Latest News

Saturday, August 31, 2013

Katekese Singkat "Bulan Kitab Suci Nasional 2013"

Logo BKSN 2013
Paus Emeritus Benediktus XVI melalui Surat Apostolik Porta Fidei (Pintu Iman) telah menetapkan Tahun Iman mulai tanggal 13 Oktober 2012 sampai tanggal 24 November 2013. Dalam Surat Apostoliknya itu, Paus Emeritus Benediktus XVI mengutarakan keprihatinannya akan mulai merosotnya penerusan iman yang sedang melanda Gereja. Oleh sebab itu, Paus mengajak segenap warga Gereja untuk merefleksikan imannya sekaligus mengambil langkah kreatif guna membangun kembali iman dalam ziarah sepanjang tahun Iman ini.


Dalam menanggapi ajakan Sri Paus ini, Konferensi Waligereja Indonesia juga mengajak umat Katolik Indonesia mendalami Kitab Suci dan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II sebagai dasar pijakan yang kokh dalam merefleksikan imannya untuk terus bertumbuh di dalam Kristus Yesus, Sang Penyelamat.

Lembaga Biblika Indonesia (LBI) yang kiprahnya di bidang Kerasulan Kitab Suci juga memandang pentingnya keluargsa dalam upaya penerusan iman. Keluarga-keluarga Kristiani diajak untuk mendalami imannya melalui pergulatan dalam Sabda Allah. Oleh sebab itu, LBI bersama para delegatus Kerasulan Kitab Suci seindonesia menetapkan tema, �Kitab Suci Dalam Keluarga�sebagai focus kerasulan Kitab Suci dalam kurun waktu  2013-2016. Melalui tema ini diharapkan keluarga-keluarga Kristiani dapat bertumbuh dalam imannya berkat permenungan dan pergulatan mereka dengan Kitab Suci yang dibaca, direnungkan dan dihayati dalam keluarga.

Pada Bulan Kitab Suci Nasional Tahun 2013 ini, tema yang diangkat oleh LBI adalah �Keluarga Bersekutu Dalam Sabda Allah�. Tema ini mau mengingatkan kepada keluarga-keluarga Kristiani agar memulai hal yang mendasar dalam membangung Gereja Rumah Tangga (Ecclesia Domestica) yaitu membangun persekutuan diantara anggota keluarga atas dasar Sabda Allah.

Bahan BKSN 2013 dibuat dalam 4 kali pertemuan dengan sub temanya masing-masing. Pertemuan I : �Keluarga Abraham Dan Sara� (Kej 12:1-16). Dalam pertemuan I ini umat diajak untuk mengambil inspirasi dari Abraham dan keluarganya sehingga dia disebut bapa kaum beriman. Pertemuan II: �Keluarga Zakharia Dan Elisabet� (Luk 1:57-66). Melalui pertemuan II ini, umat diajak untuk menimba pengalaman dari Keluarga Zakharia dan Elisabet yang bergumul untuk mempercayai Firman Tuhan dalam hidup sehari-hari.

Pertemuan III : �Keluarga Kudus Nazaret� (Luk 2:41-52). Dari pertemuan II ini, umat diajak untuk merefleksikan hidup berkeluarganya, apakah sungguh telah mengusahkan nilai-nilai Injil yakni kasih, ketaatan kepada Allah dan sesame, serta kerendahan hati yang merupakan tiang utama penyangga persatuan hidup berkeluarga. Pertemuan IV : �Keluarga Sebagai Sarana Menuju Kesucian� (Ef 5:21-6:4). Dalam pertemuan IV ini umat diajak untuk merenungkan ajaran Rasul Paulus tentang hidup perkawinan sebagai Sakramen dan hubungan cinta suami-istri yang menyerupai hubungan kasih antara Kristus dengan GerejaNya.

Dari empat kali pertemuan ini, sangat diharapkan umat Allah semakin menyadari akan pentingnya keluarga sebagai sarana pertumbuhan iman bagi semua anggotanya dan memiliki semangat untuk membangun keluarga Kristiani sejati sebagaimana diharapkan oleh Allah sendiri.

Katolisitas Indonesia mengucapkan selamat memasuki Bulan Kitab Suci Nasional Tahun 2013, semoga rahmat Allah menyertai kita pada bulan ini sehingga kita mampu mendengarkan SabdaNya, mendalami SabdaNya, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dan mewartakan Sabda Allah kepada setiap orang. Tuhan memberkati saudara. Dominus illuminatio mea!

Berbagai artikel bertema Kitab Suci bisa ditemukan disini (silahkan klik) 
Diadaptasi dari artikel di Buletin Berkat milik Keuskupan Malang No. 34 thn XV edisi 693.

Thursday, August 29, 2013

Dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus Dan Konsili Vatikan II

Keselamatan, satu kata yang amat familiar dibicarakan oleh setiap orang, terkhususnya bagi umat Katolik. Begitu mendengar kata �keselamatan�, hati dan pikiran kita langsung tertuju pada Sabda Yesus �Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, tiada seorangpun dapat datang kepada Bapa kecuali melalui Aku (Yoh 14:6)�, ini sungguh tepat dan benar. Keselamatan hanya datang melalui Yesus Kristus, sang penyelamat dunia (Kis 14:2). Roh Kudus menyalurkan rahmat keselamatan tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium no.14, �Berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi, bahwa Gereja yang sedang mengembara ini, perlu untuk keselamatan�. Dan karena hal tersebut, Gereja percaya bahwa Gereja adalah penyalur rahmat keselamatan satu-satunya yang berasal dari Allah.


Didalam Gereja Katolik terdapat sebuah Dogma yang amat kontroversial namun dogma ini adalah dogma kebenaran, dogma yang berasal dari Allah sendiri. Dan dari dogma ini tergambarlah wujud dan realita Gereja sebagai Tubuh Kristus di dunia. Dogma itu ialah �Extra Ecclesiam Nulla Salus�. Begitu banyak orang yang menyalahgunakan bahkan salah tafsir mengenai dogma ini. Sementara pada zaman ini, orang-orang menganggap bahwa keselamatan bisa datang dari mana saja (pluralisme) dan memandang bahwa Dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus/EENS adalah dogma yang ketinggalan zaman dan sudah lenyap setelah Konsili Vatikan II.

Perlu digaris bawahi kata �setelah Konsili Vatikan II�, ada kecenderungan dimana banyak Uskup, Imam dan kaum klerus dan awam menyatakan bahwa dogma EENS telah dihapus oleh Konsili Vatikan II. Mereka menganggap bahwa dogma EENS adalah ajaran Gereja pra-Vatikan II dan paska Konsili Vatikan II dengan menenteng perkataan Paus Yohanes XXIII bahwa Gereja harus bersifat dinamis, EENS telah diubah pengertiannya menjadi �diluar gereja ada keselamatan.� Ini adalah paham yang sangat keliru, perlu diketahui bahwa Gereja pra-Vatikan II dan Gereja paska-Vatikan II adalah pembagian yang ambigu. Pola pikir semacam ini dapat memberi kesan negatif bagi Gereja, bahwa ajaran Gereja terus berubah sepanjang zaman. Ajaran Gereja bersifat tetap dan tak akan pernah berubah, Gereja tidak pernah mengkompromikan ajarannya.

Paus Emeritus Benediktus XVI sekali waktu pernah menyampaikan penolakannya yang tegas akan pemikiran seperti ini kepada para Uskup Chile.
��Memang ada mentalitas pandangan sempit yang mengisolasi Vatikan II dan yang telah memprovokasi pertentangan ini. Ada banyak hal darinya yang memberikan kesan bahwa, sejak Vatikan II dan sesudahnya, semuanya telah berubah, dan apa yang mendahuluinya yaitu Vatikan II tidak mempunyai nilai atau, paling tidak, hanya mempunyai nilai dalam terang Vatikan II. +Paus Emeritus Benediktus XVI+
Sepanjang sejarah Gereja, Kuasa Magisterium telah mengakui bahwa Allah akan mengadili kita dengan melihat hati nurani setiap orang, ketidaktahuan yang tidak disengaja melunakkan keadilan ilahi. Mereka yang memiliki pengetahuan akan kebenaran dan tahu bahwa diluar Gereja Katolik tidak ada keselamatan harus mampu menerima kenyataan bahwa adalah sangat perlu bagi setiap orang untuk bersatu dengan Gereja Katolik demi memperoleh keselamatan. Dalam posisi ini patut dicatat bahwa Paus Bonifasius VIII melalui Bulla Unam Sanctam menyatakan dengan tegas bahwa:
Berdasarkan iman kami berkewajiban untuk percaya dan menegaskan bahwa Gereja adalah satu kudus, katolik, dan apostolik. Kami percaya akan Gereja dengan teguh dan kami mengakui dengan segala kesederhanaan bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan atau pengampunan dosa


��. Kami menyatakan, kami mewartakan, dan kami mendefinisikan bahwa adalah sangat perlu bagi semua orang untuk keselamatan mereka, tunduk kepada kekuasaan Paus Roma. �
Perlu diketahui bahwa ini bukanlah sebuah pernyataan yang menuntut bahwa setiap orang harus mengetahui supremasi Paus untuk dapat diselamatkan tapi disisi lain justru merupakan sebuah klaim yang benar bahwa Paus memiliki otoritas dari Allah sebagai pengganti yang sah dari Santo Petrus, yang kepadanya Allah telah memercayakan Kunci Kerajaan Surga.

Paus Pius XI melalui ensiklik Quanto Conficiamur Moerore pun mendukung dogma EENS sebagai dogma yang penting untuk diketahui dan ditaati oleh setiap umat beriman.
�Kita semua tahu bahwa mereka sama sekali tidak tahu mengenai agama suci kita, jika mereka dengan teliti menepati tata hokum kodrat yang telah ditulis oleh Allah dalam hati semua manusia, jika mereka siap untuk menaati Allah dan jika mereka menjalani sebuah hidup yang seleh dan patuh, mereka dapat, melalui kuasa cahaya dan rahmat ilahi, mencapai kehidupan kekal. Karena Allah, yang sungguh mengenai budi dan jiwa, pemikiran dan kebiasaan-kebiasaan setiap manusia, tidak akan mengizinkan, seturut kebaikan dan belaskasihNya yang tanpa batas, siapa pun yang tidak bersalah karena kesalahan yang tidak disadarinya untuk menderita penghukuman abadi�


�Walaupun demikian, juga diketahui dengan baik dalam dogma Katolik bahwa tidak seorang pun dapat diselamatkan diluar Gereja Katolik, dan bahwa mereka yang dengan tegar hati menentang otoritas dari penegasan-penegasan Gereja dan dengan keras kepala tetap terpisah dari kesatuan Gereja dan dari pengganti Petrus, Uskup Roma, yang kepadanya juru selamat telah mempercayakan penjagaan dan perawatan kebun anggurNya, tidak dapat memeroleh keselamatan.�
Dari kedua teks ini dapat disimpulkan jelas bahwa tidak pernah ada yang dapat diselamatkan diluar Gereja Katolik, namun kita harus tahu bahwa didunia terdapat terdapat dua jenis orang. Ada yang mengenal kebenaran (yang didalamnya terdapat Gereja Katolik) dan adapula orang yang tidak mengetahui kebenaran Gereja Katolik oleh karena ketidaktahuannya. Disini adalah wajib

Sekarang bagaimana peran kita sebagai umat Katolik dalam mewartakan dogma EENS?

Kita sebagai umat Katolik tentu telah ada didalam perahu keselamatan, kita adalah kawan sekerja Allah dalam karya keselamatan (1 Kor 3:9). Kristus sendiri telah memberikan mandat agung kepada kita semua �Pergilah dan jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu dan ketahuilah bahwa Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman�, ini merupakan suatu tanggung jawab besar bagi kita sebagai seorang yang telah dibaptis dan telah dicurahi oleh rahmat Roh Kudus untuk mewartakan Kristus sendiri kepada setiap orang yang kita temui. Tidak perlu kita berteriak ditengah jalan �apabila kamu bukan Katolik, kamu akan masuk neraka dan kamu tidak akan selamat�, wartakanlah Injil dan biarkanlah rahmat Allah bekerja. Kasihilah setiap orang dan doakanlah setiap orang yang belum mengenal Kristus. Itulah ciri hidup yang khas seorang Katolik sejati.

Dominus illuminatio mea!

Tuesday, August 27, 2013

Paus Sebagai Penentu Ajaran Gereja Katolik

Gereja Katolik dalam sejarah hidupnya, yang mencapai rentang waktu lebih dari 2000 tahun, memiliki begitu banyak nilai-nilai sejarah dan masalah-masalah yang dihadapi oleh Gereja. Tidak sedikit ajaran-ajaran sesat (bidaah) yang menghantam Gereja Katolik, seperti halnya bidaah Arianisme, sebuah pandangan yang dianut oleh pengikut Arius (seorang Imam eks-Katolik dari Alexandria) yang menolak keilahian Yesus Kristus dan Tritunggal Mahakudus. Bidaah ini sendiri dipandang sebagai bidaah terbesaryang pernah dihadapi oleh Gereja Katolik pada abad ke-4.

Lambang Kepausan, Paus Fransiskus
Adapula bidaah Nestorianisme (ditolak oleh Konsili Kalsedon (451) yang dipimpin oleh Paus St. Leo Agung) yang mengajarkan bahwa, Pribadi manusia Yesus dan Pribadi Allah Putera adalah dua pribadi yang berbeda yang bersatu di dalam Yesus Kristus. Dengan kata lain, bidaah ini mengajarkan bahwa Yesus memiliki dua Pribadi dengan dua kodrat. Sedangkan Gereja Katolik mengajarkan bahwa Yesus Kristus  adalah satu Pribadi dengan dua kodrat, Allah dan Manusia. Bidaah ini juga menolak gelar Bunda Allah terhadap Bunda Maria.

Dalam kasus ini, Gereja membutuhkan tolak ukur dan penentu dari setiap ajaran iman dan moral yang ada, disini dibutuhkan pula kuasa dalam hal mengajarkan suatu dokrin yang tidak dapat salah (infallible). Dan penentu dari setiap ajaran doktrin ini ialah pribadi Petrus dan para penerusnya yaitu Paus Roma. Hal ini dapat berakibat fatal apabila tidak ada penentu dari setiap ajaran iman yang ada, dengan demikian maka setiap orang akan berpegang pada opini pribadi untuk membenarkan apa yang dia yakini dan hal ini tentu tidak akan menjadi tanda kesatuan ajaran Kristen.

Sifat ajaran Gereja Katolik adalah tetap dan tak akan pernah berubah, kedua ciri khas ini menggambarkan pula pribadi Kristus sebagai Pendirinya yang konsisten. Disinilah peran penting Pribadi Paus ikut serta dalam menentukan dan menetapkan suatu ajaran. Dalam tahun-tahun permulaan berdirinya Gereja, yaitu 5 abad pertama. Para Paus dipandang sebagai seorang yang mempunyai wibawa yang memimpin dan mengajarkan iman dan moral.

Seperti halnya, St. Petrus (33-67), memimpin sinode pertama Gereja di Yerusalem. Ia menyatakan bahwa orang-orang non-Yahudi dapat diterima ke dalam Gereja tanpa perlu disunat.

Paus ke-2, St. Linus (67-76), dikenal sebagai orang yang berperan dalam pengembangan kaum klerus dan pembagian tugas dan fungsi mereka.

Paus ke-10, St. Pius I (140-155), ia menolak dengan tegas bidaah agnotisisme (yang mengingkari adanya kebenaran) dan menetapkan proses penentuan tanggal Paskah.

Paus ke-11, St. Anisetus (155-166), menekankan Perayaan Paskah sebagai perayaan yang utama dalam Kekristenan.

Paus ke 20, St. Fabianus (236-50), berperan penting dalam pembagian kota Roma, ia mengutus tujuh diakon ke berbagai tempat untuk memberitakan Injil disana, Kekristenan pun dalam masa kepemimpinannya mengalami periode yang relatif aman dari penganiayaan Kaisar Diokletianus.

Paus ke-26, St. Feliks I (269-274), menegaskan ajaran bahwa Kristus adalah sungguh Allah sungguh manusia, memiliki dua kodrat dalam satu pribadi.

Paus ke-33, St. Silvester (314-35), mengutus Uskup Hosius dari Cordoba untuk memimpin Konsili Nicea untuk menghadapi ajaran sesat yang dipimpin oleh Arius. Beserta Pater Vitus dan Pater Vinsensius yang menandatangani dekrit Konsili Nicea dalam nama �Gereja Roma dan Gereja-gereja seluruh Italia, Spanyol dan seluruh Barat�.

Paus ke-35, St. Julius I (337-352), menetapkan bahwa Natal dirayakan pada tanggal 25 Desember.

Paus ke-37, St. Damasus I (366-384), menentukan kitab-kitab yang dimasukkan ke dalam Kanon Kitab Suci dan menolak beberapa kitab untuk dimasukkan ke dalam Kanon Kitab Suci (contohnya �injil� Thomas, �injil� Maria Magdalena, �injilPetrus, Wahyu kepada Paulus, Apokrifa Yakobus, Apokrifa Yohanes, Kisah Petrus dan Kedua Belas Rasul, dll). Ia memerintahkan St. Hieronimus untuk menerjemahkan Kitab Suci berbahasa Yunani ke dalam Bahasa Latin dengan nama Vulgata. Kitab-kitab yang ditentukan oleh Paus St. Damasus ke dalam Kanon Kitab Suci adalah Kitab Suci Katolik dengan Deuterokanonika yang merupakan Kitab Suci yang rasuliah, yang berasal dari zaman para rasul.

Dari nama beberapa Paus diatas, terlihat bahwa Para Paus memiliki peran penting dalam hal menetapkan atau menolak ajaran-ajaran yang ada, dalam konteks ini Paus dapat melakukan seluruh hal tersebut karena Paus memiliki Kuasa Tidak Dapat Salahdalam hal mengajar iman dan moral. Ini sudah pernah dibahas, silahkan klik link ini.  Disini sungguh terbukti janji Kristus kepada GerejaNya, �Dan engkau Petrus diatas batu karang ini, Aku mendirikan GerejaKu dan alam maut tak akan menguasainya (Mat 16:18)�. 

Daftar Paus Gereja Katolik dapat dilihat disini.
Dominus illuminatio mea!

Wednesday, August 21, 2013

Memahami Sakramen Perkawinan secara -baru-

Saudara-Saudari terkasih,

Usaha memahami Sakramen Perkawinan secara "baru" ini saya gulirkan dalam beberapa tulisan. Mengapa "secara baru", karena gagasan ini saya tuangkan dalam rangka memperdalam gagasan retret para imam Keuskupan Purwokerto (10-14 Nov 2008) di Purwokerto bersama Fr Fio Mascarenhas dari India, yang menekan pentingnya relasi umat beriman dengan Tritunggal Mahakudus. Saya menempatkan status diri dalam tulisan ini sebagai seorang imam dan sebagai seorang anak dalam keluargaku. Karena itu tulisan saya ini barangkali banyak bernuansa teologis daripada praksis. Justru karena kurang praksis, terbukalah kesempatan untuk Anda semua, untuk mengkritik tulisan ini atau memberi komentar apapun, juga yang "nakal" sekalipun dipersilakan.

Tulisan ini dibagi menjadi 2 bagian: (A) Suami isteri sebagai mitra kerja Allah dan (B) Peran suami isteri sebagai imam, nabi dan raja.

A. Suami isteri sebagai "mitra rekan kerja Allah"

Dalam Perayaan Sakramen Pernikahan, kita sering mendengarkan Sabda Tuhan yang diwartakan seperti ini, Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mrk 10:6-9)

Sabda Tuhan yang menegaskan kebersatuan suami isteri itu dan sifat monogaminya, juga ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kan. 1056:

"Ciri-ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan=monogami) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen."

Sifat monogami dan sifat tak dapat diputuskan itu tentulah dimengerti oleh para calon suami isteri sebelum mereka mengucapkan kesepakatan janji nikah. Janji nikah yang diucapkan pria dan wanita yanga dibaptis, dan diucapkan di hadapan Allah dan Gereja, mereka berdua telah �saling menerimakan sakramen perkawinan�. Kesepakatan nikah pria dan wanita yang dibuat dengan tahu, sadar dan bebas dari segala paksaan apapun, adalah keputusan untuk �menjadi mitra Allah� dalam karya keselamatan-Nya.

Suami isteri menjadi �mitra Allah� dengan �hidup dalam persekutuan sebagai �Gereja keluarga�. �Apakah artinya �persekutuan� bagi suami isteri? Artinya, saat mengucapkan janji nikah di hadapan Allah dan Gereja, suami isteri saling �menukar� hidup dan pribadinya. Suami menyatakan �engkau isteriku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku. Demikian juga isteri bersedia �engkau suamiku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku�. Maka dengan pertukaran itu, suami dapat memandang dan memperlakukan isterinya, sebagai �dirinya sendiri� , sebaliknya begitu. Dengan kata lain, suami isteri saling mengarahkan jerih payahnya untuk hidup pasangannya, bukan hidup dirinya sendiri. Itulah �mengasihi sesama seperti dirinya sendiri� dalam keluarga. Kasih antar sesama itu dapat menjadi �tanda kasih yang hidup dari kesetiaan kasih Allah kepada manusia.

Allah Bapa tidak menyesal menciptakan manusia, meskipun Adam dan Hawa, akhirnya jatuh dalam dosa asal. Keturunan merekapun satu per satu, bergantian, turun temurun, dari generasi satu ke generasi yang lain, mewarisi dosa asal. Maka setelah melalui sejarah yang berliku-liku, Allah mengutus Putera-Nya yang tunggal, Yesus untuk hidup dan tinggal bersama manusia.

Kristus itulah yang melaksanakan tugas untuk menebus dosa manusia, dengan hidup dan wafat-Nya di kayu salib. Tugas itu dilaksanakan dengan sempurna oleh Kristus sehingga Allah tidak segan untuk meninggikan �Dia di atas segala nama�, dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Kebangkitan itu menganugerahkan kebebasan sebagai anak-anak Allah. Akan tetapi kebebasan itu tidak serta merta ditanggapi manusia untuk hidup di dalam Roh, mengasihi Allah dan sesama, malahan kerap kali kebebasan itu disalahgunakan untuk �bekerjasama dengan kuasa kegelapan dosa�, yakni hidup menurut daging. Karena itulah, Yesus mengutus Roh-Nya sendiri setelah 50 hari kebangkitan-Nya agar manusia mampu memenangkan pertempuran antara kehendak untuk hidup dalam Roh dan kecenderungan hidup dalam kegelapan dosa

Dengan lain kata, keputusan pria dan wanita untuk hidup menikah, adalah buah Roh Kudus, yakni menggunakan kebebasannya sebagai anak Allah untuk mewujudkan panggilan dasarnya sebagai citra dan anak-Nya untuk mencintai seperti Allah mencintai manusia. Panggilan dasar itu diwujudkan dalam hidup pernikahan. Maka sakramen pernikahan memperbaharui buah buah sakramen pembaptisan. Buah sakramen pembaptisan, tidak hanya mendapat anugerah kebebasan sebagai anak Allah, melainkan juga memberi daya kekuatan untuk menggulirkan kebebasan itu dalam tiga perannya: sebagai imam, nabi dan raja.

B. Tiga peran Suami Isteri dalam kemitraan dengan Allah

Suami isteri kristiani sebagai orang yang dibaptis telah dipercaya menjadi anak-Nya sekaligus ahli waris. Karena itu mereka dipanggil untuk menjadi imam, nabi dan raja

Sebagai imam, suami isteri dipanggil untuk membangun relasi yang intim dengan Allah. Relasi itu dibangun dengan �merayakan iman� dan �mewujudkan iman dalam tindakan kasih.� Tugas merayakan iman adalah kesediaan untuk berdoa: berbicara dengan Tuhan dalam berbagai macam kesempatan. Termasuk juga, yang harus dibuat, belajar minta Roh Kudus kepada Allah Bapa karena Roh Kudus tidak otomatis dianugerahkan kepada kita, melainkan Ia akan hadir dan terlibat dalam hidup kita.

�Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya (Luk 11, 13)�

Roh Kudus sudah hadir di tengah tengah kita, namun bagaimana kita mampu mengalami karya Roh itu kalau tidak membuka diri. Ibarat bagaikan orang yang mencari sinar matahari di pagi hari sampai siang, padahal dia terus menerus tinggal di gua dan tidak pernah mau keluar dari gua itu. Maka, penting dan mendesak, jangan ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus kepada Bapa agar terlibat membantu memberikan pencerahan di saat banyak kesulitan.

Sikap hidup �yang melibatkan Roh� itu pasti akhirnya menantang suami isteri untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap fasilitas yang nampaknya dapat diandalkan. Dengan lain kata, melibatkan Roh dalam hidup bersama, berarti jerih payah apapun suami isteri dapat menjadi korban persembahan bagi Tuhan kalau dilaksanakan �demi kepentingan terwujudnya buah-buah Roh, � kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.� (Gal 5:22-23)

Sebaliknya jerih payah suami isteri, bahkan yang kelihatan luhur sekalipun tidak akan menjadi �kurban persembahan bagi Allah� kalau dilaksanakan demi �kepentingan sendiri� atau demi kepentingan �daging�. Karena hidup dalam daging, �percabulan, kecemaran, hawa nafsu,� penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (Gal 5: 21)

Dengan kata lain peran sebagai imam menuntut peran sebagai �raja�, yang memiliki sikap �proaktif untuk melayani sesamanya�. Mereka tidak akan berbangga kalau menjadi pribadi yang suka disapa, atau jadi pribadi yang ditakuti pasangan hidup atau anaknya sendiri. Allah sendiri menganugerahkan Roh sebagai anak Allah bukan roh perbudakan yang membuat kita takut.�Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: �ya Abba, ya Bapa!� (Rm 8:14-15) Dengan keyakinan Santo Paulus ini, suami isteri dipanggil untuk menampilkan hidup sebagai anak Allah. Hidup sebagai anak Allah selalu terarah pada kepentingan Bapa, dan bukan kepentingan harga diri sendiri. Maka, suami isteri mesti belajar untuk dinilai dan dikritik oleh pasangannya. Kalau keliru, belajar cepat meminta maaf, tidak malahan membela diri dan berargumentasi bahwa dirinya benar. Kalaupun benar pendapatnya, lebih baik mengatakan, �Terima kasih atas kritikanmu! Iya, bisa jadi saya keliru, meski sekarang saya yakin pendapatku ini benar!� Keterbukaan seperti itulah, yang meningkatkan kualitas pribadi yang siap untuk diubah oleh Roh Kudus.

Dengan semangat itu, suami isteri dapat mewujudkan sakramen perkawinan: sebagai tanda kehadiran cinta Tuhan yang nyata, yakni,

(i) menjadi tanda cinta Allah Bapa Sang Pencipta dan pemelihara hidup melalui prokreasi, merawat dan mendidik anak sampai mandiri,

(ii) menjadi tanda kasih Yesus yang menebus dosa manusia dengan mengampuni satu sama lain, tidak menghakimi, namun belajar untuk mengubah kelemahan pasangan menjadi kesempatan untuk berefleksi dan

(iii) belajar untuk menjadi tanda kehadiran Roh Kudus yang menyertai kita sepanjang hidup, dengan belajar mendengarkan dan berkanjang bersama: tidak saling melempar kesalahan, tidak saling melempar tanggung jawab, melainkan belajar setia, yakni sehati seperasaan dalam suka dan duka.

Ketiga tindakan itu berwarna Trinitaris, maka ketiga tindakan itu tidak terpisahkan. Tidak cukup pasutri hanya prokreasi dan mendidik anak tanpa pengampunan dan solider antara suami isteri dan antar orang tua dan anak. Dengan cara hidup macam seperti suami isteri menjadi �tanda cinta yang hidup dari kesetiaan Allah kepada manusia�.

Akan tetapi bagaimana penghayatan itu sampai pada kenyataan kalau suami isteri kurang membuka diri kepada sabda Allah. Karena itu peran sebagai imam dan raja, mesti didukung dengan peran sebagai nabi, yang bersedia mendengarkan sabda Allah dan melaksanakan dalam hidup setiap hari. Sabda Tuhan itu adalah roh dan kehidupan. Maka suami isteri ditantang untuk hidup dari Sabda agar mereka memiliki �roh dan kehidupan� karena �Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.�(Yoh 6:63). itulah sebabnya Petrus pun setia mengikuti kemana Yesus pergi karena �Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal� (Yoh 6:68). Kata-kata Yesus itu sendiri meneguhkan kita semua, agar tidak lagi ragu-ragu untuk setia mendengarkan Sabda Tuhan agar kita mengenal siapa Kristus, dan terlebih agar kita memiliki roh dan hidup!! Maka suami isteri ditantang untuk sungguh berperan sebagai �nabi�: menjadi tanda kehadiran Allah yang bersabda bagi pasangannya, anak-anaknya dan saudara-saudarinya.

Dengan penghayatan begitulah, pasutri membawa hidupnya dalam persembaan di altar dalam ekaristi. Hidupnya dengan segala kerapuhan dan kelemahan dipersembahkan bersama kurban Kristus, agar saat komuni terjadilah �pertukaran ilahi�: Kristus hadir dalam diri suami isteri untuk menerima hati mereka dengan segala keletihan dan rasa lesu serta beban berat, dan menggantikannya dengan Tubuh dan Darah-Nya, agar setelah ekaristi, hidup mereka dalam keluarga sungguh menampilkan hidup Kristus yang setia pada Gereja-Nya. Karena itu Kristus yang setia pada Gereja-Nya membutuhkan suami isteri untuk bekerjasama, agar kesetiaan Kristus tampak bagi dunia. Di situlah tugas suami isteri, �menampakkan� kesetiaan kasih Kristus bagi dunia.

Dengan �menampakkan kesetiaan� itu dalam hidup bersama yang diwarnai kasih, suami isteri menjadi tanda �pertukaran ilahi� antara Kristus dengan manusia. Itulah �pertukaran� yang menjadi ciri khas �persekutuan suami isteri monogami dan tidak terceraikan�. Semoga makin banyak pasutri kristiani yang menjadi tanda kasih Allah yang hidup bagi dunia.

salam hangat untuk pasutri dan keluarga kristiani di manapun berada.

Blasius Slamet Lasmunadi Pr

Sumber :
http://mbahjustinus.wordpress.com/2009/09/22/memahami-sakramen-perkawinan-secara-baru/

Keperawanan Bunda Maria

Gereja mengajarkan bahwa Maria adalah seorang perawan sebelum, sewaktu dan sesudah melahirkan Yesus. Ini berarti bahwa Maria adalah perawan seumur hidupnya. Mengapa begitu? Karena itu adalah kehendak Tuhan dan Tuhan menghendaki Maria selalu utuh dan sempurna. Pertanyaan yang sering datang adalah bahwa Kitab Suci mengatakan bahwa sepertinya Yesus memiliki saudara kandung dan ini menunjukkan bahwa Maria tidak perawan setelah Yesus lahir.


Mat 13:55: Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara- Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas?
Dalam ayat ini sepertinya St. Matius menunjuk Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas sebagai adik-adik Yesus. Akan tetapi Kitab Suci akan membuktikan bahwa pandangan diatas adalah keliru. Pertama, kata saudara dapat berarti kakak, adik, sepupu dan juga saudara dalam Kristus.

Apakah memang St. Matius menuliskan ayat tersebut dengan maksud untuk mengatakan bahwa Yesus memiliki adik-adik kandung? Sama sekali tidak!

Karena pada Mat 27:56 St. Matius menjelaskan siapa yang dimaksud dengan Maria ibu Yakobus dan Yusuf. Maria yang ditulis pada ayat tersebut adalah Maria istri Klopas (Yoh 19:25).

Yoh 19:25
Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena.
Mat 27:56
Di antara mereka terdapat Maria Magdalena, dan Maria ibu Yakobus dan Yusuf, dan ibu anak-anak Zebedeus.
Bila Maria memang memiliki anak-anak lain selain Yesus, mengapa sebelum Yesus mati disalib Yesus menitipkan ibu-Nya kepada St. Yohanes? (Yoh 19:27). Bukankah adalah tanggung jawab dari anak Maria yang lainnya (jika ada) untuk mengurusnya?

Yesus menitipkan Maria kepada St. Yohanes karena St. Yoseph suami Maria telah meninggal dan Maria tidak lagi memiliki keluarga yang akan mengurusinya.

Yoh 19:27 Kemudian kata-Nya kepada murid-murid- Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.
Jika benar Mat 13:55 bermaksud menyatakan bahwa Yesus memiliki saudara kandung, maka seharusnyajumlah saudara Yesus berjumlah kurang lebih 120 orang. Bagaimana caranya Maria melahirkan lebih dari 100 orang anak? Dan kemudian pulang ke rumah Yohanes yang justru bukan anaknya dan tidak ke rumah salah satu dari 120 anak-nya?

Kis 1:14 Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu Yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus.
Kis 1:15 Pada hari-hari itu berdirilah Petrus di tengah-tengah saudara-saudara yang sedang berkumpul itu, kira-kira seratus dua puluh orang banyaknya, lalu berkata:

Jauh hari sebelum keperawanan Maria dipertanyakan oleh umat Protestan para pelopor reformasi Protestan sekalipun selalu membela keperawanan Maria:

Matin Luther: "Adalah sebuah pengakuan iman bahwa Maria adalah Bunda Allah yang masih tetap perawan ... Kami percaya Kristus lahir dari rahimnya dan sesudahnya Maria tetap sama seperti sebelumnya. (The Works of Luther, vol. 11 halaman 319-320)
John Calvin dalam khotbahnya mengenai kitab Matius berkata "Terdapat beberapa orang yang ingin mengartikan Mat 1:25 bahwa Maria mempunyai anak-anak selain Yesus Putera Allah, dan bahwa Yoseph berhubungan dengannya setelah kelahiran Yesus; adalah suatu kebodohan! Karena penulis Injil tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi sesudahnya akan tetapi keinginannya dalam menunjukan ketaatan Yoseph karena adalah benar bahwa itu adalah malaikat Allah yang dikirim kepada Maria. Karena itu Yoseph tidak pernah sekalipun bersama Maria. ( Sermon on Mathew 1:22- 25 cetakan 1562.)
Zwingli: "Dengan teguh aku percaya bahwa Maria menurut Injil adalah perawan yang sempurna yang melahirkan Putera Allah, Maria sewaktu melahirkan-Nya dan sesudah melahirkan-Nya dan selamanya adalah tetap sebagai perawan suci" (Zwingli Opera, vol. 1 halaman 424.)
Jika para pelopor doktrin Sola Scriptura berani membuat pernyataan iman seperti demikian, tentulah ia berkata karena dapat melihat bagaimana kenyataan keperawanan Maria memang terdapat di dalam Kitab Suci.

Seorang Protestan yang setia mengikuti doktrin sola scriptura seharusnya juga mengikuti contoh pelopor dan pencipta doktrin tersebut seperti Luther dkk yang dalam hal ini telah terang-terangan mengaku, memeluk dan membela ajaran Gereja Katolik mengenai Keperawanan Maria.

Disalin ulang oleh Katolisitas Indonesia dari buku Maria dalam Kitab Suci karya Tony Bamboe. 

Sunday, August 18, 2013

Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik

Pendahuluan

Teman kuliah sekelas saya ada yang lulusan sekolah pendeta, sebelum menjadi seorang Katolik. Ketika saya bertanya apa yang membuatnya menjadi Katolik, dia menjawab, ��. many things, but I should say, first and foremost, is the Church teaching regarding Marriage� (Banyak hal, namun yang terutama, adalah ajaran Gereja tentang Perkawinan). Ia adalah satu dari banyak orang -termasuk di antaranya adalah Kimberly dan Scott Hahn- yang melihat kebenaran ajaran Gereja Katolik melalui pengajaran hal Perkawinan.

Ini adalah sesuatu yang layak kita renungkan, karena sebagai orang Katolik, kita mungkin pernah mendengar ada orang mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang perceraian, aborsi dan kontrasepsi, mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan sakramen Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah menerima sakramen Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya, mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu �keras� di dalam Gereja Katolik. Agar kita dapat memahaminya, mari bersama kita melihat bagaimana Tuhan menghendaki Perkawinan sebagai persatuan antara suami dan istri, dan sebagai tanda perjanjian ilahi bahwa Ia menyertai umat-Nya.

Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci

Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman �penolong� yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu �daging� (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, �Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu�.� (Kej 1:28).

Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: �Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8).

Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas). Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera �menghasilkan� Roh Kudus. Walaupun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hubungan antara Allah Bapa dan Putera itu seperti hubungan suami dengan istri. Kasih di dalam diri Trinitas merupakan misteri yang dalamnya tak terselami, namun misteri ini direncanakan Allah untuk digambarkan dalam hubungan suami dan istri, agar dunia dapat sedikit menyelami misteri kasih-Nya. Maksudnya adalah, manusia diciptakan sesuai gambaran Allah sendiri untuk dapat menggambarkan kasih Allah itu.

Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam diri Trinitas, adalah kasih yang bebas (tak ada paksaan), setia, menyeluruh/ total, dan menghasilkan buah. Lihatlah Yesus, yang mengasihi Bapa dengan kasih tak terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia, wafat di salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan manusia. Allah Bapa mengasihi Yesus dengan menyertaiNya dan memuliakan-Nya; dan setelah Yesus naik ke surga, Allah Bapa dan Yesus mengutus Roh KudusNya. Kasih inilah yang direncanakan Allah untuk digambarkan oleh kasih manusia, secara khusus di dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan.

Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia.

Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32). Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk menguduskannya (Ef 5:25). Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya; dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai �kepala istri� (Ef 5:23), seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala.

Kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya ini menjadi inti dari setiap sakramen karena sakramen pada dasarnya membawa manusia ke dalam persatuan yang mendalam dengan Allah. Puncak persatuan kita dengan Allah di dunia ini dicapai melalui Ekaristi, saat kita menyambut Kristus sendiri, bersatu denganNya menjadi �satu daging�. Pemahaman arti Perkawinan dan kesatuan antara Allah dan manusia ini menjadi sangat penting, karena dengan demikian kita dapat semakin menghayati iman kita.

Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil untuk hidup menikah. Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah bahkan merupakan kesempurnaan perwujudan gambaran kasih Allah yang bebas, setia, total dan menghasilkan banyak buah (lih Mat 19:12,29). Oleh kehendak bebasnya, mereka menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan mereka yang total kepada Allah, sehingga dihasilkanlah banyak buah, yaitu semakin bertambahnya anak-anak angkat Allah yang tergabung di dalam Gereja melalui Pembaptisan, dan tumbuh berkembangnya mereka melalui sakramen-sakramen dan pengajaran Gereja.

Akhirnya, akhir jaman-pun digambarkan sebagai �perjamuan kawin Anak Domba� (Why 19:7-9). Artinya, tujuan akhir hidup manusia adalah persatuan dengan Tuhan. Misteri persatuan ini disingkapkan sedemikian oleh Sakramen Perkawinan, yang membawa dua akibat: pertama, agar kita semakin mengagumi kasih Allah dan memperoleh gambaran akan kasih Allah Tritunggal, dan kedua, agar kita mengambil bagian dalam perwujudan kasih Allah itu, seturut dengan panggilan hidup kita masing-masing.

Makna Sakramen Perkawinan

Melihat dasar Alkitabiah ini maka sakramen Perkawinan dapat diartikan sebagai persatuan antara pria dan wanita yang terikat hukum untuk hidup bersama seumur hidup.[1] Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita yang telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-istri, pada kelahiran dan pendidikan anak.[2] Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan �berbuah�.

Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi �karunia� satu bagi yang lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri. Inilah artinya sakramen perkawinan: suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang terpisahkan seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari suami selalu merenungkan: �Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku?� demikian juga, istri merenungkan, �Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada suamiku?�

Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika di dalam persatuan itu mereka bekerjasama dengan Tuhan untuk mendatangkan kehidupan bagi manusia yang baru, yang tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah. Dalam hal ini penciptaan manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya manusia yang diciptakan Tuhan seturut kehendakNya dengan mengaruniakan jiwa yang kekal (�immortal�). Sedangkan hewan dan tumbuhan tidak mempunyai jiwa. Jadi peran serta manusia dalam penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang sangat luhur, karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan oleh Allah.

Kemudian, setelah kelahiran anak, sang suami dan istri menjalankan peran sebagai orang tua, untuk memelihara dan mendidik anak mereka. Dengan demikian mereka menjadi gambaran terbatas dari kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam hal pemeliharaan/ pengasuhan (God�s maternity) dan pendidikan/ pengaturan (God�s paternity) terhadap manusia. Di sini kita lihat betapa Allah menciptakan manusia sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain diciptakan sebagai mahluk spiritual yang berkehendak bebas, dan karena itu merupakan mahluk tertinggi dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, selanjutnya, manusia dikehendaki Allah untuk ikut ambil bagian di dalam pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan, pemeliharaan dan pengaturan manusia yang lain.

Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut �kebahagiaan�.

Syarat Perkawinan Katolik yang sah

Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah, baru kemudian kita melihat apa yang menjadi ciri-cirinya.

Syarat pertama Perkawinan Katolik yang sah adalah perjanjian Perkawinan yang diikat oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaan, dan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja.[3] Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan.[4] Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar.[5] Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.

Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan dan diterima oleh imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan dan untuk memberi berkat Gereja. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan di dalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu.[6]

Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan.[7] Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya.

Beberapa syarat penting di atas, terutama syarat pertama, mendasari pihak Gereja menentukan suatu sah atau tidaknya perkawinan. Lebih lanjut tentang sah atau tidaknya perkawinan, pembatalan perkawinan (�annulment�) dan mengenai perkawinan campur (antara pasangan yang berbeda agama) akan dibahas pada artikel yang terpisah.

Ciri-ciri Perkawinan Katolik

Sebagai penggambaran persatuan ilahi antara Kristus dengan Gereja-Nya, Perkawinan Katolik mempunyai tiga ciri yang khas, yaitu (1) ikatan yang terus berlangsung seumur hidup, (2) ikatan monogami, yaitu satu suami, dan satu istri, dan (3) ikatan yang tidak terceraikan.[8] Sifat terakhir inilah yang menjadi ciri utama perkawinan Katolik. Di dalam ikatan Perkawinan ini, suami dan istri yang telah dibaptis menyatakan kesepakatan mereka, untuk saling memberi dan saling menerima, dan Allah sendiri memeteraikan kesepakatan ini. Perjanjian suami istri ini digabungkan dengan perjanjian Allah dengan manusia, dan karena itu cinta kasih suami istri diangkat ke dalam cinta kasih Ilahi.[9] Atas dasar inilah, maka Perkawinan Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri, dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah penetapan kebijaksanaan Allah ini.[10]

Karena janji penyertaan Allah ini, dari ikatan perkawinan tercurahlah juga berkat-berkat Tuhan yang juga menjadi persyaratan perkawinan, yaitu berkat untuk menjadikan perkawinan tak terceraikan, berkat kesetiaan untuk saling memberikan diri seutuhnya, dan berkat keterbukaan terhadap kesuburan akan kelahiran keturunan.[11] Kristus-lah sumber rahmat dan berkat ini. Yesus sendiri, melalui sakramen Perkawinan, menyambut pasangan suami istri. Ia tinggal bersama-sama mereka untuk memberi kekuatan di saat-saat yang sulit, untuk memanggul salib, bangun setelah jatuh, saling mengasihi dan mengampuni.

Maka, apa yang dianggap mustahil oleh dunia, yaitu setia seumur hidup kepada seorang manusia, menjadi mungkin di dalam Perkawinan yang mengikutsertakan Allah sebagai pemersatu. Ini merupakan kesaksian Kabar Gembira yang terpenting akan kasih Allah yang tetap kepada manusia, dan bahwa para suami dan istri mengambil bagian di dalam kasih ini. Betapa kita sendiri menyaksikan bahwa mereka yang mengandalkan Tuhan dalam perjuangan untuk saling setia di tengah kesulitan dan cobaan, sungguh menerima penyertaan dan pertolonganNya pada waktunya. Hanya kita patut bertanya, sudahkah kita mengandalkan Dia?

Sakramen Perkawinan menurut para Bapa Gereja

Ajaran para Bapa Gereja mendasari pengajaran Gereja tentang Perkawinan. Sejak jaman Kristen awal, Perkawinan merupakan gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya, sehingga ia bersifat seumur hidup, monogami, dan tak terceraikan.

1. St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.[12] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).

2. Tertullian (155-222) mengajarkan bahwa perkawinan yang diberkati Tuhan dapat menjadi perkawinan yang berhasil, meskipun menghadapi kesulitan dan tantangan, sebab perkawinan tersebut telah menerima dukungan rahmat ilahi.[13] �Bagaimana saya mau melukiskan kebahagiaan Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dimeteraikan dengan berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa?�.� Pasangan itu mempunyai satu harapan, satu cara hidup, satu pengabdian. Mereka yang adalah anak-anak dari satu Bapa, dan satu Tuhan. Mereka tak terpisahkan dalam jiwa dan raga, sebab mereka menjadi satu daging dan satu roh.[14] Karena persatuan ini, maka seseorang tidak dapat menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih hidup, sebab jika demikian ia berzinah.

3. St. Clemens dari Alexandria (150-216), mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, �Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah�� Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.[15] (Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu).

4. The Shepherd of Hermas (karya umat Kristen abad ke-2 yang dipandang sejajar dalam Tradisi Suci), mengajarkan jika seorang suami mendapati istrinya berzinah, dan istrinya itu tidak bertobat, maka sang suami dapat berpisah dengan istrinya, namun suami itu tidak boleh menikah lagi. Jika ia menikah lagi, maka ia sendiri berzinah.

5. Athenagoras (133-190) dan St. Theophilus dari Antiokia(169-183), keduanya mengajarkan monogami, bahwa seseorang harus menikah hanya sekali, karena ini yang dikehendaki Allah yang pada awalnya telah menciptakan seorang pria dan seorang wanita, dan yang menciptakan persatuan daging dengan daging untuk membentuk bangsa umat manusia.[16]

6. Origen (185-254) mengajarkan bahwa Tuhanlah yang mempersatukan sehingga suami dan istri bukan lagi dua melainkan �satu daging�. Pada mereka yang telah dipersatukan Allah terdapat �karunia�, sehingga Perkawinan menurut Sabda Tuhan adalah �karunia�, sama seperti kehidupan selibat adalah karunia.[17]

7. St. Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, �Apa yang telah dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia� (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang suami haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau memutuskan dia.[18]

8. St. Agustinus (354-430), berkat Perkawinan adalah: keturunan, kesetiaan, ikatan sakramen. Ikatan sakramen ini sifatnya tetap selamanya, yang tidak dapat dihilangkan oleh perceraian atau zinah, maka harus dijaga oleh suami dan istri dengan sikap bahu-membahu dan dengan kemurnian.[19]

Kesimpulan

Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk menggambarkan kasih-Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah Tritunggal, dan kasih-Nya kepada manusia yang tak pernah berubah. Keluhuran Perkawinan juga dinyatakan oleh Kristus, yang mengangkat nilai Perkawinan dengan menjadikannya gambaran akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru. Dengan memiliki ciri-ciri yang demikian, Perkawinan merupakan �sakramen�, yaitu tanda kehadiran Allah di dunia, sebab sesungguhnya Allah menggabungkan kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada umat manusia. Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri. �Marriage takes three to make a go� and when Christ is at the center, it will prevail until the end, and even now on earth, receive a foretaste of the wedding feast of the Lamb!�

[1] Lihat The Roman Catechism (Catechism of Trent), Part 2, The Sacrament, Matrimony, The Definition of Matrimony.
[2] Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1601.
[3] Lihat KGK 1625. Hukum kodrat atau ketetapan Gereja yang dapat menghalangi perkawinan misalnya adalah perkawinan antar saudara kandung, perkawinan anak-anak dibawah umur, ataupun perkawinan yang melibatkan satu atau keduanya masih terikat perkawinan yang sah dengan pasangan terdahulu.
[4] Lihat KGK 1626
[5] Lihat KGK 1628
[6] Lihat KGK 1631
[7] Lihat KGK 1632
[8] Lihat Catechism of Trent, Ibid., Marriage is Indissoluble by Divine Law, Unity of Marriage and Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1638, 1605, 1614, 1615, 1640, 1641, 1643, 1644, 1659
[9] Lihat KGK 1639
[10] Lihat KGK 1640
[11] Lihat Ibid., Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1641, 1642, 1644, 1646, 1648.
[12] Lihat St. Ignatius of Antioch, Letter to St. Polycarp, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966), p. 438
[13] Lihat Tertullian, To His Wife, Bk 2:7, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438
[14] Lihat Tertullian, ux 2,9, seperti dikutip KGK 1642.
[15] Lihat St. Clement of Alexandria, Christ the Educator, Bk. 2, Chap.23, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.442.
[16] Lihat Athenagoras, A Plea for Christian, Ch. 33, St Theohilus of Antioch, To Autolycus, Bk 3:15, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.445.
[17] Lihat Origen, Commentary on Mathew, Bk 14, Chap 16, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.
[18] Lihat St. John Chrysostom, Homilies on St. Matthew, 62:1, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.
[19] Lihat St. Augustine, On Marriage and Concupiscence, Bk 1, Ch. II, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438

Sumber :
http://katolisitas.org/257/indah-dan-dalamnya-makna-sakramen-perkawinan-katolik

Friday, August 16, 2013

Sakramen Perkawinan Menurut Gereja Katolik

Gereja Katolik mengenal Sakramen Perkawinan atau Pernikahan sebagai salah satu dari ketujuh Sakramen. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan adalah suatu hal yang luhur. Dengan adanya sakramen pernikahan secara lahiriah ada tanda yang menyatakan bahwa Allah hadir dalam kehidupan perkawinan dan Allah menjadi saksi cinta kasih sang suami dan istri (bdk Mal 2:14). Perkawinan dijadikan sakramen karena kitab suci sendiri mengisyaratkan seperti menjunjung tinggi perkawinan. Bahkan Paulus menegaskan supaya suami-istri saling mencintai seperti Kristus mencintai umatNya (jemaat atau Gereja-Nya - Lih Ef 5:21-33).

Kitab Kejadian memberikan gambaran bahwa Allah sungguh memberkati perkawinan (bdk Kej 1:28). Campur tangan Allah itulah yang menjadi dasar yang kuat untuk menjadikan perkawinan sebagai sakramen.

Menurut Gereja Katolik perkawinan itu bersifat kekal atau tidak terceraikan dan ini sesuai dengan KS (bdk Markus 10:1-12, Roma 7:2-3 dan Lukas 16:18). Pada kutipan KS yang lain ada seolah-olah semacam celah untuk melakukan perceraian seperti Matius 19:1-12, terutama pada ayat 9: "Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." Tetapi sebenarnya menurut para ahli kata di atas merupakan sisipan dari penulis injil. Mengapa?? Karena injil Matius ditujukan untuk pembaca Yahudi. Kita tahu bahwa hukum Taurat itu mengijinkan perceraian sehingga akhirnya penulis injil menyisipkan kata "Kecuali karena zinah" agar tidak menimbulkan kesan bahwa Yesus mengubah hukum taurat, karena Yesus dalam injil Matius mengatakan "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi." (Mat 5:17-18) Jadi maksud Yesus tetap bahwa perkawinan itu tetap tak terceraikan. Hal itu dapat disimpulkan jika kita membaca ayat 9 pada Matius 19 dengan kesatuan dengan keseluruhan konteks perkawinan dalam KS.

Ada yang mengatakan bahwa selain Mat 19:1-12, 1 Kor 7:10-11 juga mengisyaratkan akan bolehnya perceraian (lihat pada ayat 11).

Tetapi jelas sekali dalam perikop ini bahwa kalau memang harus berpisah (= Paulus menyebutnya bercerai ) istri yang menceraikan suaminya tidak diperkenankan menikah lagi dan sebisa mungkin kembali rujuk dengan suaminya. Nah dalam hal ini sudah jelas bahwa Paulus mengatakan perceraian itu tidak diijinkan. Dalam Efesus 5:22-32 kita dapat menyimpulkan bahwa perceraian itu tidak dimungkinkan. Mengapa? Karena pada perikop itu dijelaskan bahwa hubungan Yesus dengan Jemaat adalah sebagai Kepala dan Tubuh yang sudah pasti tidak dapat diceraikan. Nah kalau Paulus juga menyamakan hubungan itu dengan hubungan suami dan istri berarti secara otomatis hubungan antara suami dan istri tidak dapat diceraikan, karena hubungan Yesus dengan jemaat tidak dapat diceraikan. Dalam Perjanjian Lama ditegaskan bahwa Allah sendiri membenci perceraian (Mal 2:16).

Dalam istilah Gereja ada istilah Annulments yang dalam hukum gereja berarti sejak awal mula tidak ditemukan perkawinan yang sah (perkawinan yang menjadi batal karena tidak memenuhi hukum Gereja atau sebab musabab yang sesuai hukum Gereja). dalam hal ini mereka yang mengalami mungkin dapat menikah kembali di Gereja. Dalam Gereja Katolik jika pasangan yang menikah salah satunya ada yang meninggal maka pasangan yang satunya dapat pula kembali menikah di gereja.

Sumber :
http://www.imankatolik.or.id/sakramenperkawinan.html

Wednesday, August 14, 2013

Takhta Suci Vatikan Mengenai Penerimaan Komuni Di Tangan

Sekretaris Kongregasi Ibadat Ilahi dan Disiplin Sakramen telah menyerukan peninjauan kembali atas praktek Komuni di tangan. Dalam kata pengantar sebuah buku berbahasa Italia, yang pada tanggal 2008 lalu ditulis oleh seorang uskup dari Kazakhstan mengenai Ekaristi dan telah dirilis pada bulan Januari tahun 2008 oleh pejabat penerbit buku di Vatikan. 

Uskup Agung Albert Malcolm Ranjith Patabendige Don menunjukkan bahwa penerimaan Komuni di tangan telah memberikan kontribusi terhadap pengertian umum dari "kecerobohan" dalam Ekaristi Kudus, serta beberapa pelanggaran lainnya pula yang terkesan mencolok. Bapa Uskup Albert juga berkesempatan menyampaikan sambutannya dalam kata pengantar, sebuah buku berjudul �Dominus Est�, yang ditulis oleh Uskup Athanasius Schneider.

Praktek menerima Komuni di tangan juga tidak diamanatkan oleh Konsili Vatikan II, atau juga diperkenalkan sebagai bentuk tanggapan, dalam menanggapi panggilan dari kaum awam, Uskup Agung Ranjith pun berpendapat bahwa menurutnya, praktik kesalehan � menerima Komuni Kudus di lidah sambil berlutut- diubah secara tidak layak dan terburu-buru menjadi praktik menerima Komuni Kudus di tangan dan praktik menerima Komuni Kudus di tangan ini tersebar luas bahkan sebelum disetujui secara resmi oleh Vatikan.

Mengingat kurang mendalamnya penghormatan dalam Perayaan Ekaristi, Uskup Agung menunjukkan bahwa itu adalah "waktu yang tepat untuk meninjau" kebijakan (pastoral). Dilain pihak, Bapa Uskup memang tidak mengutuk praktek Komuni di tangan, pejabat Vatikan memuji Uskup Agung Schneider untuk berdebat dalam mendukung praktek yang lebih tua (yaitu menerima Komuni di lidah sambil berlutut), hal ini dapat dikatakan membantu untuk menumbuhkan rasa hormat yang tepat dan takwa.

Diterjemahkan oleh Katolisitas Indonesia dari Catholic Culture. Dominus illuminatio mea!

Sunday, August 11, 2013

Misa Tridentina dan Novus Ordo

Misa Latin Tradisional/ Misa Tridentina
Banyak umat Katolik zaman sekarang, yang kini tidak mengenal lagi Misa Latin Tradisional (Usus Antiquor atau Tridentina), dengan mendengar namanya saja orang-orang akan berpikir bahwa Misa Latin Tradisional adalah Misa yang kuno dan sudah tidak dirayakan lagi setelah Konsili Vatikan II sehingga yang dirayakan oleh Gereja Latin hanyalah Misa Forma Novus Ordo dan menghapus keberadaan Misa Tridentina. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai perbedaan dari kedua format Misa tersebut dalam Perayaan Ekaristi.
Secara garis besar terdapat 2 format cara perayaan Ekaristi dalam Ritus Latin:

1) Misa Tridentina/Usus Antiquor (Forma Ekstraordinaria)
Misa Tridentine adalah tata cara perayaan Ekaristi yang dirayakan oleh Gereja Roma sebelum Konsili Vatikan II, yang dipromulgasikan setelah Konsili Trente (1545-1563). Liturgi Misa Tridentina sendiri telah masuk dalam edisi 1570-1962 didalam Roman Missal, berdasarkan Bulla Quo Primus oleh Paus Pius V.

2) Misa Novus Ordo (Forma Ordinaria)
Misa Novus Ordo adalah tata cara Perayaan Ekaristi yang dirayakan oleh Gereja Roma setelah Konsili Vatikan II, yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI salah satu dari 4 Paus Pemimpin Konsili Vatikan II. Terbentuknya Misa Forma Novus Ordo ini dilatar belakangi oleh kejadian sekitar abad 19-20 yang dimana pada masa tersebut, terjadilah sebuah gerakan liturgis yang menuntut terjadinya keikutsertaan awam dalam Liturgi Gereja. Untuk maksud partisipasi umat secara aktif inilah, Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi (Sacrosanctum Concillium/ SC), menetapkan bahwa di samping bahasa Latin, dimungkinkannya digunakannya bahasa setempat/ vernakular dimana Perayaan Ekaristi dirayakan (lih. SC 36), agar umat dapat memahami makna perayaan Ekaristi dengan lebih mudah dan mendalam (karena Misa Tridentina hanya menggunakan Bahasa Latin dalam perayaannya).

Sehingga terjadilah perkembangan dari Misa Tridentine ke Misa Novus Ordo, maka penyesuaian liturgi dinyatakan dalam Konstitusi tentang Liturgi, Sacrosanctum Concilium, 50, Konsili Vatikan II menyatakan:
�Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga lebih jelaslah makna masing-masing bagiannya serta hubungannya satu dengan yang lain. Dengan demikian Umat beriman akan lebih mudah ikut-serta dengan khidmat dan aktif. Maka dari itu hendaknya upacara-upacara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sedangkan beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu, hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu nampaknya memang berguna atau perlu.�
Perbedaan umum antara Misa Tridentine dan Misa Novus Ordo
Secara umum, terdapat dua perbedaan secara �ordinari� (bagian yang tidak berubah) dan proper (bagian yang berubah) antara Misa Tridentine dan Novus Ordo. Pertama, secara ordinari dapat dilihat dengan jelas bahwa Misa Tridentina begitu banyak memohon doa dari para Malaikat dan orang kudus (seperti yang tercantum dalam doa tobat �versi Tridentine�) dan banyak pula mengisi hampir dari struktur Perayaan Ekaristi dengan doa-doa yang diambil dari kitab Mazmur (seperti doa dikaki Altar) dan dinyatakan begitu ekspresif oleh pelayan Liturgi. Sedangkan dalam Misa Novus Ordo, Perayaan Ekaristi begitu terfokus kepada Allah Trinitas dan amat sedikit menyebut nama Maria, para Malaikat dan orang kudus meskipun tidak seluruhnya dan terkesan bahwa Novus Ordo lebih sederhana daripada dari Misa Tridentina. 

Misa Novus Ordo oleh Paus Fransiskus
Sedangkan secara proper, pada Misa Tridentine hanya terdapat dua bacaan, satu dari surat- surat para Rasul di Perjanjian Baru (cth Kisah Para Rasul, Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Tesalonika) dan satu lagi yang diambil dari ke 4 kisah Injil. Misa Tridentine pun hanya menggunakan satu siklus bacaan setahun. Sedangkan pada Novus Ordo, dalam Perayaan Ekaristi mingguan terdapat 3 bacaan, satu dari Perjanjian Lama, kedua dari surat-surat para Rasul dalam Perjanjian Baru dan ketiga diambil dari ke 4 Kisah Injil dan didalam Misa Novus Ordo terdapat tiga jenis siklus bacaan (Tahun A,B,C) yang digilir dalam selang 3 tahun. Hal ini untuk mendukung penyesuaian kalender liturgis agar sesuai dengan masa/ perayaan yang sedang diperingati secara keseluruhan.

Selanjutnya yaitu mengenai tata cara hadap-imam dalam Perayaan Ekaristi yang dalam Forma Tridentina (menghadap ke Timur/Tabernakel) sedangkan Novus Ordo (menghadap ke arah umat beriman), dalam konteks ini Paus Paulus VI dalam Konstitusi Apostolik Missale Romanum (silahkan klik), menjelaskan bahwa prinsip dasar direvisi tata cara Missale adalah agar:

1) Ritus Misa disusun dengan seksama agar dapat mengekspresikan dengan lebih mendalam lagi hal-hal kudus yang terkandung didalamnya.

2) Ritus Misa direvisi sehingga hakekat dan maksud dasar dari bagian-bagiannya, dan juga hubungan antara bagian-bagian tersebut, dapat lebih jelas dinyatakan dan sehingga partisipasi khidmat dan aktif dari umat beriman dapat tercapai dengan lebih mudah.

3) Harta Rohani dalam Kitab Suci dibukakan dengan lebih limpah, sehingga kekayaan ini dapat disampaikan kepada umat dalam liturgi Sabda.

4) Sebuah ritus untuk konselebrasi harus disusun dan dimasukkan ke dalam Missale.

Maka pembaharuan liturgi yang dilakukan oleh Paus Paulus VI ini bertujuan agar umat dapat semakin mendalami dan sekaligus aktif dalam doa-doa Liturgi Gereja. Perubahan arah hadap Imam sendiri, tidak disebutkan secara eksplisit dan juga tidak ditegaskan apakah hal tersebut adalah mutlak dan tidak bisa diubah oleh Missale Romanum. Namun perubahan arah hadap imam ini baru dapat disimpulkan setelah kita membaca PUMR (Pedoman Umum Missale Romawi) yang menjelaskan lebih lanjut, baik sikap imam (lih. PUMR, 124) maupun tata perletakan altar (PUMR, 299).

Perihal mengenai imam menghadap ke altar/ tabernakel memang terkesan mencerminkannya sebagai pemimpin ibadah dan atas nama umat mempersembahkan kurban kepada Allah. Namun dengan posisi imam menghadap ke umat, juga sesungguhnya tidak mengubah kaedah tersebut. Setelah promulgasi Misa Novus Ordo ini, Paus Paulus VI tetap mengizinkan Misa Latin Tradisional dirayakan di berbagai tempat termasuk Inggris dan Wales. Dua imam kudus yang terkenal, St. Josemaria Escriva dan St. Padre Pio juga masih tetap merayakan Misa Latin Tradisional hingga akhir hayatnya.
 
Misa bentuk luarbiasa forma ekstraordinaria oleh MGR. Luciano Giovanetti
Selanjutnya, Paus Emeritus Benediktus XVI dalam surat apostoliknya, Summorum Pontificum menegaskan bahwa pada intinya, yang dikehendaki oleh Konsili Vatikan II adalah agar penghormatan yang khidmat dari penyembahan ilahi harus diperbaharui dan disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan di masa mendatang. Sehingga, harap diketahui bahwa kedua Tata Perayaan Ekaristi Tridentine maupun Novus Ordo merupakan Tata Perayaan Misa yang sah dalam Gereja Latin. 

Paus Em. Benediktus XVI sendiri melalui Summorum Pontificum tahun 2007 juga memberikan kemungkinan kepada perayaan misa dengan cara Misa Tridentine (menurut Paus Pius V, 1570). Seperti yang ditegaskannya �Karena itu, adalah diijinkan untuk merayakan Kurban Misa mengikuti edisi tipikal dari Misa Roma, yang dipromulgasikan oleh Beato Yohanes XXIII pada 1962 dan tidak pernah dibatalkan (abrogated), sebagai suatu bentuk luarbiasa dari Liturgi Gereja.�Yang artinya adalah, Misa Tridentina dan Novus Ordo merupakan kekayaan luar biasa Liturgi Gereja dalam Ritus Romawi, walaupun dirayakan dengan ekspresi yang berbeda, namun keduanya berasal dari ritus Romawi yang sama. Karena kedua perayaan Ekaristi yang berasal dari zaman Kristus dan para Rasul.

Di Indonesia, Perayaan Misa pada umumnya dilakukan dengan Misa Paulus VI/Novus Ordo, namun seperti telah disebutkan di atas, tidak mengurangi penghormatan ataupun makna Misa Kudus, tetapi malah ingin menjadikannya menjadi semakin agung walaupun diadakan dengan lebih sederhana.


Demikian, semoga ulasan singkat ini bermanfaat. Dominus illuminatio mea!

Tags

Renungan (53) Sejarah Gereja (45) Kepausan (42) Katekese (40) Para Kudus (39) Berita Katolik (37) Ekaristi (36) Kitab Suci (33) Yesus Kristus (33) Doa dan Hymne (30) Liturgi (29) Apologetik (26) Renungan Cerdas (25) Fransiskus (22) Santa Maria (22) Artikel Lain (19) Dokumen Gereja (19) Gereja Katolik (19) Katekese Liturgi (17) Ajaran Gereja Katolik (16) Komuni Kudus (16) Paskah (16) Benediktus XVI (13) Dasar Iman Katolik (13) Kisah Nyata (13) Renungan Poltik (13) Natal (11) Kompendium Katolik (10) Bapa Gereja (9) Katolik Indonesia (9) Katolik Timur (9) Petrus (9) Roh Kudus (9) Sakramen Gereja Katolik (9) Allah Tritunggal (8) Perayaan Ekaristi (8) Prapaskah (8) Prodiakon (8) Tradisi (8) Kesaksian (7) Pemazmur (7) Sakramen Ekaristi (7) Tuhan Allah (7) Adven (6) Kematian (6) Liturgi dan Kaum Muda (6) Misdinar (6) Paduan Suara Gereja (6) Pekan Suci (6) Rabu Abu (6) Ajaran Gereja (5) Hari Peringatan (5) Hari Pesta / Feastum (5) Kamis Putih (5) Maria Bunda Allah (5) Perayaan Natal (5) Piranti Liturgi (5) Seputar Liturgi (5) Tritunggal (5) EENS (4) Ibadat Kematian (4) Ibadat Peringatan Arwah (4) Katekismus Gereja (4) Maria Diangkat Ke Surga (4) Minggu Palma (4) Misa Jumat Pertama (4) Misa Latin (4) Nasihat Bijak (4) Nyanyian Liturgi (4) Pentakosta (4) Sakramen Perkawinan (4) Seremonarius (4) Surat Gembala Paus (4) Surat Gembala Uskup (4) Tahun Iman (4) Tokoh Nasional (4) Tuhan Yesus (4) Beato dan Santo (3) Berita Nasional (3) Doa Litani (3) Doa Rosario (3) Dupa dalam Liturgi (3) Eksorsisme (3) Jalan Salib (3) Jumat Agung (3) Lektor (3) Liturgi dan Anak (3) Makna Homili (3) Malam Paskah (3) Masa Prapaskah (3) Misa Krisma (3) Misa Tridentina (3) Musik liturgi (3) Novena Natal (3) Pantang dan Puasa (3) Sakramen Tobat (3) Spiritualitas (3) Surat Gembala KWI (3) Tata Gerak dalam Liturgi (3) Tokoh Internasional (3) Toleransi Agama (3) Yohanes Paulus II (3) Cinta Sejati (2) Dasar Iman (2) Denominasi (2) Devosi Hati Kudus Yesus (2) Devosi Kerahiman Ilahi (2) Doa (2) Doa Angelus (2) Doa Novena (2) Doa dan Ibadat (2) Ekumenisme (2) Gua Natal (2) Hari Sabat (2) Homili Ibadat Arwah (2) How To Understand (2) Ibadat Syukur Midodareni (2) Inkulturasi Liturgi (2) Inspirasi Bisnis (2) Kanonisasi (2) Kasih Radikal (2) Keajaiban Alkitab (2) Keselamatan Gereja (2) Kisah Cinta (2) Korona Adven (2) Lagu Malam Kudus (2) Lagu Rohani (2) Lawan Covid19 (2) Lintas Agama (2) Madah dan Lagu Liturgi (2) Makna Natal (2) Maria Berdukacita (2) Maria Dikandung Tanpa Noda (2) Maria Ratu Rosario Suci (2) Motivator (2) Mujizat Kayu Salib (2) Mutiara Kata (2) New Normal (2) Nita Setiawan (2) Organis Gereja (2) Penyaliban Yesus (2) Perarakan dalam Liturgi (2) Peristiwa Natal (2) Perubahan (2) Pohon Natal (2) Renungan Paskah (2) Sakramen Gereja (2) Sakramen Imamat (2) Sakramen Minyak Suci (2) Sakramen Penguatan (2) Sekuensia (2) Sharing Kitab Suci (2) Tahun Liturgi (2) Tujuan dan Makna Devosi (2) Ucapan Selamat (2) Virus Corona (2) WYD 2013 (2) Youtuber Top (2) 2 Korintus (1) Aborsi dan Kontrasepsi (1) Abraham Linkoln (1) Adorasi Sakramen Mahakudus (1) Agama Kristiani (1) Ajaran Gereja RK (1) Alam Gaib (1) Alam Semesta (1) Alkitab (1) Allah Inkarnasi (1) Allah atau Mamon (1) Arianisme (1) Ayat Alquran-Hadist (1) Bapa Kami (1) Berdamai (1) Berhati Nurani (1) Berita (1) Berita Duka (1) Berita International (1) Bible Emergency (1) Bukan Take n Give (1) Busana Liturgi (1) Cara Mengatasi (1) Cinta Sesama (1) Cintai Musuhmu (1) D Destruktif (1) D Merusak (1) Dialog (1) Doa Bapa Kami (1) Doa Permohonan (1) Doa Untuk Negara (1) Documentasi (1) Dogma EENS (1) Doktrin (1) Dosa Ketidakmurnian (1) Dunia Berubah (1) Egois dan Rakus (1) Era Google (1) Evangeliarium (1) Filioque (1) Garputala (1) Gereja Orthodox (1) Gereja Samarinda (1) Godaan Iblis (1) Golput No (1) Hal Pengampunan (1) Hamba Dosa (1) Hari Bumi (1) Hari Raya / Solemnity (1) Haus Darah (1) Hidup Kekal (1) Hierarki Gereja (1) Homili Ibadat Syukur (1) Ibadat Kremasi (1) Ibadat Pelepasan Jenazah (1) Ibadat Pemakaman (1) Ibadat Rosario (1) Ibadat Tobat (1) Imam Kristiani (1) Imperialisme (1) Influencer Tuhan (1) Inisiator Keselamatan (1) Injil Mini (1) Inspirasi Hidup (1) Irak (1) Israel (1) Jangan Mengumpat (1) Kandang Natal (1) Karismatik (1) Kasih (1) Kasih Ibu (1) Kata Allah (1) Kata Mutiara (1) Katekismus (1) Keadilan Sosial (1) Kebaikan Allah (1) Kebiasaan Buruk Kristiani (1) Kedewasaan Kristen (1) Kehadiran Allah (1) Kejujuran dan Kebohongan (1) Kelahiran (1) Keluarkan Kata Positif (1) Kemiskinan (1) Kesehatan (1) Kesetiaan (1) Kesombongan (1) Kiss Of Life (1) Kompendium Katekismus (1) Kompendium Sejarah (1) Konsili Nicea (1) Konsili Vatikan II (1) Kremasi Jenazah (1) Kumpulan cerita (1) Lamentasi (1) Lectionarium (1) Mantilla (1) Maria Minggu Ini (1) Martir Modern (1) Masa Puasa (1) Masalah Hidup (1) Melawan Setan (1) Mengatasi Kesepian (1) Menghadapi Ketidakpastian (1) Menjadi Bijaksana (1) Menuju Sukses (1) Mgr A Subianto B (1) Misteri Kerajaan Allah (1) Misterius (1) Moral Katolik (1) Mosaik Basilika (1) Mukjizat Cinta (1) Mukzijat (1) Nasib Manusia (1) Opini (1) Orang Berdosa (1) Orang Jahudi (1) Orang Kudus (1) Orang Lewi (1) Orang Munafik (1) Orang Pilihan (1) Orang Sempurna (1) Ordo dan Kongregasi (1) Owner Facebooks (1) Pandangan Medis (1) Para Rasul (1) Pelayanan Gereja (1) Pembual (1) Pencegahan Kanker (1) Penderitaan Sesama (1) Pendiri Facebooks (1) Penerus Gereja (1) Penjelasan Arti Salam (1) Penyelamatan Manusia (1) Penyelenggara Ilahi (1) Perasaan Iba (1) Perdamaian Dunia (1) Perjamuan Paskah (1) Perjamuan Terakhir (1) Perkataan Manusia (1) Perselingkuhan (1) Pertobatan (1) Pesta Natal (1) Pikiran (1) Positik kpd Anak (1) Presiden Soekarno (1) Pusing 7 Keliling (1) Putra Tunggal (1) Rasio dan Emosi (1) Roh Jiwa Tubuh (1) Roti Perjamuan Kudus (1) Saat Pembatisan (1) Saat Teduh (1) Sabat (1) Sahabat lama (1) Sakit Jantung (1) Sakramen Baptis (1) Saksi Yehuwa (1) Salib Yesus (1) Sambutan Sri Paus (1) Sejarah Irak (1) Selamat Natal (1) Selamat Tahun Baru (1) Selingan (1) Siapa Yesus (1) Soal Surga (1) Surat Kecil (1) Surat bersama KWI-PGI (1) Surga Dan Akherat (1) Tafsiran Alkitab (1) Tamak atau Rakus (1) Tanda Beriman (1) Tanda Percaya (1) Tanpa Korupsi (1) Tanya Jawab (1) Teladan Manusia (1) Tembok Yeriko (1) Tentang Rakus (1) Teologi Di Metropolitan (1) Thomas Aquinas (1) Tim Liturgi (1) Tokoh Alkitab (1) Tokoh Gereja (1) Tolong Menolong (1) Tradisi Katolik (1) Tri Hari Suci (1) Triniter (1) True Story (1) Tugas Suku Lewi (1) Tugu Perdamaian (1) Tuguran Kamis Putih (1) Tuhan Perlindungan (1) Tulisan WAG (1) YHWH (1) Yesus Manusia (1) Yesus Manusia Allah (1) Yesus Nubuat Nabi (1) Yesus Tetap Sama (1)