perayaan liturgi yang dipimpin, dihadiri atau diselenggarakan atas nama Paus, ia juga harus menunjuk salah seorang pembantunya untuk mendampingi para kardinal dalam berbagai perayaan liturgi yang bersifat meriah.

Hanya Paus dan kardinal kah yang memerlukan layanan Magister Caeremoniarum atau Pemandu Perayaan Liturgi atau Pemandu Ibadat ini? Tidak. Tentang ini, PUMR 106 menyebutkan: �Terutama untuk gereja-gereja katedral atau gereja-gereja yang besar dianjurkan agar ditunjuk seorang pelayan yang mumpuni atau seorang caeremoniarius (pemandu ibadat) untuk mempersiapkan perayaan liturgi dengan baik, membagikan tugas kepada masing-masing pelayan, dan mengatur pelaksanaan perayaan, sehingga berlangsung dengan indah, rapi, dan khidmat.� Secara lebih khusus, Caeremoniale Episcoporum (Ceremonial of Bishops atau Tata Upacara Para Uskup, belum ada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia) yang dikeluarkan oleh Tahta Suci, menyebutkan pentingnya fungsi Magister Caeremoniarum sebagai salah satu pelayan utama uskup (CE 34-36).

Caeremoniale Episcoporum menyebutkan bahwa untuk suatu perayaan liturgi, khususnya yang dipimpin oleh uskup, agar nampak jelas keanggunan, kesederhanaan dan juga keteraturannya, diperlukan seorang MC untuk merencanakan dan mengaturnya. Untuk keperluan ini, MC bekerjasama secara erat dengan uskup dan pihak-pihak lain yang bertanggung jawab atas perencanaan bagian-bagian perayaan liturgi, termasuk dengan imam, diakon, akolit/putra altar, lektor, pemazmur, koor dan pemusik serta koster.

Seorang MC perlu memiliki pengetahuan tentang sejarah dan karakter dari liturgi serta semua hukum dan peraturannya. Tidak kalah pentingnya, ia pun hendaknya memiliki pengetahuan pastoral yang memadai, agar dapat merencanakan perayaan liturgi dengan partisipasi umat yang membuahkan hasil, yang pada akhirnya akan menambah keindahan ritus itu. MC harus memastikan bahwa suatu perayaan liturgi diselenggarakan sesuai dengan aturan-aturan liturgi dan, lebih jauh lagi, dengan esensi dari aturan-aturan tersebut, dan juga dengan mengindahkan tradisi-tradisi gereja partikular yang memiliki nilai pastoral (CE 34).

Dalam suatu perayaan liturgi, MC mengatur kapan saatnya para pelayan dan para selebran melaksanakan suatu tindakan dan juga teks-teks apa yang digunakan. Sungguhpun begitu, ia hendaknya melaksanakan tugasnya dengan bijaksana dan tanpa menonjolkan diri. Ia mengatur, bergerak dan berbicara secukupnya dan sama sekali tidak boleh menggantikan fungsi diakon di sisi selebran. Ia harus menjalankan tugasnya dengan takzim, sabar, teliti dan perhatian (CE 35). Selama perayaan, selebran utama dan seluruh petugas liturgis (sekalipun seorang uskup) sudah selayaknya patuh mengikuti petunjuk-petunjuknya (Suryanugraha, 2004).

Jelas di sini bahwa MC sebagai pemandu perayaan liturgi tidak sama dengan MC sebagai pemandu acara di dalam kehidupan sehari-hari kita, yang biasanya tampil dominan dan banyak bicara. Kalau kita perhatikan, MC Kepausan bahkan tidak sekalipun pernah berbicara kepada umat. Bilamana memang perlu menyampaikan sesuatu atau memberi petunjuk kepada umat, Komentator lah yang melakukan, bukan MC.

Bagaimana posisi seorang MC dalam suatu Keuskupan? Bagaimana relasinya dengan Komisi Liturgi Keuskupan? Seorang MC Keuskupan menjalankan fungsi eksekutif dalam koridor norma-norma yang di antaranya ditetapkan oleh Komisi Liturgi Keuskupan, yang dalam hal ini menjalankan fungsi yudikatif terbatas, sesuai dengan hak-hak yang diperolehnya untuk mengatur beberapa hal mengenai liturgi gereja partikular. Ini adalah analogi yang kurang lebih sama dengan posisi MC Kepausan dalam relasinya dengan Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen, yang memiliki kewenangan mengatur liturgi gereja universal. MC dapat dipilih dari kalangan imam, diakon atau awam yang dipercaya karena memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai liturgi (Elliott, 2004).
Paus Benediktus XVI sewaktu masih menjadi kardinal pernah menulis, �How we attend to liturgy determines the fate of the faith and the church (A New Song for the Lord, 1996).� Peran MC yang mumpuni sebagai pemandu perayaan liturgi, khususnya yang dipimpin oleh uskup, dapat membantu meningkatkan mutu perayaan liturgi, dan secara khusus ketaatan dengan aturan-aturan liturgi yang sangat detil dan penuh dengan simbol-simbol yang bermakna, serta kesesuaiannya dengan kepentingan pastoral. Di tingkat Keuskupan, dengan bantuan MC yang baik, perayaan liturgi uskup diharapkan akan benar-benar dapat menjadi model bagi seluruh keuskupan, seperti diamanatkan oleh CE 12 dan PUMR 22.

Catatan: Artikel ini dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol 19 No 2 - Mar-Apr 2008.

Saturday, July 15, 2017

Mengenal Magister Caeremoniarius

Sebuah perayaan liturgi besar sudah sepantasnya memiliki seorang atau lebih Caerominiarius.

Siapakah mereka itu sebenarnya?

Barangkali tulisan ini bisa membuka cakrawala untuk semakin mengenal kehadiran caeromoniarius. Ada seorang yang sama yang selalu berada di sebelah kiri belakang Paus pada setiap perayaan liturgi. Pernahkah Anda melihatnya di foto, siaran langsung atau rekaman misa kudus yang dipimpin Paus? Ia adalah �Maestro delle Celebrazioni Liturgiche Pontificie� atau Pemandu Perayaan Liturgi Kepausan (MC Kepausan). Anda mungkin lebih sering melihat Uskup Agung Piero Marini (tiga foto pertama), yang lebih dari 20 tahun melayani Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI. Mulai 1 Oktober 2007, Mgr. Piero Marini telah digantikan oleh Mgr. Guido Marini (tiga foto selanjutnya) yang kebetulan memiliki nama keluarga yang sama.

MC Kepausan tidak hanya mengatur seluruh perayaan liturgi yang dipimpin, dihadiri atau diselenggarakan atas nama Paus, ia juga harus menunjuk salah seorang pembantunya untuk mendampingi para kardinal dalam berbagai perayaan liturgi yang bersifat meriah.

Hanya Paus dan kardinal kah yang memerlukan layanan Magister Caeremoniarum atau Pemandu Perayaan Liturgi atau Pemandu Ibadat ini? Tidak. Tentang ini, PUMR 106 menyebutkan: �Terutama untuk gereja-gereja katedral atau gereja-gereja yang besar dianjurkan agar ditunjuk seorang pelayan yang mumpuni atau seorang caeremoniarius (pemandu ibadat) untuk mempersiapkan perayaan liturgi dengan baik, membagikan tugas kepada masing-masing pelayan, dan mengatur pelaksanaan perayaan, sehingga berlangsung dengan indah, rapi, dan khidmat.� Secara lebih khusus, Caeremoniale Episcoporum (Ceremonial of Bishops atau Tata Upacara Para Uskup, belum ada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia) yang dikeluarkan oleh Tahta Suci, menyebutkan pentingnya fungsi Magister Caeremoniarum sebagai salah satu pelayan utama uskup (CE 34-36).

Caeremoniale Episcoporum menyebutkan bahwa untuk suatu perayaan liturgi, khususnya yang dipimpin oleh uskup, agar nampak jelas keanggunan, kesederhanaan dan juga keteraturannya, diperlukan seorang MC untuk merencanakan dan mengaturnya. Untuk keperluan ini, MC bekerjasama secara erat dengan uskup dan pihak-pihak lain yang bertanggung jawab atas perencanaan bagian-bagian perayaan liturgi, termasuk dengan imam, diakon, akolit/putra altar, lektor, pemazmur, koor dan pemusik serta koster.

Seorang MC perlu memiliki pengetahuan tentang sejarah dan karakter dari liturgi serta semua hukum dan peraturannya. Tidak kalah pentingnya, ia pun hendaknya memiliki pengetahuan pastoral yang memadai, agar dapat merencanakan perayaan liturgi dengan partisipasi umat yang membuahkan hasil, yang pada akhirnya akan menambah keindahan ritus itu. MC harus memastikan bahwa suatu perayaan liturgi diselenggarakan sesuai dengan aturan-aturan liturgi dan, lebih jauh lagi, dengan esensi dari aturan-aturan tersebut, dan juga dengan mengindahkan tradisi-tradisi gereja partikular yang memiliki nilai pastoral (CE 34).

Dalam suatu perayaan liturgi, MC mengatur kapan saatnya para pelayan dan para selebran melaksanakan suatu tindakan dan juga teks-teks apa yang digunakan. Sungguhpun begitu, ia hendaknya melaksanakan tugasnya dengan bijaksana dan tanpa menonjolkan diri. Ia mengatur, bergerak dan berbicara secukupnya dan sama sekali tidak boleh menggantikan fungsi diakon di sisi selebran. Ia harus menjalankan tugasnya dengan takzim, sabar, teliti dan perhatian (CE 35). Selama perayaan, selebran utama dan seluruh petugas liturgis (sekalipun seorang uskup) sudah selayaknya patuh mengikuti petunjuk-petunjuknya (Suryanugraha, 2004).

Jelas di sini bahwa MC sebagai pemandu perayaan liturgi tidak sama dengan MC sebagai pemandu acara di dalam kehidupan sehari-hari kita, yang biasanya tampil dominan dan banyak bicara. Kalau kita perhatikan, MC Kepausan bahkan tidak sekalipun pernah berbicara kepada umat. Bilamana memang perlu menyampaikan sesuatu atau memberi petunjuk kepada umat, Komentator lah yang melakukan, bukan MC.

Bagaimana posisi seorang MC dalam suatu Keuskupan? Bagaimana relasinya dengan Komisi Liturgi Keuskupan? Seorang MC Keuskupan menjalankan fungsi eksekutif dalam koridor norma-norma yang di antaranya ditetapkan oleh Komisi Liturgi Keuskupan, yang dalam hal ini menjalankan fungsi yudikatif terbatas, sesuai dengan hak-hak yang diperolehnya untuk mengatur beberapa hal mengenai liturgi gereja partikular. Ini adalah analogi yang kurang lebih sama dengan posisi MC Kepausan dalam relasinya dengan Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen, yang memiliki kewenangan mengatur liturgi gereja universal. MC dapat dipilih dari kalangan imam, diakon atau awam yang dipercaya karena memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai liturgi.

Paus Benediktus XVI sewaktu masih menjadi kardinal pernah menulis, �How we attend to liturgy determines the fate of the faith and the church (A New Song for the Lord, 1996).� Peran MC yang mumpuni sebagai pemandu perayaan liturgi, khususnya yang dipimpin oleh uskup, dapat membantu meningkatkan mutu perayaan liturgi, dan secara khusus ketaatan dengan aturan-aturan liturgi yang sangat detil dan penuh dengan simbol-simbol yang bermakna, serta kesesuaiannya dengan kepentingan pastoral. Di tingkat Keuskupan, dengan bantuan MC yang baik, perayaan liturgi uskup diharapkan akan benar-benar dapat menjadi model bagi seluruh keuskupan, seperti diamanatkan oleh CE 12 dan PUMR 22.
Sumber : http://archdioceseofmedan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=305%3Amengenal-ma&catid=70%3Akomisi&Itemid=1

Thursday, July 13, 2017

Mengenal Sejarah Doa Rosario

Sejak Doa Rosario ditata, secara prinsip dan substansial, sebagai doa kepada Kristus dan Penghormatan Surgawi, yaitu, Bapa kita dan Bunda Maria, doa rosario adalah doa pertama dan menjadi devosi prinsip dari orang-orang yang percaya dan telah dilakukan selama berabad-abad, dari jaman para rasul dan para murid sampai sekarang.

Namun baru pada tahun 1214-lah, Gereja menerima Doa Rosario dalam bentuknya yang seperti sekarang dan menggunakan metode seperti yang kita pakai sekarang. Doa ini diberikan kepaa Gereja oleh St. Dominic, yang telah menerimanya dari Perawan yang Terberkati sebagai hadiah pertobatan orang Albigensian dan para pendosa lainnya.

Saya akan menceritakan pada anda cerita tentang bagaimana kita menerima Doa Rosario, yang ada di dalam buku yang sangat terkenal: De Dignitate Psalterii, yang ditulis oleh Alan de la Roche yang diberkati. St. Dominic, melihat bahwa dosa orang-orang Albigensian sudah sangat berat, pergi menyepi ke hutan di dekat Toulouse, dimana ia berdoa tanpa henti selama tiga hari tiga malam. Selama berdoa ia tidak melakukan apapun kecuali meratap dan melakukan pertobatan yang keras untuk meredakan amarah Tuhan. Ia memohon dengan sangat disiplin dan bersungguh-sungguh, dan akhirnya ia jatuh kedalam kondisi koma.

Pada saat inilah Bunda kita menampakkan diri padanya, ditemani oleh tiga malaikat, ia berkata, "Wahai Dominic, apakah engkau tahu senjata apakah yang diinginkan oleh Trinitas yang Kudus untuk dipakai untuk memperbaharui dunia?" "Oh, Ratuku," jawab St. Dominic, "Engkau mengetahui jauh lebih banyak daripada aku, karena engkau selalu berada di dekat Putramu Yesus Kristus untuk menjadi kepala keselamatan bagi kami."

Kemudian Bunda kita menjawab, "Aku ingin kamu tahu bahwa, dalam situasi perang seperti sekarang ini, senjata yang paling utama selalu adalah Doa Surgawi, yang adalah batu fondasi dari Perjanjian Baru. Karenanya, jika engkau ingin menyentuh jiwa-jiwa yang telah mengeras ini dan menyerahkannya kepada Tuhan, ajarkanlah Doa ku."

Kemudian St. Dominic bangun, merasa sangat terhibur, dan terbakar oleh semangatnya untuk mentobatkan orang-orang di wilayah tersebut, ia langsung pergi ke katedral. Ketika itu malaikat-malaikat yang tidak kelihatan membunyikan lonceng untuk mengumpulkan orang-orang, dan kemudian St. Dominic mulai mengajar.

Pada awal khotbahnya, datang badai yang hebat, bumi serasa bergetar, matahari meredup, dan terjadi begitu banyak kilat dan cahaya sehingga semua orang merasa begitu tercekam dan takut. Perasaan takut mereka semakin menjadi-jadi ketika mereka melihat pada gambar Bunda kita yang dipasang di suatu tempat yang tinggi, mereka melihat ia menaikkan tangannya ke surga tiga kali untuk memanggil penghakiman Tuhan ke atas mereka kalau mereka tidak mau bertobat, mengubah cara hidup mereka dan mencari perlindungan pada Bunda Suci Tuhan.

Melalui fenomena supernatural ini, Tuhan ingin menyampaikan devosi baru kepada Rosario Kudus dan memperkenalkannya kepada semua orang. Paling tidak, ketika St. Dominic berdoa, badai mulai mereda, dan kemudian ia mulai berkhotbah. Begitu gamblang dan kuatnya ia menjelaskan doa Rosario sehingga hampir semua orang Toulouse mempercayainya dan meninggalkan kepercayaan lama mereka yang salah. Dalam waktu yang singkat terlihat kemajuan yang besar di kota tersebut; orang-orang mulai hidup secara Kristen dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama mereka yang buruk.

Terinspirasi oleh Roh Kudus, dan diperintahkan oleh Perawan yang Diberkati dan juga karena pengalaman pribadinya, St. Dominic mengajarkan doa Rosario seumur hidupnya. Ia mengajarkannya dengan memberikan contoh dan juga melalui khotbah-khotbahnya, di kota-kota dan di desa-desa, kepada orang-orang kelas atas maupun kelas bawah, kepada pelajar dan orang-orang yang tidak bersekolah, kepada orang-orang Katholik dan Protestant. Doa Rosario, yang ia doakan setiap hari, adalah doa persiapannya untuk setiap khotbah dan merupakan caranya berjumpa dengan Bunda kita setiap selesai khotbah.

Satu hari ia harus berkhotbah di Notre Dame di Paris, dan ketika itu adalah pesta St. Yohanes Pembaptis. Ketika ia seperti biasa sedang berdoa rosario di kapel kecil di belakang altar untuk mempersiapkan khotbahnya, Bunda kita muncul di hadapannya dan berkata: "Dominic, meskipun apa yang akan engkau khotbahkan sangat baik, tapi aku membawa kepadamu khotbah yang lebih baik."

St. Dominic mengambil buku yang diulurkan oleh Bunda kita, membacanya dengan cermat dan, setelah ia mengerti dan bermeditasi, ia mengucapkan terima kasih kepada Bunda. Ketika saatnya khotbah tiba, ia naik ke atas mimbar dan, meskipun hari itu adalah pesta St. Yohanes, ia malah berkata bahwa ia telah ditunjuk menjadi pengawal Ratu Surga. Jemaat pada saat itu adalah para theolog dan orang-orang terpandang dan terpelajar, yang sudah biasa mendengar ceramah-ceramah yang manis atau yang tidak lazim; tapi St. Dominic berkata bahwa ia tidak ingin berceramah, sehingga terlihat bijak di mata dunia, tapi ia akan berbicara dalam kesederhanaan Roh Kudus dan keteladanannya yang kuat. Dan setelah itu ia mulai berbicara tentang doa Rosario dan menjelaskan tentang Bunda Suci kata demi kata seperti menjelaskan pada sekelompok anak-anak, dan ia menggunakan ilustrasi sederhana yang ada di dalam buku yang diberikan kepadanya oleh Bunda kita.

Alan yang diberkati, menurut Kartagena, menyebutkan beberapa peristiwa lainnya dimana Tuhan kita dan Bunda kita menampakkan diri kepada St. Dominik untuk meyakinkan dan memberikan semangat kepadanya untuk terus mengajarkan doa Rosario untuk menghapuskan dosa dan mentobatkan pendosa dan orang-orang yang menyeleweng.

Dalam pasal yang lain Kartagena mengatakan, "Alan yang diberkati berkata bahwa Bunda kita menampakkan diri kepadanya, setelah ia menampakkan diri kepada St. Dominic, Putranya yang Kudus menampakkan diri kepadanya dan berkata, "Dominik, Saya senang melihat kamu tidak hanya bergantung pada kebijaksanaanmu sendiri yaitu, daripada mencari doa manusia yang kosong, kamu bekerja dengan sangat rendah hati bagi keselamatan jiwa-jiwa. Banyak imam mencoba untuk mengajar dengan keras melawan dosa yang terburuk, namun mereka tidak sadar bahwa mula-mula, sebelum seseorang yang sakit diberi obat yang pahit, ia perlu dipersiapkan dengan menempatkan pikirannya pada bingkai yang benar supaya ia bisa benar-benar memperoleh manfaat dari obat tersebut. Maka dari itu, sebelum melakukan apapun, seorang imam harus membangkitkan semangat berdoa dalam hati manusia dan terutama cinta kepada doa Surgawi. Hanya jika mereka sudah mulai mengucapkan itu dan bertekun didalamnya, Tuhan yang maha pengampun akan sulit untuk menolak memberikan rahmatnya. Maka dari itu aku ingin kamu mengajarkan doa Rosario-ku."

Semua hal, bahkan yang paling suci sekalipun, bisa berubah, terutama jika mereka tergantung pada kehendak bebas manusia. Sehingga tidak heran bahwa, pada saat itu, semangat doa Rosario Suci hanya bertahan 1 abad setelah pertama kali diajarkan oleh St. Dominic. Setelah itu, Rosario seolah-olah terkubur dan terlupakan. Tidak diragukan juga, rencana kotor dan kebencian setan, juga membuat orang-orang mengabaikan doa Rosario, sehingga menghalangi penyaluran rahmat Tuhan yang telah dibawa oleh Rosario ke atas bumi. Sehingga, pada tahun 1349 Tuhan menghukum seluruh Eropa dengan wabah yang terparah yang pernah diketahui. Mulai dari timur, menyebar ke seluruh Italia, Jerman, Perancis, Polandia dan Hungaria, membawa kehancuran dimanapun wabah itu lewat, sehingga dari seratus orang jarang ada yang selamat untuk bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Kota-kota besar, desa-desa dan biara-biara hampir benar-benar kosong selama masa tiga tahun penyebaran epidemic wabah tersebut.

Penghukuman dari Tuhan ini langsung diikuti oleh dua hukuman lainnya, penyelewengan (heresy) oleh Flagellant dan perpecahan (skisma) tragis di tahun 1376. Setelah itu, setelah pencobaan-pencobaan ini selesai, syukur kepada Allah yang maha pengampun, Bunda kita berbicara kepada Alan yang diberkati untuk menghidupkan kembali Rosario Suci. Alan yang diberkati adalah satu dari Bapa-bapa Dominican yang tinggal di biara Dinan di Inggris. Ia adalah seorang theolog yang hebat dan pengkhotbah yang terkenal. Bunda kita memilih dia karena, selain doa Rosario dimulai di daerah tersebut, ia juga adalah seorang Dominican yang berasal dari daerah yang sama, sehingga ia memiliki kharisma untuk membangun kembali kebiasaan ini.

Alan yang diberkati memulai pekerjaan besarnya di tahun 1460, setelah menerima peringatan khusus dari Tuhan kita. Beginilah caranya ia menerima pesan penting tersebut, sebagaimana diceritakannya sendiri: Satu hari ketika ia sedang mengadakan Misa, Tuhan kita, yang ingin menggerakkannya untuk mengajarkan Rosario Suci, berbicara padanya dalam Roti Kudus. "Mengapa engkau menyalibkan Aku lagi secepat ini?" kata Yesus kepadanya. "Apa maksudmu, Tuhan?" tanya Alan, ketakutan. "Engkau telah menyalibkan aku sekali dengan dosa-dosamu," jawab Yesus, "dan aku lebih suka disalibkan lagi daripada melihat BapaKu dilukai oleh dosa-dosa yang biasanya engkau lakukan. Engkau menyalibkan aku lagi sekarang karena kamu sebenarnya telah diajarkan dan telah mengerti bahwa kamu harus mengajarkan doa Rosario IbuKu, dan kamu tidak melakukannya. Jika saja engkau melakukannya, engkau bisa menuntun banyak jiwa ke jalan yang benar dan memimpin mereka menjauhi dosa. Tapi kamu tidak melakukannya, sehingga kamu sendiri juga bersalah terhadap dosa-dosa yang mereka perbuat."

Teguran keras ini membuat Alan yang diberkati sungguh-sungguh bertekad untuk mengajarkan doa Rosario dengan tanpa henti. Bunda kita juga berbicara padanya pada suatu ketika untuk memberikan semangat padanya untuk mengajarkan doa Rosario terus dan terus, "Engkau dulu adalah pendosa yang parah di masa mudamu, tapi aku memperoleh buah pertobatanmu dari Anakku. Jika mungkin, aku rela menjalani semua sengsara untuk menyelamatkanmu, karena para pendosa yang bertobat adalah kemenangan bagiku. Dan aku juga akan melakukannya supaya kamu bisa menyebarkan doa Rosarioku kemana-mana."

St. Dominic juga menampakkan diri kepada Alan yang diberkati dan bercerita padanya tentang hasil dari pengajarannya: ia telah mengajarkan doa Rosario tanpa henti, khotbah-khotbahnya telah mendatangkan banyak buah yang baik dan banyak orang telah bertobat selama ia mengajar. Ia berkata kepada Alan, "Lihatlah buah yang demikian indah yang telah aku dapatkan melalui pengajaran doa Rosario. Kamu dan yang lainnya yang mencintai Bunda kita harus melakukan yang sama sehingga, dengan melakukan doa Rosario yang kudus, engkau bisa menarik semua orang kepada ilmu pengetahuan tentang kebajikan yang sejati." Secara garis besar, inilah cerita tentang bagaimana St. Dominic memulai doa Rosario kudus dan bagaimana Alan de la Roche yang diberkati mengembalikan ajaran ini.

Dari sejak jaman St. Dominic memulai devosi kepada Rosario kudus, sampai kepada waktu ketika Alan de la Roche yang diberkati memulainya lagi di tahun 1460, doa Rosario disebut dengan Doa kepada Yesus dan Maria. Ini karena doa ini mendoakan Salam Maria dengan jumlah yang sama seperti mazmur-mazmur dalam Kitab Mazmur Raja Daud. Dan karena orang-orang sederhana yang kurang berpendidikan tidak bisa mengucapkan Mazmur Raja Daud, doa Rosario dianggap memiliki manfaat yang sama bagi mereka sama seperti Mazmur Raja Daud bagi orang-orang yang lain.

Sejak Alan de la Roche memulai kembali devosi ini, suara dari orang-orang, yaitu suara dari Tuhan sendiri, memberinya nama doa Rosario, yang berarti "mahkota mawar." Yang bermakna bahwa setiap kali orang mengucapkan doa Rosario dengan bersungguh-sungguh, mereka mengenakan ke kepala Yesus dan Maria 153 mawar putih dan 16 mawar merah. Sebagai bunga surgawi, bunga-bunga ini tidak akan pernah kehilangan atau berkurang keindahannya. Bunda kita telah menyetujui dan mengakui nama Rosary ini; ia telah menampakkan diri kepada beberapa orang bahwa setiap kali mereka mengucapkan doa Salam Maria mereka memberikan pada Bunda Maria sebuah mawar yang indah, dan setiap doa Rosario yang dilakukan dengan penuh memberikan kepadanya sebuah mahkota mawar.

Jadi sebuah Rosario yang komplet adalah sebuah mahkota mawar yang besar dan setiap chaplet yang terdiri dari sepuluh doa adalah seperti sebuah booklet bunga mawar atau sebuah mahkota kecil mawar surgawi yang kita letakkan di kepala Yesus dan Maria. Bunga Mawar sendiri adalah ratu dari bunga, dan juga Rosario adalah mawar persembahan kita yang paling berarti dan bermakna.

oleh : Saint Louis Marie Grignion De Montfort

Source : Forum Ekaristi.org
Sumber: http://bundamaria.blogspot.com/2009/05/sejarah-doa-rosario.html

Mengenal Seremonarius: Pemandu Pelayan Liturgi

oleh: Gabriel Randall

Mgr. Guido Marini, seremonarius untuk Paus sejak  2007

Sebuah perayaan liturgi besar sudah sepantasnya memiliki seorang atau lebih Seremonarius. Siapakah mereka itu sebenarnya?

Seremonarius (bhs Latin: Magister Caeremoniarium) adalah pelayan liturgi yang memandu seluruh pelayan liturgy, baik itu Imam, Putera-Putri Altar, Lektor, dan Prodiakon dalam Perayaan Ekaristi. �Dalam suatu perayaan liturgi, seremonarius mengatur kapan saatnya para pelayan dan para selebran melaksanakan suatu tindakan dan juga teks-teks apa yang digunakan.

Sungguhpun begitu, ia hendaknya melaksanakan tugasnya dengan bijaksana dan tanpa menonjolkan diri. Ia mengatur, bergerak dan berbicara secukupnya dan sama sekali tidak boleh menggantikan fungsi diakon di sisi selebran. Ia harus menjalankan tugasnya dengan takzim, sabar, teliti dan perhatian� (Caeremoniale Episcoporum art 35).


Seorang Seremonarius perlu memiliki pengetahuan tentang sejarah dan karakter dari liturgi serta semua hukum dan peraturannya. Tidak kalah pentingnya, ia pun hendaknya memiliki pengetahuan pastoral yang memadai, agar dapat merencanakan perayaan liturgi dengan partisipasi umat yang membuahkan hasil, yang pada akhirnya akan menambah keindahan ritus itu.

Gabriel Randall, seremonarius di gereja Santa Maria Bintaro
Paus Emeritus Benediktus XVI sewaktu masih menjadi kardinal pernah menulis, �How we attend to liturgy determines the fate of the faith and the church (A New Song for the Lord, 1996).� Peran MC (Seremonarius) yang mumpuni sebagai pemandu perayaan liturgi, khususnya yang dipimpin oleh uskup, dapat membantu meningkatkan mutu perayaan liturgi, dan secara khusus ketaatan dengan aturan-aturan liturgi yang sangat detil dan penuh dengan simbol-simbol yang bermakna, serta kesesuaiannya dengan kepentingan pastoral. Di tingkat Keuskupan, dengan bantuan seremonarius yang baik, perayaan liturgi uskup diharapkan akan benar-benar dapat menjadi model bagi seluruh keuskupan.

Untuk pakaian liturgi tidak ada aturan khusus mengenai pakaian liturgi untuk seremonarius. Biasanya seremonarius memakai pakaian liturgi sama seperti Putra Altar di Vatikan yaitu jubah hitam dan superpli, bila di paroki tertentu tidak memiliki jubah hitam bisa digantikan dengan jubah putih. Setiap paroki memiliki seremonarius yang bertugas hanya pada Perayaan Liturgi besar saja seperti: Natal, Pekan Suci, Misa Pontifikal, dll.

Sumber: tradisikatolik

Tags

Renungan (53) Sejarah Gereja (45) Kepausan (42) Katekese (40) Para Kudus (39) Berita Katolik (37) Ekaristi (36) Kitab Suci (33) Yesus Kristus (33) Doa dan Hymne (30) Liturgi (29) Apologetik (26) Renungan Cerdas (25) Fransiskus (22) Santa Maria (22) Artikel Lain (19) Dokumen Gereja (19) Gereja Katolik (19) Katekese Liturgi (17) Ajaran Gereja Katolik (16) Komuni Kudus (16) Paskah (16) Benediktus XVI (13) Dasar Iman Katolik (13) Kisah Nyata (13) Renungan Poltik (13) Natal (11) Kompendium Katolik (10) Bapa Gereja (9) Katolik Indonesia (9) Katolik Timur (9) Petrus (9) Roh Kudus (9) Sakramen Gereja Katolik (9) Allah Tritunggal (8) Perayaan Ekaristi (8) Prapaskah (8) Prodiakon (8) Tradisi (8) Kesaksian (7) Pemazmur (7) Sakramen Ekaristi (7) Tuhan Allah (7) Adven (6) Kematian (6) Liturgi dan Kaum Muda (6) Misdinar (6) Paduan Suara Gereja (6) Pekan Suci (6) Rabu Abu (6) Ajaran Gereja (5) Hari Peringatan (5) Hari Pesta / Feastum (5) Kamis Putih (5) Maria Bunda Allah (5) Perayaan Natal (5) Piranti Liturgi (5) Seputar Liturgi (5) Tritunggal (5) EENS (4) Ibadat Kematian (4) Ibadat Peringatan Arwah (4) Katekismus Gereja (4) Maria Diangkat Ke Surga (4) Minggu Palma (4) Misa Jumat Pertama (4) Misa Latin (4) Nasihat Bijak (4) Nyanyian Liturgi (4) Pentakosta (4) Sakramen Perkawinan (4) Seremonarius (4) Surat Gembala Paus (4) Surat Gembala Uskup (4) Tahun Iman (4) Tokoh Nasional (4) Tuhan Yesus (4) Beato dan Santo (3) Berita Nasional (3) Doa Litani (3) Doa Rosario (3) Dupa dalam Liturgi (3) Eksorsisme (3) Jalan Salib (3) Jumat Agung (3) Lektor (3) Liturgi dan Anak (3) Makna Homili (3) Malam Paskah (3) Masa Prapaskah (3) Misa Krisma (3) Misa Tridentina (3) Musik liturgi (3) Novena Natal (3) Pantang dan Puasa (3) Sakramen Tobat (3) Spiritualitas (3) Surat Gembala KWI (3) Tata Gerak dalam Liturgi (3) Tokoh Internasional (3) Toleransi Agama (3) Yohanes Paulus II (3) Cinta Sejati (2) Dasar Iman (2) Denominasi (2) Devosi Hati Kudus Yesus (2) Devosi Kerahiman Ilahi (2) Doa (2) Doa Angelus (2) Doa Novena (2) Doa dan Ibadat (2) Ekumenisme (2) Gua Natal (2) Hari Sabat (2) Homili Ibadat Arwah (2) How To Understand (2) Ibadat Syukur Midodareni (2) Inkulturasi Liturgi (2) Inspirasi Bisnis (2) Kanonisasi (2) Kasih Radikal (2) Keajaiban Alkitab (2) Keselamatan Gereja (2) Kisah Cinta (2) Korona Adven (2) Lagu Malam Kudus (2) Lagu Rohani (2) Lawan Covid19 (2) Lintas Agama (2) Madah dan Lagu Liturgi (2) Makna Natal (2) Maria Berdukacita (2) Maria Dikandung Tanpa Noda (2) Maria Ratu Rosario Suci (2) Motivator (2) Mujizat Kayu Salib (2) Mutiara Kata (2) New Normal (2) Nita Setiawan (2) Organis Gereja (2) Penyaliban Yesus (2) Perarakan dalam Liturgi (2) Peristiwa Natal (2) Perubahan (2) Pohon Natal (2) Renungan Paskah (2) Sakramen Gereja (2) Sakramen Imamat (2) Sakramen Minyak Suci (2) Sakramen Penguatan (2) Sekuensia (2) Sharing Kitab Suci (2) Tahun Liturgi (2) Tujuan dan Makna Devosi (2) Ucapan Selamat (2) Virus Corona (2) WYD 2013 (2) Youtuber Top (2) 2 Korintus (1) Aborsi dan Kontrasepsi (1) Abraham Linkoln (1) Adorasi Sakramen Mahakudus (1) Agama Kristiani (1) Ajaran Gereja RK (1) Alam Gaib (1) Alam Semesta (1) Alkitab (1) Allah Inkarnasi (1) Allah atau Mamon (1) Arianisme (1) Ayat Alquran-Hadist (1) Bapa Kami (1) Berdamai (1) Berhati Nurani (1) Berita (1) Berita Duka (1) Berita International (1) Bible Emergency (1) Bukan Take n Give (1) Busana Liturgi (1) Cara Mengatasi (1) Cinta Sesama (1) Cintai Musuhmu (1) D Destruktif (1) D Merusak (1) Dialog (1) Doa Bapa Kami (1) Doa Permohonan (1) Doa Untuk Negara (1) Documentasi (1) Dogma EENS (1) Doktrin (1) Dosa Ketidakmurnian (1) Dunia Berubah (1) Egois dan Rakus (1) Era Google (1) Evangeliarium (1) Filioque (1) Garputala (1) Gereja Orthodox (1) Gereja Samarinda (1) Godaan Iblis (1) Golput No (1) Hal Pengampunan (1) Hamba Dosa (1) Hari Bumi (1) Hari Raya / Solemnity (1) Haus Darah (1) Hidup Kekal (1) Hierarki Gereja (1) Homili Ibadat Syukur (1) Ibadat Kremasi (1) Ibadat Pelepasan Jenazah (1) Ibadat Pemakaman (1) Ibadat Rosario (1) Ibadat Tobat (1) Imam Kristiani (1) Imperialisme (1) Influencer Tuhan (1) Inisiator Keselamatan (1) Injil Mini (1) Inspirasi Hidup (1) Irak (1) Israel (1) Jangan Mengumpat (1) Kandang Natal (1) Karismatik (1) Kasih (1) Kasih Ibu (1) Kata Allah (1) Kata Mutiara (1) Katekismus (1) Keadilan Sosial (1) Kebaikan Allah (1) Kebiasaan Buruk Kristiani (1) Kedewasaan Kristen (1) Kehadiran Allah (1) Kejujuran dan Kebohongan (1) Kelahiran (1) Keluarkan Kata Positif (1) Kemiskinan (1) Kesehatan (1) Kesetiaan (1) Kesombongan (1) Kiss Of Life (1) Kompendium Katekismus (1) Kompendium Sejarah (1) Konsili Nicea (1) Konsili Vatikan II (1) Kremasi Jenazah (1) Kumpulan cerita (1) Lamentasi (1) Lectionarium (1) Mantilla (1) Maria Minggu Ini (1) Martir Modern (1) Masa Puasa (1) Masalah Hidup (1) Melawan Setan (1) Mengatasi Kesepian (1) Menghadapi Ketidakpastian (1) Menjadi Bijaksana (1) Menuju Sukses (1) Mgr A Subianto B (1) Misteri Kerajaan Allah (1) Misterius (1) Moral Katolik (1) Mosaik Basilika (1) Mukjizat Cinta (1) Mukzijat (1) Nasib Manusia (1) Opini (1) Orang Berdosa (1) Orang Jahudi (1) Orang Kudus (1) Orang Lewi (1) Orang Munafik (1) Orang Pilihan (1) Orang Sempurna (1) Ordo dan Kongregasi (1) Owner Facebooks (1) Pandangan Medis (1) Para Rasul (1) Pelayanan Gereja (1) Pembual (1) Pencegahan Kanker (1) Penderitaan Sesama (1) Pendiri Facebooks (1) Penerus Gereja (1) Penjelasan Arti Salam (1) Penyelamatan Manusia (1) Penyelenggara Ilahi (1) Perasaan Iba (1) Perdamaian Dunia (1) Perjamuan Paskah (1) Perjamuan Terakhir (1) Perkataan Manusia (1) Perselingkuhan (1) Pertobatan (1) Pesta Natal (1) Pikiran (1) Positik kpd Anak (1) Presiden Soekarno (1) Pusing 7 Keliling (1) Putra Tunggal (1) Rasio dan Emosi (1) Roh Jiwa Tubuh (1) Roti Perjamuan Kudus (1) Saat Pembatisan (1) Saat Teduh (1) Sabat (1) Sahabat lama (1) Sakit Jantung (1) Sakramen Baptis (1) Saksi Yehuwa (1) Salib Yesus (1) Sambutan Sri Paus (1) Sejarah Irak (1) Selamat Natal (1) Selamat Tahun Baru (1) Selingan (1) Siapa Yesus (1) Soal Surga (1) Surat Kecil (1) Surat bersama KWI-PGI (1) Surga Dan Akherat (1) Tafsiran Alkitab (1) Tamak atau Rakus (1) Tanda Beriman (1) Tanda Percaya (1) Tanpa Korupsi (1) Tanya Jawab (1) Teladan Manusia (1) Tembok Yeriko (1) Tentang Rakus (1) Teologi Di Metropolitan (1) Thomas Aquinas (1) Tim Liturgi (1) Tokoh Alkitab (1) Tokoh Gereja (1) Tolong Menolong (1) Tradisi Katolik (1) Tri Hari Suci (1) Triniter (1) True Story (1) Tugas Suku Lewi (1) Tugu Perdamaian (1) Tuguran Kamis Putih (1) Tuhan Perlindungan (1) Tulisan WAG (1) YHWH (1) Yesus Manusia (1) Yesus Manusia Allah (1) Yesus Nubuat Nabi (1) Yesus Tetap Sama (1)