Latest News

Monday, July 27, 2015

Menyiapkan Ekaristi Kaum Muda

Oleh: Romo P. Mutiara Andalas, SJ

Salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam berbagai kesempatan berbagi pengalaman merayakan Ekaristi Kaum Muda (EKM) adalah langkah-langkah persiapannya. Sangat ideal sebuah paroki yang berniat menyelenggarakan EKM memiliki tim animasi liturgi. Tugas utama tim animasi liturgi adalah mendampingi persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi beserta refleksi penyelenggara EKM. Jika belum memiliki personil yang lengkap untuk sebuah tim animasi, beberapa pribadi yang berhati besar pada orang muda, dan berpengetahuan dalam Kitab Suci, serta melek kesenian, terutama musik, tarian dan drama liturgi, duduk bersama untuk berperan sebagai embrio tim animasi liturgi. Seorang imam di paroki yang memiliki perhatian besar pada katekese iman orang muda perlu mendampingi tim ini.

Perayaan Ekaristi Kaum Muda membutuhkan keberadaan lebih dari sekedar tim animasi liturgi beserta imam sebagai pendamping ideal. Untuk menjamin keberlanjutan penyelenggaraan EKM, tim animasi liturgi perlu komunitas-komunitas pendukung. Idealnya, kebutuhan akan ketersediaan lagu EKM mendorong pembentukan komunitas pencipta lagu. Menyadari bahwa ungkapan iman melampaui bahasa doa dan nyanyian, tim animasi perlu dukungan komunitas-komunitas kesenian, seperti tari dan drama. Penyelenggaraan perayaan Ekaristi Kaum Muda membutuhkan infrastruktur yang kuat. Banyak tim animasi liturgi EKM lemah dalam dukungan infrastruktur. Ketika infrastruktur masih lemah, tim animasi liturgi dapat melibatkan kelompok-kelompok potensial untuk mendukung penyelenggaraan EKM.

Gagasan mendiang Tom Jacobs mengenai Ekaristi sebagai perayaan iman pantas mendapatkan perhatian. Beliau pakar dalam membaca dokumen-dokumen gereja tentang liturgi Ekaristi, dan berpengalaman secara pastoral, terutama dalam melayani Ekaristi di gereja St. Antonius Kotabaru. Perjumpaan langsung penyelenggara Ekaristi dengan beliau dan pembacaan atas tulisannya memberikan inspirasi sangat kaya tentang katekese liturgi melalui perayaan Ekaristi. Beliau mewanti-wanti agar Ekaristi jangan jatuh menjadi upacara atau kewajiban, melainkan perayaan. Para penyelenggara Ekaristi sedapat mungkin menyesuaikan perayaan dengan umat yang hadir. Paroki St. Antonius Kotabaru, misalnya, menyelenggarakan EKM karena menyadari bahwa partisipasi orang muda dalam Ekaristi berbeda dari anak, remaja, dewasa atau lansia.[1]

Dalam rangka pembinaan iman, perayaan liturgi akan lebih mengena jika bacaan, doa, dan nyanyian sedapat mungkin dipilih seusai dengan keperluan, taraf pendidikan, dan kemampuan rohani umat yang hadir�. Karena ada banyak kemungkinan untuk memilih bagian-bagian rumus misa, maka diakon, lektor, penyanyi mazmur, komentator dan paduan suara masing-masing harus tahu sebelum perayaan, bagian yang akan mereka bawakan. Jangan sampai terjadi sesuatu dilakukan tanpa persiapan. Koordinasi yang baik dan penyelenggaraan yang serasi akan sangat menolong umat untuk terlibat dalam Perayaan Ekaristi dan lebih merasakan manfaatnya.[2]

Tim animasi liturgi jangan lepas tangan terhadap persiapan penyelenggara Ekaristi Kaum Muda. Kegiatan penyelenggara menyiapkan EKM meliputi membaca Kitab Suci, menentukan tema, menyusun alur, memilih nyanyian, memilih kesenian liturgis, menyusun teks Ekaristi, dan gladi kotor serta bersih. Penyelenggara yang baru pertama kali menyiapkan EKM seringkali membutuhkan waktu lebih panjang. Untuk memfasilitasinya, tim animasi liturgi dapat mengalokasikan waktu satu minggu untuk masing-masing kegiatan persiapan. Penyelenggara yang telah beberapa kali menyiapkan EKM lebih fleksibel dalam manajemen waktu. Mereka barangkali lebih cepat dalam pembacaan Kitab Suci atau penentuan tema atau pemilihan nyanyian, tetapi lebih lamban dalam penyusunan alur atau doa atau pemilihan kesenian liturgis.

Dinamika Persiapan Penyelenggara EKM

Membaca Kitab Suci
Persiapan perayaan Ekaristi kaum muda mulai dengan membaca dan menafsirkan Kitab Suci. Tujuannya penyelenggara EKM sungguh-sungguh memahami misteri Kristus dan sejarah keselamatan.[3] Mereka meneruskan sejarah Gereja yang berkumpul bersama untuk merayakan perjamuan Tuhan dan untuk membaca �yang tercantum tentang Dia dalam seluruh Kitab suci (Luk 24:27). Pembacaan Kitab Suci penting bagi penyelenggara EKM karena dari Kitab Suci dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; dari padanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya.[4]

Menentukan Tema
Pencarian tema memiliki jangkauan lebih jauh dari menggaulkan pesan Kitab Suci kepada orang muda. Jika pemahamannya terbatas menggaulkan pesan KS kepada mereka, penyelenggara EKM baru menggarap kemasan, belum isi. Dalam bahasa orang muda, teks EKM gaul pada sampul, tetapi jadul pada halaman-halaman isi. Sebuah tema EKM yang baik merasuki sekaligus menggerakkan seluruh bagian perayaan Ekaristi. Penyelenggara EKM mendialogkan secara mendalam teks Kitab Suci dengan konteks kehidupan orang muda berikut problematikanya untuk dapat merumuskan tema. Homili merupakan saat istimewa bagi imam dalam perayaan Ekaristi untuk mengudar tema. Imam pada satu sisi �menghubungkan bacaan-bacaan dengan Doa Syukur Agung dan pada sisi yang lain �membuat hubungan dengan kenyataan hidup sehari-hari�.[5]

Menyusun Alur
Isu besar dalam perayaan Ekaristi Kaum Muda adalah durasi penyelenggaraan. Kemampuan orang muda untuk berpartisipasi penuh dalam doa bersama terbatas. Mereka perlu menyeimbangkan kemampuan psikologis orang muda untuk berdoa bersama dan tujuan Ekaristi sebagai kebaktian kepada Allah. Mengulur-ulur waktu mudah sekali memerosokkan perayaan Ekaristi menjadi upacara yang bertele-tele.[6] Untuk mendamaikan kemampuan psikologis orang muda dan tujuan Ekaristi ini, penyelenggara menyusun alur berikut run down perayaan EKM. Untuk menjamin keharmonisan antarbagian Ekaristi, tim animasi liturgi mendampingi penyelenggara EKM dalam gladi kotor dan bersih. Tim animasi liturgi merekomendasikan beberapa usulan kepada penyelenggara EKM untuk penyempurnaan alur.

Menyusun Doa
Dalam doa, orang muda menghadap Allah. Alih-alih menghadap Allah, doa yang kurang baik justru melarikan orang muda dari kenyataan hidup.[7] Orang muda memulai doa dengan pengakuan iman akan Allah sebagai Allah. Dalam doa, mereka mengalami Allah sebagai Pribadi yang dekat.[8] Sebagaimana tuturan pemazmur, �dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu keatasku� (Mzm 139, 5). Penyelenggara EKM perlu menghindarkan diri dari menyusun rumusan doa yang formalistik. Kandungan doa berangkat dari arti Allah bagi seseorang. Ada suatu hubungan timbal balik antara doa dan pengalaman hidup. Doa tidak pernah menjadi real, kalau Tuhan tidak dialami dalam hidup yang real.[9]

Memilih Nyanyian
Penyelenggara Ekaristi Kaum Muda seyogyanya memilih lagu-lagu liturgi sederhana sehingga seluruh umat tanpa kesulitan menyanyikannya. Baik mengingat bahwa Ekaristi merupakan perayaan umat. Yang menyanyi dalam perayaan EKM adalah umat, sebagian besar orang muda, bukan paduan suara. Paduan suara memiliki tempat istimewa dalam menggerakkan dan memelopori umat dalam menyanyi. Kehadiran paduan suara yang membawakan lagu-lagu indah, bahkan bernilai kesenian tinggi, tetapi hanya mereka yang dapat menyanyikannya, menghalangi partisipasi penuh umat dalam Ekaristi.[10] Paduan suara juga perlu mengintegrasikan lagu-lagu pilihannya secara harmonis ke dalam seluruh perayaan Ekaristi. Jangan sampai nyanyian menjadi suatu pertunjukan tersendiri yang terlepas dari perayaan Ekaristi. [11]

Memilih Kesenian Liturgis
Desain banyak arsitektur gereja lama, bahkan baru, terbatas untuk ruang ekspresi iman dalam bentuk kesenian liturgis. Karena keterbatasan arsitektur gereja, sebagian penyelenggara kemudian meminimalkan, bahkan meniadakan pembacaan puisi, tarian, dan drama dari perayaan Ekaristi Kaum Muda. Menyadari pentingnya ruang ekspresi iman dalam bentuk-bentuk kesenian liturgis, sebagian gereja berinisiatif untuk merekayasa ruangan sehingga orang muda menjadi lebih mungkin mengekspresikan imannya secara penuh. Sekitar altar seringkali menjadi ruang yang mungkin untuk ekspresi iman dalam bentuk kesenian liturgis. Orang muda, yang berkomitmen menjaga kesakralan ruangan di sekitar altar, hendaknya mendapatkan izin dari imam paroki untuk mengekspresikan imannya.

Teks Ekaristi Kaum Muda
Memasukkan materi-materi tertentu dalam, apalagi mengeluarkannya dari, teks Ekaristi Kaum Muda perlu mempertimbangkan efeknya terhadap partisipasi umat. Teks merupakan bantuan bagi mereka untuk partisipasi lebih penuh dalam Ekaristi. Keterbatasan biaya memaksa sebagian penyelenggara mengeluarkan lagu-lagu dari teks Ekaristi. Peniadaan ini sangat merugikan umat karena resikonya mereka lebih pasif dalam perayaan Ekaristi dan terbatas menonton paduan suara. Jika paroki mampu menambah fasilitas pendukung di dalam gereja, penyelenggara dapat menayangkan teks dalam powerpoint yang ramah secara ekologis untuk meningkatkan partisipasi umat dalam Ekaristi. Jika paroki belum mampu menyediakannya, penyelenggara perlu mengatasi kesulitan ini dengan sesedikit mungkin mengorbankan partisipasi umat.

[1] Tom Jacobs, SJ., Misteri Perayaan Ekaristi: Umat Bertanya, Tom Jacobs Menjawab (Yogyakarta, YK: Kanisius, 1996), 139.
[2] General Instruction of the Roman Missal No. 31.
[3] Bdk. SC No. 16.
[4] SC No. 24.
[5] Tom Jacobs, SJ., Misteri Perayaan Ekaristi: Umat Bertanya, Tom Jacobs Menjawab, 64.
[6] Bdk. Tom Jacobs, SJ., 146.
[7] Tom Jacobs, SJ., Teologi Doa (Yogyakarta, YK: Kanisius, ), 12.
[8] Tom Jacobs, SJ., Teologi Doa, 13.
[9] Tom Jacobs, SJ., Paham Allah dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi (Yogyakarta, YK: Kanisius, 2002), 238.
[10] Bdk. Tom Jacobs, SJ., Misteri Perayaan Ekaristi, 164-5.
[11] Bdk. Tom Jacobs, SJ., 174.

Romo P. Mutiara Andalas, SJ
Doktor teologi lulusan Jesuit School of Theology di Santa Clara, Berkeley, Amerika Serikat. Saat ini menjadi pengajar Teologi Sosial di USD dan pengajar Pendidikan Agama untuk Kelas Internasional di UAJY.

dikutip dari:
http://www.sesawi.net/2015/07/02/menyiapkan-ekaristi-kaum-muda/

Thursday, July 23, 2015

Orang Muda Katolik (OMK) dan Liturgi

Dalam praktek, banyak kali muncul masalah pada relasi antara OMK dan liturgi (perayaan iman, ibadat). Di antara liturgi dan OMK seolah ada hubungan �enggan tapi rindu�. Di balik tema �liturgi dan orang muda�, masih bercokol prasangka laten baik terhadap Orang Muda Katolik (OMK), maupun terhadap Liturgi Gereja Katolik Roma. OMK seolah-olah suka hura-hura, semaunya sendiri, tidak bisa diatur dalam berliturgi. Sebaliknya, liturgi sering dipandang sebagai aturan sakral dan baku, seakan-akan jauh dari gelora kerinduan orang muda. Terhadap OMK, Tim Liturgi Paroki biasanya mengenakan frasa �OMK yang pragmatis, maunya serba lain�. Seakan-akan OMK diperlawankan dengan liturgi yang tak memberi ruang kebebasan ungkapan iman. Dari pihak OMK, ada pula prasangka, bahwa liturgi itu serba kaku.

Prasangka ini bisa dipahami, karena sifat umum orang muda yang masih dalam masa pertumbuhan yang pesat. Mereka sedang berkembang dalam dimensi psikologis, intelektual, seksual-hormonal, emosi, peran sosial dan iman. OMK memang sedang mengalami transformasi menuju kepribadian yang integral. Rentang masa muda yang panjang (usia 13-35 th) adalah masa distingtif, saat mencari, mempertanyakan, belajar dan mengambil keputusan. Kita yang pernah menjalani masa muda tentu merasakan bahwa saat itu merupakan saat yang sukar, menantang sekaligus menggairahkan karena penemuan-penemuan baru. Sering kali kita ingin sesuatu yang �lain dari pada yang lain� pada masa muda. Sedangkan di pihak lain, Liturgi Gereja Katolik Roma, sudah berkembang dalam 20 abad dan sering dipandang sebagai peraturan yang kaku alih-alih sebagai perayaan yang membebaskan. Padahal, potret berliturgi oleh OMK tak selamanya demikian.

Prasangka dan kecurigaan yang digeneralisasi begitu saja terhadap OMK itu tentu tidak akan memecahkan persoalan yang sering kali muncul dalam praktek penghayatan OMK terhadap liturgi. Tidak bijaksana, generalisasi mengenai OMK yang �pragmatis dan maunya serba lain� itu. Liturgi Gereja pun tidak sepantasnya diperlawankan dengan gejolak dan selera orang muda. Kenyataannya, bahwa banyak orang terpanggil menjadi kudus pada masa muda, dan panggilan kekudusan itu banyak yang bermula dari penghayatan liturgi. Kita pun tahu, Ekaristi Kaum Muda (EKM) baik yang diselenggarakan oleh paroki, maupun oleh Panitia World Youth Day yang mendatangkan Sri Paus sebagai pemimpin liturgi, selalu dipenuhi OMK dengan kerinduan mendalam. Bahkan, kelompok misa bahasa Latin yang terkesan �penuh aturan ketat� ada yang digerakkan oleh orang muda.

Memerlukan Dukungan

Seperti pada umumnya orang Katolik Indonesia, tua maupun muda, penghayatan OMK akan liturgi sebenarnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman mereka akan liturgi itu sendiri. Bahwa praktek liturgi OMK kadang-kadang membuat para penanggungjawab liturgi mengerutkan kening, bagi saya lumrah saja dalam konteks pembelajaran. Gelegak kreativitas masa muda sekaligus tingkat pengetahuan dan pengalaman OMK akan liturgi haruslah bisa dipahami dan didukung. Tak usahlah daya kreatif mereka dalam ber-liturgi dihakimi dengan sewenang-wenang seperti yang sering terdengar dari keluhan mereka. Gara-gara maunya kreatif, mereka �dikecam secara liturgis�.

Sepanjang pengalaman para pendamping, tak ada OMK yang menjadi buruk karena mau kreatif dalam merencanakan dan mengolah liturgi. Justeru sebaliknya, para aktivis kelompok-kelompok OMK yang mau proaktif , mau belajar, mau secara jujur mengusulkan berbagai kreasi dalam liturgi, dan karenanya berani mencari dan melakukan yang benar, berani mengakui kesalahan bila terjadi dan berani memperbaikinya) terbukti menjadi aktivis dengan penghayatan liturgi yang nyata dalam perilaku. Lagipula, jika OMK membuat kesalahan dalam ber-liturgi, ternyata kesalahan itu tidaklah fatal, normal saja. Kesalahan mereka pun kadang-kadang karena pengaruh kelompok kategorial yang lebih senior. Justeru kelompok-kelompok kategorial yang beranggotakan orang-orang tidak muda lagi lah yang sering bikin kesalahan fatal, dan keras kepala, bukan? Sebaliknya, biasanya dengan taat OMK mau belajar dari kesalahan. Mereka tetap gembira dan kreatif, asalkan pendamping dengan empati mau setia mendampingi, menjelaskan makna simbol dan hakikat liturgi yang kaya makna itu kepada mereka, memetakan posisi kelompok dalam lebensrauung Gereja lokal, dsb. Saya yakin, dalam kerja sama yang baik dengan pendamping itu dapatlah dihindarkan kesalahan-kesalahan fatal yang tidak perlu terjadi. Sebenarnyalah di antara Liturgi dan OMK ada hubungan batin yang saling mendukung. Liturgi menjadi ongoing formation bagi OMK. Sedangkan daya kreativitas dan gelora kemudaan OMK membuat liturgi dirayakan dengan bersemangat. Liturgi tanpa keterlibatan orang muda, merupakan tanda nyata kematian Gereja.

Liturgi Kelompok OMK

Ketika naskah ini diketik (Mei 2008-pen), kantor Youth Desk � FABC di Manila sedang mengolah survei mengenai penghayatan OMK akan Liturgi Ekaristi. Munculnya jajak pendapat untuk OMK mengenai Ekaristi ini didasari praduga bahwa kerinduan OMK akan liturgi berbanding lurus dengan pengetahuan dan pengalaman mereka ber-liturgi. Tema Liturgi Ekaristi menjadi pembahasan dalam Asian Youth Daytahun 2009 di Manila. Mengapa tema ini diagendakan? Saya menduga, di satu sisi ada kecemasan kalau-kalau Liturgi �ditinggalkan� alias �tidak laku� lagi di kalangan OMK. Liturgi disangka tidak mampu menjawab kerinduan OMK di tengah arus percepatan globalisasi yang mengasingkan OMK. Di sisi lain ada pula kecemasan kalau-kalau OMK di berbagai kelompok kategorial yang masih mau aktif ber-liturgi mulai �meninggalkan� kaidah liturgi, alias �mengikuti maunya sendiri�. Komunitas-Komunitas OMK lebih mementingkan �rasa kepuasan kelompok� dalam berliturgi dibandingkan �rasa universal� Gereja. Dua macam kecemasan itu bermuara pada dua pertanyaan atas satu kenyataan liturgi:
1. Bagaimanakah liturgi menjawab kerinduan OMK akan perasaan ditemani oleh �Yang Ilahi� di tengah arus zaman dan perubahan selera ini?
2. Bagaimanakan OMK menyadari tanggungjawab dan penghayatannya akan liturgi yang bergairah karena setia pada aturan Gereja?

Saya menemukan dua prasyarat atas jawaban pertanyaan di atas setelah mengamati beberapa komunitas OMK. Prasyarat itu adalah:
1. Jika mereka mendapatkan komunitas yang digembalakan dengan semangat berbagi dan mereka dipercaya dalam kegiatan komunitas.
2. Jika ungkapan kemudaan mereka diberi ruang dan waktu yang cukup dalam liturgi komunitas.

Pada beberapa kelompok OMK, liturgi mereka hayati sepenuh hati. Tampaknya mereka �puas� dan selalu rindu dengan liturgi komunitas mereka. Sebabnya, liturgi tak mereka lepaskan dari kehidupan komunitas kategorial mereka, dan bahwa komunitas memberi ruang dan waktu bagi karakter kemudaan mereka dalam liturgi. Ada �gembala� (pendamping/ moderator) yang secara tetap mempercayai mereka dalam kegiatan komunitas. Sang pendamping ini (imam dan biarawati/awam) mendampingi liturgi mereka dengan tak bosan mengajarkan prinsip-prinsip liturgi sesuai maksud Gereja. Beberapa kelompok OMK itu adalah: Komunitas Sant� Egidio (SE), beberapa komunitas Persekutuan Doa Karismatik Katolik (PDKK) muda-mudi, beberapa sel Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM) muda-mudi; beberapa presidium Legio Mariae (LM) muda-mudi, kelompok Imago Dei (ID), dan kelompok Doa Taize (DT). Mereka memiliki kesamaan pengalaman, bahwa perjumpaan dengan Allah dalam doa, teristimewa liturgi merupakan puncak dan sumber spiritualitas dan kegiatan komunitas.

Variasi yang Melegakan

Kelompok-Kelompok OMK itu biasa berkumpul untuk berdoa secara rutin. Pertemuan doa mereka mengikuti bukanlah liturgi karena dan karenanya memiliki variasinya masing-masing. Dalam hal ini Tata Perayaan Sabda atau Ibadat Sabda atau Doa kelompok kategorial di luar Ekaristi, adalah kegiatan non liturgis atau para liturgi atau devosi. Perayaan Sabda adalah liturgi bila dilakukan dalam Ibadat Harian dan liturgi sakramen termasuk Ekaristi yang meliputi dua bagian utama: liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Ibadat Sabda di luar liturgi atau para liturgi dan devosi tidak sangat terikat pada kaidah-kaidah liturgi. Dalam hal ini kreativitas orang muda mendapat ruang yang lebih luas dan nyaman. Sebulan atau beberapa bulan sekali mereka mengundang imam untuk merayakan ekaristi. Umumnya, mereka mengikuti aturan liturgi yang baku. KTM dan PDKK secara berkala membuat adorasi sakramen Mahakudus. Sebaiknya Adorasi Sakramen Mahakudus dibuat sebelum atau sesudah Perayaan Ekaristi, atau sebagai unsur dari Ritus Penutup Ekaristi, dan bukan di tengah liturgi Sabda atau di tengah liturgi Ekaristi. Beberapa variasi liturgi, khususnya dalam perayaan ekaristi dan adorasi, tampak paling ekstensif dalam PDKK dan KTM.

Lagu-lagu yang dipakai KTM dan PDKK sebagian besar bercorak mirip pop rohani. Ciri khas liturgi PDKK dan KTM adalah sangat ekspresif. Bernyanyi melambungkan pujian kepada Allah, sambil bertepuk tangan, mengangkat tangan, diiringi musik yang meriah. Di sini dikenal juga pencurahan Roh. Salah satu yang khas pula dalam PDKK dan KTM ialah peran pemimpin doa yang mengantar sesi-sesi lagu, doa dan firman. Dalam perayaan ekaristi, ada kesan bahwa peran imam sebagai pemimpin resmi liturgi Gereja, tenggelam oleh peran pembawa acara yang juga pemimpin doa. Ambil contoh, pengantar tobat yang dibawakan imam, sering kali masih diulang oleh pemimpin doa dengan lebih panjang. Bagaimana hal ini menjadi variasi yang tidak mengganggu? Kuncinya, dialog persiapan antara imam dan pemimpin doa. Menjadi soal jika imam tidak diajak bicara dahulu dan celakanya merasa tidak rela karena dilangkahi dalam memimpin doa. Bisa jadi saat homili menjadi saat pelampiasan ketidakpuasan imam. Namun hal ini jarang sekali terjadi dalam kelompok doa OMK. Pemimpin doa komunitas PDKK dan KTM OMK biasanya bisa bekerja sama dengan baik dengan imam pemimpin ekaristi.

Pertemuan doa DT mendaraskan mazmur dan doa singkat dalam nada sederhana dengan musik lembut dan dekorasi temaram dengan ikon salib Kristus di altar depan. Doa-doa Sant� Egidio mirip dengan DT. �Mereka biasa berdoa sebentar di depan ikon Yesus. Ini sungguh doa inklusif. Pemimpinnya tidak menempatkan diri di depan umat (di belakang altar), tetapi di depan umat. Kalau ada imam ingin berbagi atau memberi keterangan Sabda Tuhan, barulah beliau tampil di mimbar. Hal ini wajar karena pertemuan doa mereka ini bukanlah perayaan Ekaristi. Sejauh perlu, doa dilakukan �bersama� di depan ikon Yesus. Doa ini juga merupakan relativisasi di hadirat Tuhan. Orang, setelah seharian bekerja, tidak mensyukuri prestasinya atau mengumpat kegagalan hari itu, melainkan mempersembahkan seluruh perjuangan sepanjang hari kepada Tuhan, entah sukses, entah gagal, entah biasa-biasa saja. Sebetulnya cara pandang seperti ini biasa saja. Hanya saja, doa ini dikemas dalam suatu liturgi yang menyentuh hati: di depan ikon besar Yesus, dalam keredupan cahaya gereja, dengan koor satu suara, sederhana, dengan iringan organ, tapi mengantar pada keagungan Tuhan. Liturgi mereka tidak ada yang istimewa. Pengalaman mereka yang selalu dibawa dalam doa-doa harian dan misa di akhir pekan, itulah yang istimewa.

ID mengungkapkan doa bersama sebagai sarana berkomunikasi dengan Tuhan, untuk mengetahui kehendak-Nya, mendapatkan restu, serta mendapat kekuatan. Dasar kegiatan ID ialah saling menguatkan dalam doa (Gal. 6:2; Ef. 6:18-20). Suasana praise and worship bersifat fun, gembira penuh syukur. Namun jika dilakukan dalam Liturgi (misalnya Ekaristi), apapun bentuk variasi penyesuaian, hendaknya tidak timbul kesan bahwa di tengah liturgi dimasukkkan acara gembira ria yang bersifat profan. Mereka pun mencari rhema untuk minggu itu dan mengungkapkan dalam liturgi.

LM menempatkan devosi kepada Bunda Maria. Namun yang menjadi sentralnya ialah Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Semua pusat devosi, ibadat, liturgi adalah Allah: Bapa, Putra dan Roh Kudus. Maka devosi yang khusus kepada Maria itu tidak harus mengaburkan atau menghilangkan sentralnya, tetapi justru semakin mengarahkan para devosan ke sentral: ad Iesum, ad Patrem, ad Spiritum Sanctum, itu sebabnya semua orang yang berdoa rosario atau mempunyai devosi khusus kepada Bunda Maria menyalaminya sebagai Putri Allah Bapa, Bunda Allah Putra dan Mempelai Allah Roh Kudus. Per Mariam ad Iesum. Doa mereka mengikuti tatacara dalam Buku Pegangan LM. Lagu sangat minim, kalaupun ada, lagu penghormatan kepada Bunda Maria selalu dinyanyikan dengan khusuk. Kerendahan hati dan kesederhanaan menjadi pola doa kelompok ini. Doa rosario dan catena legionis diwajibkan dalam devosi mereka. Jika ada misa, doa rosario dan catena legionis wajib didoakan tetapi sebelum liturgi, sebelum Ekaristi, yang berarti di luar liturgi dan bukan di tengah liturgi. Ini sangat tepat, walaupun mungkin ada yang kurang paham lalu mendoakannya dalam liturgi. Tak banyak OMK yang terlibat dalam LM dibanding kelompok lain.

Walaupun berbeda ungkapan, namun nyatalah bahwa perasaan mereka sama-sama terangkat kepada kehadiran Yang Ilahi dan iman dimantapkan. Adanya penyesuaian dan variasi itu dirasakan melegakan OMK dalam menghayati iman akan Allah.

Liturgi yang Tergairahkan oleh Kemudaan

Apakah istimewanya liturgi orang muda? Sebenarnya tatacara liturgi mereka tidak ada bedanya dengan liturgi pada umunya. Yang istimewa adalah apa yang mereka rindukan dan cara ungkapannya. Dalam situasi pertumbuhan menuju masa depan yang tidak serba jelas, di tengah zaman yang hiruk pikuk tidak pasti, liturgi menjadi wahana ungkapan mereka. Apakah liturgi bisa menjawab kerinduan mereka? Alih-alih menunggu liturgi memuaskan mereka, maka banyak kali terjadi, mereka-lah yang berinisiatif menggairahkan liturgi sesuai desakan kuat di dalam dada untuk mengungkapkan kerinduan mereka akan Allah. Sayangnya, para penanggungjawab liturgi kadang-kadang tidak (mau) menanggapi dengan sabar. Akibatnya, gairah OMK sering dikecewakan. Yang diperlukan sekarang adalah penanggungjawab liturgi yang melibatkan OMK dalam tim liturgi, agar perencanaan doa-doa dan lagu, serta variasi lain bisa menjawab kerinduan OMK. Ada aneka warna kelompok doa OMK. Sangat bagus jika mereka dilibatkan oleh para penanggungjawab liturgi di berbagai tingkat (paroki, dekenat/kevikepan, dan keuskupan) untuk menggairahkan liturgi kita. Dengan demikian, tak kan ada lagi kecurigaan dan penilaian sepihak atas OMK seperi pada alinea pertama tulisan ini. Mereka pun merasa tersapa dan pasti belajar liturgi Katolik dengan lebih baik. Ada satu lagi potret ber-liturgi OMK walaupun sangat jarang. Yakni OMK yang tergerakkan oleh liturgi sedemikian rupa, sehingga terinspirasi untuk terjun dalam perjuangan menegakkan perdamaian dan keadilan. Mereka pun perlu dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan liturgi agar liturgi benar-benar �puncak dan sumber� hidup beriman bagi OMK.

OMK dan Musik Liturgi

Bayangkanlah suatu perayaan Liturgi Ekaristi di gedung gereja yang besar dengan ribuan OMK. Bagaimana jika tanpa musik? Nah, musik ialah salah satu kegemaran favorit OMK, sejak era zaman batu hingga era dot com ini. Namun musik Liturgi, memiliki ketentuan liturgis. Apakah OMK masih tertarik dengan musik liturgi? Atau, apakah musik liturgi masih mampu berdaya pikat terhadap OMK?

Perayaan Liturgi tidak melulu pikiran (ratio) . Liturgi selalu meliputi tata gerak dan menyangkut seluruh kekayaan cita-rasa batin yang mendorong setiap orang untuk mengungkapkannya secara lahir. Wujudnya doa, permohonan, pujian, sembah sujud, dan semacamnya. Relasi dengan Allah ialah misteri. Maka apa pun yang sulit dinyatakan dalam kata-kata, diwujudkan dalam seni yaitu musik, syair, nyanyian, lukisan, pahatan yang menembus misteri relasi Allah dan manusia. Itulah jiwa Liturgi, yaitu Allah yang selalu ingin mengkomunikasikan diri kepada manusia dan manusia yang rindu menyambut-Nya. Ungkapan itu diungkapkan oleh manusia dengan segala dimensi kemanusiaannya. Di sinilah kita tempatkan musik dan seni liturgi. Tujuan Musik Liturgi ialah kemuliaan Allah dan pengudusan manusia (Konstitusi tentang Liturgi, / Sacrosanctum Concilium, SC, 112) dan Alkitab memuji lagu-lagu ibadat (Ef 5:19; Kol 3:16)

Yang harus diketahui ialah perbedaan antara Musik / Lagu Liturgi dan Musik / Lagu Rohani Umat. Ketika ungkapan musik diwujudkan dalam perayaan Liturgi, maka kita mengenal istilah Musik/ Nyanyian Liturgi ; sedangkan ketika ungkapan musik diwujudkan dalam perayaan non-liturgi, maka kita mengenal istilah Nyanyian rohani umat (populer). Dalam Musik/Lagu Liturgi Ada 3 kekuatan yang terkandung sesuai hakikat perayaan Liturgi:
1. Dinamisme iman pribadi
2. Dinamisme misteri Allah Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus.
3. Dinamisme komunitas Gerejawi sebagai anggota Tubuh mistik Kristus.

Komponen musik Liturgi adalah ungkapan komunikasi-komunal antara saya � kita � Allah Tritunggal dalam cara yang lebih mesra dan batiniah.

Lagu / Nyanyian Rohani Umat atau Lagu Rohani Populer, tidak mengandung hakikat tiga kekuatan dinamis terebut. Musik rohani merupakan ungkapan iman personal saja, belum eklesial/Gerejawi dan sering juga tidak memperhitungkan dimensi dinamika Allah Tritunggal. Namun SC 118 mengingatkan agar nyanyian rohani umat dikembangkan secara ahli, sehingga kaum beriman dapat bernyanyi dalam kegiatan devosional dan perayaan-perayaan ibadat menurut ketentuan rubrik.

Dalam dokumen �Musicam Sacram� artikel 5 dikatakan sbb:

Sungguh, lewat bentuk ini (musik-pen), doa diungkapkan secara lebih menarik, dan misteri Liturgi, yang sedari hakikatnya bersifat hirarkis dan jemaat, dinyatakan secara lebih jelas. Kesatuan hati dicapai secara lebih mendalam berkat perpaduan suara. Hati lebih mudah dibangkitkan ke arah hal-hal surgawi berkat keindahan upacara kudus��

Apabila telah dipahami betapa luhurnya misteri yang terjadi selama perayaan Liturgi maka perlulah OMK menyadari betapa luhurnya peran musik dan nyanyian dalam Liturgi sebagai sarana komunikasi dengan yang ilahi dalam kebersamaan.

Sacrosanctum Concilium artikel 112 menyebutkan peran musik sebagai tugas pelayanan untuk mendukung ibadat kepada Allah. Paus Pius X menyebutnya sebagai umile ancella. Paus Pius XI menyebutnya sebagai serva nobilissima. P.Pius XII menyebutnya sebagai sacrae liturgiae quasi administra. Dan Konsili Vatikan II menyebutnya: munus ministeriale in dominico servitio (tugas pelayanan dalam mengabdi Tuhan).

Syarat-syarat Musik Liturgi:
Harus merupakan musik sejati menurut seni musik.
Kata-kata dan nada harus sungguh menghantar manusia kepada Allah, oleh karena itu harus berdasarkan teks Kitab Suci dan Teks Liturgi.
Harus mengungkapkan daya-daya seni dan religiositas dalam dialog dan tanda-tanda simbolik lainnya selama berlangsung perayaan, di mana Allah dimuliakan dan umat beriman dikuduskan.

Maka Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan upacara Ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. Gereja menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan Liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam Ibadat kepada Allah (SC 112).

Ekaristi untuk Orang Muda

Actio Pastoralis, instruksi Kongregasi Ibadat mengenai �Misa untuk kelompok-kelompok khusus� 15 Mei 1969 menyatakan �Gereja sangat menganjurkan penyelenggaraan Misa untuk berbagai kelompok dalam paroki baik territorial maupun kategorial sebab mempunyai dampak lebih mendalam terhadap penghayatan hidup kristiani, saling mendukung dalam perkembangan hidup rohani dan kesaksian iman�.

Untuk itu diperlukan berbagai penyesuaian, yang dapat dibagi dalam dua kategori:
1. penyesuaian akomodatif
2. penyesuaian inkulturatif

Akomodatif maksudnya penyesuaian dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan budaya setempat misalnya: bacaan, nyanyian, cara berkomunikasi, tata-gerak ritual, dramatisasi, tarian, dll. Misa Orang Muda perlu banyak penyesuaian sesuai dengan jiwa mereka agar sungguh berdaya-guna bagi hidup mereka, namun mengindahkan kaidah liturgi.

Inkulturatif maksudnya unsur-unsur budaya setempat di mana dituntut studi yang mendalam mengenai unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan untuk membantu kelompok-kelompok masyarakat tertentu dalam penghayatan iman mereka.

Harapan
Semoga dengan demikian musik dan lagu liturgi menyemarakkan cita rasa batin yang terdalam dari OMK. Musik yang dipakai dalam liturgi haruslah yang menjunjung rasa hormat sembah bakti dalam memuliakan Allah, dan membuat OMK sadar dan aktif dalam liturgi.

*****

Yohanes Dwi Harsanto Pr (Sekretaris Eksekutif komisi Kepemudaan KWI) Ditulis di Maumere, 24 Mei 2008, saat bersama OMK Regio Nusa Tenggara.

Terima kasih kepada para teman berbincang: Rm Y Subagyo Pr, Sdr Hanny, Sdr Ari, Rm Ruki SJ, Rm Deshi SJ, Rm Yumar SJ, Sdr Xaxa, Mas Felix. Tulisan di atas sudah pernah dimuat di Majalah Liturgi, Komisi Liturgi KWI, tahun 2008. Terima kasih atas ide dan masukan dari Rm Bosco Da Cunha O.Carm (Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI) mengenai OMK dan Musik Liturgi, yang membuat makalah ini makin lengkap. Makalah ini pernah dimuat di Majalah LITURGI, terbitan Komisi Liturgi KWI, 2008.

Terima kasih kepada Romo Boli Ujan SVD, mantan sekretaris eksekutif Komisi Liturgi KWI turut membantu penyempurnaan artikel ini.


dikutip dari http://www.katolisitas.org/7805/orang-muda-katolik-omk-dan-liturgi

Wednesday, July 22, 2015

EKM : Emang Kamu Misa?

Biasanya, setiap mendengar kata EKM kita langsung berpikir soal Ekaristi Kaum Muda. Hmmm� Emangnya ada Ekaristi Kaum Tua atau Ekaristi Anak-anak?

EKM biasanya menjadi perayaan Ekaristi yang digemari oleh anak muda (mungkin juga ada orang tua yang suka). Umumnya dalam perayaan Ekaristi Kaum Muda tata perayaannya dibuat berbeda. Katanya menurut selera orang muda: tarian, musikalisasi puisi, visualisasi cerita kitab suci atau drama hidup sehari-hari, dengan iringan kor maupun band, dengan bintang tamu dan simbol-simbol orang muda. Hal ini ditempuh untuk membantu orang muda berjumpa dengan Yesus dalam perayaan Ekaristi.

Sejauh saya mengerti dan paham hanya ada satu Ekaristi, yaitu Ekaristi yang kita rayakan setiap hari minggu atau hari biasa yang sesuai dengan petunjuk TPE. Yang membedakan adalah intensi atau ujudnya saja. Ekaristi yang satu itu sifatnya perayaan resmi Gereja. Karena sifatnya yang resmi itulah Gereja membuat aturan-aturan untuk memastikan bahwa Ekaristi itu sah dan valid.

Emangnya dengan tata perayaan yang katanya dibuat sesuai selera kaum muda itu, Anda (kaum muda) merayakan misa? Gereja yang kudus mengajarkan dengan teramat jelas mengenai hakekat perjumpaan atau kehadiran Yesus dalam liturgi. Ajaran Gereja ini dengan mudah akan kita jumpai jika kita berani dan mau membuka dokumen Konsili Vatikan II, khususnya SC. Konstitusi tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, menjelaskan bahwa Kristus selalu hadir dalam diri umat beriman yang sedang berliturgi. Sebab, dalam setiap kegiatan liturgi, kita berkumpul dalam nama Kristus untuk merayakan karya keselamatan Allah. �Dalam karya seagung itu, saat Allah dimuliakan secara sempurna dan manusia dikuduskan, Kristus selalu menggabungkan Gereja, Mempelai-Nya yang terkasih, dengan diri-Nya� (SC 7).

Oleh karena itu, marilah dalam setiap kegiatan liturgi, kita selalu menyadari bahwa Tuhan hadir dalam komunitas atau kebersamaan kita. Dengan kesadaran ini, tentu setiap perayaan liturgi akan kita persiapkan dan kita hayati dengan sungguh-sungguh. Akhirnya, liturgi yang kita hayati dengan sungguh-sungguh ini akan mengalirkan rahmat yang melimpah sehingga kita sehati sejawa dalam kasih dan dapat mengamalkan iman kita dalam kehidupan sehari-hari (SC 10).

Konstitusi Liturgi juga menyatakan: �Kristus hadir dalam kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan �karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan diri di kayu salib�, maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi� (SC 7). Betapa agung dan mulianya Kristus yang berkenan hadir di tengah kita umat-Nya melalui diri para pastor atau pelayan Misa ini. Itulah sebabnya, saat memimpin Misa seorang imam benar-benar sedang menjadi alter Christus (Kristus yang lain). Karena Kristus hadiri dalam diri imam saat memimpin Misa itulah, umat berdiri saat imam masuk, atau para petugas menundukkan kepala kepada imam selebran sebelum bertugas.

Kiranya dapat dikatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi Kristus sendiri hadir dan menjumpai kita. Luar biasa kan? Nah, perayaan Ekaristi sendiri ya mulai dari awal sampai akhir. Mulai dari ritus pembuka sampai ritus penutup. Jika sudah demikian luar biasa ajaran Gereja, masihkah kita menggunakan argumen �untuk membantu umat berjumpa dengan Tuhan� sebagai pembenaran atas utak atik tata perayaan Ekaristi? Jangan-jangan, �kita melihat namun tidak percaya�. Artinya Kristus jelas hadir tetapi tidak mampu kita lihat. Kristus ada namun kita malah sibuk mencari cara untuk menghadirkan Yesus. Wong sudah hadir kok masih dicari-cari dengan cara ini dan itu.

Gereja mengajarkan bahwa �Kristus hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja� (SC 7). Ajaran ini kembali ditegaskan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 1088. Mengingat agung dan luhurnya kehadiran Tuhan dalam Sabda-Nya, Instruksi Redemptionis Sacramentum menegaskan, �Tidak juga diperkenankan meniadakan ataupun menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang sudah ditetapkan, atas inisiatif sendiri, apalagi �mengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci� (RS 62). Jelas kan bahwa Yesus hadir dalam sabda-Nya? Lha kok masih berani-beraninya kita mencari-cari kehadiran Yesus dalam sabdaNya itu dengan membuat injil tandingan yang terwujud dalam visualisasi. Teks Injil yang demikian agung justru kita gantikan dengan visualisasi atau drama. Bacalah dan pahamilah, wahai rekan-rekan muda.

Masih ada contoh lain. Konstitusi Liturgi artikel 7: �Kristus hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur, karena Ia sendiri berjanji: Bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka (Mat 18:20)�. Konstitusi Liturgi menunjuk bahwa Tuhan hadir saat Gereja memohon dan bermazmur. Jelas kan jika Yesus hadir ketika umat-Nya sedang berdoa? Tapi coba kita lihat apa yang terjadi pada saat EKM? Ada lho yang selama perayaan Ekaristi malah sibuk dengan SMS atau BBM. Ada yang tidak peduli dengan apa yang terjadi, yang penting bisa menerima komuni.

Ketika omong soal perjumpaan, kita itu ngomong soal sesuatu yang ada dalam diri kita. Kita berbicara soal disposisi batin. Cobalah rekan-rekan muda bertanya bagaimana simbah-simbah kita dahulu menyiapkan diri untuk merayakan Ekaristi. Ada lho yang rela berjalan jauh selama berjam-jam dengan kondisi perut lapar karena berpuasa. Itu semua untuk apa? �Supaya pantas menerima Kristus� adalah jawaban yang sering terdengar. Bagi saya ini jelas: disposisi batin memudahkan kita untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan.

Tanpa disposisi batin yang tepat, Ekaristi hanyalah sebuah tontonan. Kita tinggal duduk menikmati drama visualisasi Injil; mendengarkan salah satu penyanyi yang disorot kamera dan ditampilkan di layar sembari bergumam: �suarane apik yo�, �penyanyine ayu tenan�; atau ritus-ritus lain yang diciptakan untuk �membantu umat bertemu dengan Tuhan�. Atau terserah mau ngapain yang di dalam gereja, yang penting saya bisa terima komuni.

Disposisi batin yang tepat akan membawa kita sampai kepada keterlibatan yang sadar dan aktif. Ada yang bilang, �Kalau gak ada keterlibatan, ya sebetulnya gak ada perayaan syukur bersama, dan kalau gak ada perayaan syukur bersama, berarti imamnya doang yang �bikin misa�. Sejauh mana kita mengartikan keterlibatan? Memberikan kesaksian tentang kegelisahan hidup pada saat ritus tobat? Ikut menjadi pemain dalam visualisasi Injil? Berjabat tangan dengan orang-orang yang ada di gereja?

Kita akan bisa terlibat secara sadar dan aktif dalam berliturgi ketika kita sungguh mengerti dan paham apa yang dimaksudkan oleh Gereja. Seluruh ritus yang ada disusun sedemikian rupa sehingga membantu umat untuk semakin menyadari bahwa Perayaan Ekaristi adalah perayaan iman yang didalamnya kita merayakan karya keselamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus dalam Roh Kudus. Dengan mengerti dan memahami makna dari ritus-ritus yang ada, saya yakin kita akan mampu menghayatinya dengan sikap batin yang luar biasa. Ketika kita mampu melakukan dan menghati ritus-ritus itu, itulah keterlibatan yang sadar dan aktif. Masing-masing menempatkan diri seturut peran dan fungsinya.

Akhirnya, jika kita sungguh-sungguh menghayati liturgi dan Ekaristi dengan segala kekayaan maknanya seperti dikehendaki Gereja, kita tentu dikobarkan untuk mengamalkan pengalaman doa atau Ekaristinya itu dalam hidup dan tingkah laku sehari-hari. Pergilah kita diutus! Dan dengan semangat 45 kita menjawab amin.

Namun, kita sering membenturkan Ekaristi dan perutusan. Kita menganggap Ekaristi tidak menggerakkan orang muda untuk terlibat dalam kehidupan. Lalu, yang diutak-atik adalah liturgi. Sungguh, saya tersenyum kecut ketika menjumpai pandangan seperti itu. Gereja jelas mengajarkan: �Liturgi mendorong umat beriman supaya sesudah dipuaskan �dengan sakramen-sakramen Paskah menjadi sehati sejiwa dalam kasih�. Liturgi berdoa, supaya �mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman�.� Jika kita belum tergerak untuk mengamalkan, maka persoalan ada pada hidup kita sendiri, bukan pada liturginya. Jika kita mengeluarkan kritikan: terlalu memperhatikan liturgi dan lupa pada praksis hidup, mengapa kita justru menghabiskan banyak waktu untuk mengutak-atik liturgi?

Saya yakin, ketika kita mampu menghayati liturgi dengan baik, rahmat itu akan menjadi daya dorong dan daya ubah untuk hidup kita. Jika belum, mari kita bertanya pada diri kita sendiri: Emang Kamu Misa? Atau jangan-jangan, sepertinya kita misa namun sejatinya Eh, Kita Menonton. Lha kalau nonton ya jangan berpikir soal daya ubah dan keterlibatan dalam kehidupan. Menonton itu puasnya ya ketika nonton. Bisa ampe nangis atau dengan semangat memberikan tepuk tangan. Sesudahnya?

Sumber: Komisi Liturgi KAS.

Dikutip dari: http://santoantonius.blogspot.com/2014/05/ekm-emang-kamu-misa.html

Etika dalam Merayakan Ekaristi

Pada hari-hari ini di berbagai media sosial dikejutkan dengan Ekaristi Kaum Muda, yang dikemas dengan pertunjukkan drama di depan altar, atau lebih tepatnya di area panti imam, dengan menampilkan anak-anak muda mengenakan busana tak pantas (perempuan: mengenakan hot pants). Sebenarnya sudahkah kita mengerti apa itu altar? Altar Katolik merupakan sebuah altar pengorbanan. Mengapa Altar dihormati? Altar dihormati karena altar melambangkan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Tuhan yang telah wafat dan bangkit akan hadir di atas altar dan dari meja ini Dia akan memberikan diri-Nya kepada umat beriman dalam rupa makanan dan minuman ekaristis.

PUMR, 296 merumuskan
Altar merupakan tempat untuk menghadirkan kurban salib dengan menggunakan tanda-tanda sakramental. Sekaligus altar merupakan meja perjamuan Tuhan, dan dalam Misa umat Allah dihimpun di sekeliling altar untuk mengambil bagian dalam perjamuan itu. Kecuali itu, altar merupakan juga pusat ucapan syukur yang diselenggarakan dalam Perayaan Ekaristi.

Altar secara tradisional terbuat dari batu, mengingatkan Kristus sebagai landasan hidup dari iman Katolik:

Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. (Ef 2:19-20)

Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah. Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah. Sebab ada tertulis dalam Kitab Suci: "Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal, dan siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan." (1Ptr 2:4-6)

Tepat untuk memiliki sebuah altar tetap di setiap gereja, karena itu lebih jelas dan permanen menandakan Yesus Kristus, batu hidup.

PUMR 298 dan 301 menerangkan:
- Sangat diharapkan agar dalam setiap gereja ada satu altar permanen, karena altar seperti ini secara jelas dan lestari menghadirkan Yesus Kristus, Sang Batu Hidup ( I Ptr 2:4; bdk Ef 2:20 ). Tetapi di tempat-tempat lain yang dimanfaatkan untuk perayaan liturgi, cukup dipasang altar geser.

Suatu altar disebut altar permanen kalau dibangun melekat pada lantai sehingga tidak dapat dipindahkan; altar disebut altar geser kalau dapat dipindah-pindahkan.

- Seturut tradisi Gereja, dan sesuai pula dengan makna simbolis altar, daun meja untuk altar permanen harus terbuat dari batu, bahkan dari batu alam. Tetapi Konferensi Uskup dapat menetapkan bahwa boleh juga digunakan bahan lain, asal sungguh bermutu, kuat, dan indah. Sedangkan penyangga atau kaki altar dapat dibuat dari bahan apapun, asal kuat dan bermutu.

Altar geser dapat dibuat dari bahan apapun asal, menurut pandangan masyarakat setempat, bermutu, kuat, dan selaras untuk digunakan dalam liturgi.

Kembali ke dalam persoalan awal, perlu dicatat bahwa Gereja adalah tempat kudus. Dari kata Ibrani 'Qadosh', artinya dikhususkan, bukan hal yang generik disama-ratakan dengan tempat lain pada umumnya. Panti Imam adalah area utama di mana dilangsungkan tindak liturgis dan di mana ditempatkan ketiga perabot utama: sedelia (kursi pemimpin), mimbar dan meja altar. Panti Imam dirancang tidak untuk pentas atau pertunjukan drama), Panti Imam juga disebut sanctuarium, yang artinya kudus.

Ketika mengunjungi tempat kudus, sudah selayaknya berpakaian dengan pantas dan sopan, terlebih apabila memasuki Panti Imam.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa cara berpakaian yang sopan merupakan bagian dari kebajikan kemurnian, demikian:

KGK 2521 Kemurnian menuntut sikap yang sopan/ bersahaja. Ini adalah bagian hakiki dari pengekangan diri. Sikap yang sopan/ bersahaja memelihara hal-hal pribadi manusia. Ia menolak membuka apa yang harus disembunyikan. Ia diarahkan kepada kemurnian yang perasaan halusnya ia nyatakan. Ia mengatur pandangan dan gerakan sesuai dengan martabat manusia dan hubungan di antara mereka.

KGK 2522 Sikap sopan/ bersahaja melindungi rahasia pribadi dan cinta kasihnya. Ia mengundang untuk bersabar dan mengekang diri dalam hubungan cinta kasih; ia menuntut, bahwa prasyarat-prasyarat untuk ikatan definitif dan penyerahan timbal balik dari suami dan isteri dipenuhi. Dalam sikap sopan itu termasuk pula kerendahan hati. Ia mempengaruhi pemilihan busana. Di mana ia mengira bahwa ada bahaya sikap ingin tahu yang tidak sehat, di sana ia berdiam diri dan bersikap hati-hati. Ia menjaga keintiman orang lain.

KGK 2523 Ada sifat sopan/ bersahaja dalam perasaan dan terhadap badan. Sifat ini menentang, misalnya terhadap penyalahgunaan tubuh manusia yang �voyeuristik� dalam iklan tertentu atau terhadap tuntutan media-media tertentu, sehingga berlangkah terlampau jauh dalam membuka bagian-bagian yang sangat intim. Sikap sopan menggerakkan satu tata hidup, yang berlawanan dengan paksaan mode dan desakan dari ideologi yang berlaku.

KGK 2524 Bentuk ungkapan sikap sopan ini berbeda dari kultur ke kultur. Tetapi di mana-mana terkandung gagasan mengenai martabat rohani yang khas untuk manusia. Ia tumbuh melalui tumbuhnya kesadaran pribadi. Mendidik anak-anak dan kaum remaja dalam sikap sopan/ bersahaja ini berarti membangkitkan hormat terhadap pribadi manusia.

KGK 2533 Kemurnian hati menuntut sikap yang sopan/ bersahaja, yang terdiri dari kesabaran, kerendahan hati, dan perasaan halus. Sikap yang sopan/ bersahaja melindungi keintiman seseorang.

Patut disesalkan diadakannya drama di area panti imam. Altar merupakan tempat yang sentral dalam bangunan Gereja dan pada panti imam. Sudah sejak Gereja Perdana, altar memiliki tempat dan martabat yang sentral dalam Perayaan Ekaristi. Santo Paulus menyebutnya sebagai "meja Tuhan" (1Kor 10:21). Norma liturgi mengatur tata gerak para petugas liturgi kalau di panti imam ada tabernakel dengan Sakramen Mahakudus di dalamnya, maka imam, diakon dan pelayan-pelayan lain selalu berlutut pada saat mereka tiba di depan altar dan pada saat akan meninggalkan panti imam. Tetapi, dalam Misa sendiri mereka tidak perlu berlutut" (PUMR 274).

Pelanggaran berat meliputi berbagai tindakan atau hal yang membahayakan sahnya serta keluhuran Ekaristi Mahakudus, meski untuk menilainya harus juga digunakan ajaran umum Gereja dan norma-norma yang telah ditetapkan. Instruksi Redemptionis Sacramentum No. 173 mencatat dan mendaftar macam-macam hal yang dipandang sebagai pelanggaran berat, yakni tindakan yang bertentangan dengan apa yang diuraikan dalam Instruksi tersebut pada nomor 48-52, 76-77, 91-92, 94, 96, 101-102, 104, 106, 109, 111, 115, 117, 126, 131-133, 138, 153 dan 168. Penyelewengan-penyelewengan lain: Berbagai perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan lain, yang dibahas di lain tempat dalam Instruksi Redemptionis Sacramentum atau dalam norma-norma yang tercantum dalam hukum (RS 174). Setiap orang harus menjamin bahwa Sakramen Mahakudus harus terlindung dari segala pencemaran dan dari setiap nista (RS 183). Setiap orang beriman Katolik berhak untuk melaporkan tentang pelanggaran di bidang liturgi kepada uskup diosesan atau ordinaris. Namun, semua itu harus dibuat dengan kebenaran dan dalam semangat cinta kasih (RS 184). Gereja memberikan aturan-aturan, bukan untuk membatasi atau membelenggu, melainkan untuk menjaga supaya iman yang diwariskan itu tetap terjaga. jika demikian, siapa yang kemudian akan kita ikuti: Gereja atau keinginanku/komunitas untuk melakukan ini dan itu? Hendaklah kita sekalian juga tidak jatuh dalam dosa kelalaian dengan tidak mewartakan apa yang baik dan benar ini.

Sumber:
http://santoantonius.blogspot.com/2015/05/etika-dalam-merayakan-ekaristi.html

Tuesday, July 21, 2015

Menyelaraskan Devosi dengan Liturgi

Malam itu, tas Pastor Bernard Boli Ujan SVD hilang. Isinya beberapa barang berharga, termasuk kamera. Lena Abdi, pemandu acara, meminta peserta yang mengetahui agar mengembalikan barang itu.

Esok paginya, ternyata tas itu sudah kembali utuh ke tangan pemiliknya. Itu karena devosi kepada Santo Antonius dari Padua. Orang bisa saja mengatakan peristiwa itu hanya kebetulan. Tetapi, hal yang kebetulan ini menjadi bukan hal biasa bagi orang-orang yang setiap hari berkutat mengenai devosi dan liturgi.

Lebih dari 100 orang perwakilan Komisi Liturgi dari 37 keuskupan se-Indonesia, para dosen liturgi se-Indonesia, pengurus Komisi Liturgi KWI, memperbincangkan devosi yang dirasakan semakin kebablasan. Mereka berkumpul untuk mencari cara bagaimana umat Katolik bisa kembali menghormati liturgi yang merupakan puncak iman Katolik.

Graha Wacana, sebuah tempat pertemuan milik SVD di Ledug, Prigen, menjadi tempat mereka berkumpul pada medio Juli lalu. Tempat berhawa sejuk di wilayah Keuskupan Malang itu menjadi saksi bisu pertemuan nasional lima tahunan Komisi Liturgi seluruh Indonesia tersebut.

Melalui bimbingan para pakar di bidang liturgi, spiritualitas, dan Kitab Suci, peserta mengembalikan porsi devosi dan liturgi seperti semula. Para pakar tersebut adalah Pastor Bernardus Boli Ujan SVD, Pastor Gerardus Majella Bosco da Cunha OCarm, Pastor Agustinus Lie CDD, Pastor Thomas Aquino Deshi Ramadhani SJ, dan Pastor Jacobus Tarigan Pr.

Peserta pertama-tama diajak untuk menelaah hasil penelitian yang dilakukan Komisi Liturgi KWI untuk menjajaki sejauh mana devosi berkembang di antara umat di seluruh Tanah Air. Pastor Christophorus Harimanto Suryanugraha OSC, Ketua Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia yang menjadi Ketua Panitia Pengarah, membeberkan hasil penelitian. Berpijak pada empat pertanyaan yang diajukan kepada Komisi-Komisi Liturgi dari 37 keuskupan, jawaban yang kembali memperlihatkan betapa devosi yang berkembang pada masyarakat Katolik sudah begitu marak.

Beraneka ragam

Pertanyaan-pertanyaan itu meliputi jenis devosi dan kesalehan umat di masing-masing keuskupan; motivasi yang mendasari praktik devosi dan kesalehan tersebut; hal-hal positif dari kegiatan dan penghayatan devosi; dan permasalahan yang muncul akibat dari devosi dan kesalehan umat tersebut.

Dari 33 keuskupan yang memberikan jawaban, ternyata ditemukan sedikitnya 55 jenis/bentuk dan kelompok umat yang berdevosi kepada pribadi-pribadi kudus seperti Allah Bapa, Yesus, Maria, orang kudus, dan jenis devosi lain. Tampak ada jenis devosi yang unik, seperti Ikatan Tenaga Dalam Murni, Misa Ayam Berkokok, dan Lucernarium.

Motivasi yang mendorong umat berdevosi juga bermacam-macam. Mulai dari keperluan pribadi sampai kepentingan masyarakat. Dari melanjutkan kebiasaan dalam keluarga sampai melanjutkan pengembangan devosi dari daerah asal misionaris. Tapi, ada juga yang hanya ikut-ikutan dan sekadar ingin tahu.

Apa pun alasan umat berdevosi, ternyata muncul dampak positif yang membawa angin segar dari segi iman umat. Dampak positif ini meliputi hidup eklesial, hidup spiritual, hidup sosial, dan hidup individual. Mulai dari perubahan hidup menjadi tahan menderita sampai muncul semangat bela rasa.

Namun, ibarat dua sisi mata uang, tetap muncul permasalahan berkaitan dengan sikap berdevosi umat. Masalah yang muncul meliputi adanya perpecahan, karena sebagian umat belum menerima kehadiran kelompok devosi, hirarki/paroki kurang mendampingi dan/atau tidak peduli terhadap praktik devosi yang dianggap meresahkan, devosi dalam liturgi menggeser peran utama Yesus, pemahaman yang keliru sehingga jatuh pada takhyul dan mencari kesaktian jimat, penekanan berlebihan pada aspek emosional (doa penyembuhan), praktik liturgi digunakan sembarangan dalam devosi, dan ada pribadi tertentu yang giat berpromosi untuk suatu devosi yang belum jelas statusnya.

Sekolah iman

Proses diskusi dimulai oleh pembicara pertama, Pastor Bosco da Cunha OCarm. Ia memberikan materi �Liturgi dan Devosi�. Menurut lulusan Lisensiat Liturgi San Anselmo Roma ini, devosi mengandung komitmen untuk setia bakti dalam semangat cinta kepada �Yang di Atas� sampai mati. Sedangkan liturgi merupakan suatu kegiatan memuliakan keagungan Allah Tritunggal yang Mahakuasa.

Peserta mengungkapkan beberapa tren yang muncul. Misalnya, di Keuskupan Denpasar banyak orang menikah di hotel atau pantai, tetapi jarang yang menikah di gereja. Atau di Keuskupan Timika, umat biasa mengadakan Perayaan Ekaristi di rumah adat yang menjadi rumah tinggal keluarga. Diakui, orang lebih menghargai devosi daripada liturgi.

Pembicara kedua, Pastor Deshi Ramadhani SJ mengajak peserta memfokuskan diri pada devosi Katolik Roma. Dengan makalahnya, �Membangun Teologi Biblis tentang Devosi Katolik Roma�, doktor Teologi Suci dari Sekolah Tinggi Yesuit Berkeley, California AS ini menekankan bahwa devosi berarti sesuatu yang mengalir dari sebuah janji. Dalam devosi ada paradoks. Penghayatan relasi dengan Allah sebagai Pribadi yang sangat tinggi (hubungannya tidak setara), tetapi sekaligus sangat dekat dengan manusia.

Berdasarkan hasil survei, menurut pakar Kitab Suci ini, tampak dalam devosi ada unsur permohonan, unsur pembentukan kesalehan, tegangan antara pengalaman dan format, dan tegangan antara publik(asi) dan pribadi.

Ia banyak melemparkan pertanyaan kritis untuk �menggedor� pemikiran peserta agar tidak terjebak pada hal-hal yang baku, tetapi juga membuka mata untuk hal-hal personal seperti unsur �kegilaan� (madness) seperti yang dilakukan Hana dalam Perjanjian Lama.

Sedangkan Pastor Agustinus Lie CDD membahas devosi dan liturgi dengan lebih menekankan pada waktu, subjek kultus, dan tempat devosional. Dosen Liturgi di STFT Widya Sasana Malang ini banyak mendapat pertanyaan mengenai liturgi yang sudah berinkulturasi dengan budaya Tionghoa. Pertanyaan mengenai tempat hio yang diletakkan berdampingan dengan patung Maria dan salib Yesus, atau keluarga yang menolak mengadakan Misa karena di rumah tersebut terdapat tempat sembahyang dewa-dewi, menjadi bahan pembicaraan.

Omong Kosong!

Setelah peserta mendapatkan pemahaman mengenai perbedaan antara devosi dan liturgi, Pastor Bernardus Boli Ujan SVD mengajak untuk melihat kemungkinan penyerasian antara keduanya. Dengan makalah �Kesalehan Umat dan Liturgi, Kemungkinan Penyerasian�, doktor Liturgi lulusan San Anselmo Roma ini mengungkapkan beberapa contoh upaya penyelarasan antara devosi dan liturgi.

Narasumber terakhir, Pastor Jacobus Tarigan Pr, menghentak peserta dengan mengatakan bahwa semua pembicaraan yang berlangsung itu sebenarnya tidak perlu! Lulusan Lisensiat Teologi Spiritualitas Universitas Gregoriana Roma ini mengeluarkan makalah �Spiritualitas Devosi Menuju Hakikat Liturgi�.

Ia mengajak peserta untuk meneladan sikap Bunda Teresa dari Kolkata. Beata ini menjadikan Ekaristi sebagai sumber kekuatan, berdevosi kepada Sakramen Mahakudus, berdoa rosario secara penuh, membaca Litani Santa Perawan Maria dan Litani Orang Kudus. Tetapi, yang lebih penting, ia melakukan karya nyata, memberikan sentuhan kasih kepada orang-orang yang menghadapi ajal. Bunda Teresa dan para susternya mengantarkan Tuhan ke dalam hidup orang-orang tersebut dan mengantarkan mereka kepada Tuhan.

Dosen Luar Biasa Liturgika di STF Driyarkara Jakarta ini mengingatkan, praktik ziarah dan novena yang bergandengan tangan dengan turisme perlu diwaspadai. �Misalnya, para pemilik toko devosionalia di Lourdes membuat patung dan rosario dengan sekian banyak variasi, bukan karena cinta mereka akan Maria, tetapi karena mereka mengharapkan bertambahnya rezeki lewat peziarahpeziarah,� ujarnya mengutip Jan van Paassen MSC dalam �Devosi dan Deviasi� (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2007).

Apa yang dibicarakan dalam pertemuan nasional ini tidak ada artinya kalau tidak ada tindak lajutnya. Kita nantikan angin perubahan yang terjadi pada umat dalam berdevosi.

Sylvia Marsidi - See more at: http://www.hidupkatolik.com/2011/09/20/menyelaraskan-devosi-dengan-liturgi#sthash.yKxVlyaq.dpuf

Sunday, July 19, 2015

Sakramen Imamat

Berkat Sakramen Pembaptisan, semua orang diikutsertakan dalam Imamat Kristus. Namun berkat Sakramen Imamat atau Sakramen Tahbisan, orang beriman "atas caranya yang khas mengambil bagian dalam Imamat Kristus" dan "diarahkan satu kepada yang lain", walaupun "berbeda dalam kodratnya" (LG 10), untuk mengembangkan rahmat Pembaptisan dalam penghayatan iman, harapan dan cinta, dalam hidup sesuai dengan Roh Kudus.

Sakramen Imamat diterima oleh seseorang sekali seumur hidup. Dengan sakramen ini maka seorang manusia diangkat untuk mengabdikan hidupnya sebagai citra Kristus. Gereja menyatakan ini dengan berkata bahwa seorang imam, berkat Sakramen Tahbisan, bertindak "atas nama Kristus, Kepala" [in persona Christi capitis]. Menjadi konfigurasi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup setempat, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi. Hanya uskup yang boleh melayani sakramen ini.

Imamat ini adalah satu pelayanan. "Adapun tugas yang oleh Tuhan diserahkan kepada para gembala umat-Nya itu, sungguh-sungguh merupakan pengabdian" (LG 24). Ia ada sepenuhnya untuk Allah dan manusia. Ia bergantung seutuhnya dari Kristus dan imamat-Nya yang satu-satunya dan ditetapkan demi kesejahteraan manusia dan persekutuan Gereja. Sakramen Tahbisan menyampaikan "satu kuasa kudus", yang tidak lain dari kuasa Kristus sendiri. Karena itu, pelaksanaan kuasa ini harus mengikuti contoh Kristus, yang karena cinta telah menjadi hamba dan pelayan untuk semua orang.

Tiga Jenjang Tahbisan:
Pelayanan Gereja yang ditetapkan oleh Allah dijalankan dalam berbagai pangkat oleh mereka, yang sejak kuno disebut Uskup, Imam, dan Diaken (LG 28). Ajaran iman Katolik yang dinyatakan dalam liturgi, dalam magisterium dan dalam cara bertindak Gereja yang berkesinambungan, mengenal dua jenjang keikutsertaan dalam imamat Kristus; episkopat dan presbiterat. Diakonat mempunyai tugas untuk membantu dan melayani mereka. Karena itu istilah "sacerdos" dalam pemakaian dewasa ini menyangkut uskup dan imam, tetapi bukan diaken.

Meskipun demikian ajaran iman Katolik mengajarkan bahwa ketiga jenjang jabatan; kedua jenjang imamat (episkopat dan presbiterat) dan jenjang jabatan pelayanan (diakonat), diterimakan oleh satu kegiatan sakramental, yang dinamakan "penahbisan", artinya melalui Sakramen Tahbisan.

Pentahbisan uskup merupakan kegenapan sakramen Imamat. Menjadikannya anggota badan penerus (pengganti) para rasul dan memberi misi untuk mengajar, menguduskan, dan menuntun, disertai kepedulian dari semua Gereja.
Orang-orang yang berkeinginan menjadi imam dituntut oleh Hukum Kanonik (Kanon 1032 dalam Kitab Hukum Kanonik) untuk menjalani suatu program seminari yang selain berisi studi filsafat dan teologi sampai lulus, juga mencakup suatu program formasi.

Sumber:
http://www.komkepbandung.com/detail-isi-artikel/523-sakramen-imamat/

Saturday, July 18, 2015

Sakramen Minyak Suci

Mengapa Sakramen Minyak Suci atau Sakramen Pengurapan Orang Sakit itu Perlu?
Dengan pengurapan orang sakit, Gereja dalam keseluruhannya menyerahkan si sakit kepada kemurahan Tuhan, agar Ia menguatkan dan meluputkannya. Jika si sakit telah melakukan dosa, maka dosanya itu diampuni. "Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni"(bdk Yak 5:15).

Dalam bahaya maut, pengurapan orang sakit menguatkan manusia dalam menghadapi perjuangan terakhir dan menghantarnya kepada persatuan dengan Tuhan, yang melalui kematian telah masuk ke dalam kehidupan.

Bilamana Sakramen Pengurapan Orang Sakit Diberikan?
Sakramen Pengurapan Orang Sakit perlu diterima tiap saat penyakit memuncak menjadi gawat, yang menimbulkan keadaan jasmani manusia sangat mencemaskan.

Siapa yang Menerima Sakramen Pengurapan Orang sakit?
Penerima pengurapan ini ialah setiap orang beriman yang karena penyakit atau karena usia lanjut, berada dalam keadaan yang mengancam keselamatan nyawanya. Pengurapan dapat diulangi jika keadaan tersebut timbul kembali atau jika timbul satu kemelut yang lebih berat.

Kepada orang-orang tua yang sudah sangat lemah dapat diterimakan sakramen ini, meskipun tidak timbul keadaan sakit yang gawat. Juga anak-anak dapat menerima pengurapan, jika mereka sudah mencapai tahap penggunaan akal, sehingga mereka dapat mengalami penguatan dari sakramen pengurapan. Orang-orang sakit yang tak sadar lagi atau yang kehilangan penggunaan akal sehat, dapat menerima pengurapan, jika sewaktu dalam keadaan sehat mereka pernah menyatakan keinginannya untuk menerima sakramen ini.

Bagaimana jika si Sakit Meninggal Sebelum Imam Datang? Dapatkah Sakramen Diberikan?
Jika saat ajal sudah tiba sebelum imam datang, maka baginya diucapkan doa-doa, sedangkan pengurapan tidak dapat diberikan lagi. Tetapi, jika kematiannya masih diragukan, maka Sakramen Pengurapan dapat diterimakan sub conditione (= kondisi khusus).

Siapa yang Melayani Sakramen Pengurapan Orang Sakit?
Pelayan sebenarnya dari Sakramen Pengurapan Orang Sakit hanyalah imam.

Mereka yang menjalankan pelayanan ini adalah para uskup sebagai yang mengemban wewenang penuh, para imam paroki, para imam yang melayani rumah-rumah sakit dan rumah-rumah orang lanjut usia, serta pemimpin lembaga-lembaga pendidikan imam. Imam-imam lain dapat menerimakan Sakramen Pengurapan dengan persetujuan mereka yang disebut di atas.

Namun demikian, dalam hal darurat, semua imam dapat memberikan pelayanan Sakramen Pengurapan Orang Sakit, tetapi hendaknya hal itu dilaporkan kepada imam paroki atau imam yang bertugas dalam rumah sakit.

Bagaimana Sakramen Pengurapan Orang Sakit Dirayakan?
Perayaan Sakramen Pengurapan Orang Sakit terdiri atas dua bagian, yaitu: Liturgi Sabda dan perayaan Sakramen Pengurapan yang sebenarnya. Pada puncak perayaan, imam mengurapi si sakit dengan minyak suci pada dahi dan tangan sambil mengucapkan rumusan-rumusan tertentu. Dengan demikian jelas nampak karya Tuhan dalam sakramen ini, kurnia Roh Kudus dimohonkan bagi si sakit dan janji keselamatan diucapkan baginya, agar dalam ketakberdayaan jiwa-raganya, si sakit diluputkan serta dikuatkan, dan bila perlu, juga diampuni dosa-dosanya.

Untuk pengurapan sakramental digunakan minyak zaitun atau minyak lain dari tumbuh-tumbuhan yang telah diberkati oleh uskup dalam Misa Krisma pada hari Kamis Putih. Dalam keadaan darurat, setiap imam dapat memberkati minyak untuk pengurapan ini.

Jika dianggap perlu adanya pengakuan dosa, imam dapat melayani Sakramen Pengakuan Dosa kepada si sakit sebelum melayani Sakramen Pengurapan Orang Sakit.

Buah-buah rahmat apa saja yang diperoleh dari Sakramen Pengurapan Orang Sakit?
persatuan orang sakit dengan sengsara Kristus demi keselamatannya sendiri dan keselamatan Gereja;
penghiburan, perdamaian dan keberanian untuk menderita secara Kristen sengsara yang ditimbulkan oleh penyakit atau oleh usia lanjut;
pengampunan dosa, apabila orang sakit tidak dapat menrimanya melalui Sakramen Pengakuan;
penyembuhan, kalau ini berguna bagi keselamatan jiwa;
persiapan untuk peralihan ke hidup abadi

sumber : "Upacara Sakramen dan Pemberkatan untuk Pelayanan Pastoral" oleh P. Alex Beding SVD; Penerbit Nusa Indah
tambahan : Katekismus Gereja Katolik edisi Indonesia, Propinsi Gerejani Ende 1995, Percetakan Arnoldus - Ende

Sunday, July 12, 2015

Sakramen Penguatan

Oleh Romo Richard Lonsdale

MENGAPA SAKRAMEN PENGUATAN ITU PERLU?

Sakramen Penguatan merupakan langkah kedua menjadi seorang Katolik. Penguatan merupakan sakramen. Artinya, "bahasa isyarat" dari Tuhan. Bahasa isyarat seringkali berbicara lebih kuat dari bahasa-bahasa lain, karena bahasa isyarat sifatnya universal. Dalam sakramen, Tuhan mempergunakan benda-benda biasa seperti air, roti, minyak dan juga tindakan-tindakan tertentu untuk berbicara secara langsung kepada jiwa kita. Tidak seperti bahasa isyarat lainnya, bahasa isyarat Tuhan mempunyai kuasa untuk mengubah orang yang menerimanya.

Sakramen Penguatan merupakan yang pertama dari serangkaian sakramen yang disebut sebagai sakramen "pengurapan". Sakramen-sakramen tersebut mempergunakan bahasa isyarat yang sama, yaitu pengurapan dengan minyak. Yang termasuk dalam sakramen "pengurapan" adalah: Sakramen Penguatan atau Krisma, Sakramen Pengurapan Orang Sakit dan Sakramen Imamat. Ketiga sakramen tersebut mempergunakan bahasa isyarat yang sama untuk mengatakan sesuatu yang berbeda.

Dalam Sakramen Baptis, kita disambut dalam persekutuan dengan Kristus. Dalam Sakramen Penguatan, kita disambut dalam persekutuan dengan suatu komunitas, yaitu Gereja Katolik. Di kebanyakan Gereja Katolik, seorang Uskup-lah yang memberikan isyarat penyambutan itu. Perkecualian terjadi apabila calon penerima sakramen adalah orang dewasa yang baru masuk Katolik. Maka, imam pembimbing yang menerimakan Sakramen Penguatan. Bapa Uskup atau imam menyatakan sambutannya dengan isyarat tangan yang artinya "kami menghormatimu, kami menyambutmu dalam keluarga Katolik."

Bahasa isyarat "pengurapan minyak" dapat diumpamakan dengan memijat dengan balsem. Pijatan itu membersihkan, menenangkan serta menyembuhkan. Ketika kamu masih kanak-kanak, pernahkah ibumu menggosok dadamu dengan Vicks Vaporub ketika kamu pilek? Atau mungkin menggosok kakimu yang keseleo? Kamu akan segera merasa nyaman karena dua hal. Pertama, obat gosok itu meresap ke dalam kulitmu serta menghangatkan tubuhmu sehingga kamu merasa nyaman. Kedua, karena kamu menikmati sentuhan dari orang yang mengasihimu. Sama halnya dalam Sakramen Penguatan. Tuhan menyentuhmu dan menawarkan kesembuhan bagimu dari segala macam beban yang kamu pikul selama kamu tumbuh dewasa. Tuhan berkata kepadamu, "Aku tidak akan tinggal jauh darimu, Aku sungguh memperhatikan kamu karena kamu adalah pribadi yang berharga bagi-Ku."

Minyak Krisma Sakramen Penguatan mengundang Roh Kudus agar melindungi kita. Roh Kudus memberi kita kekuatan serta membimbing kita dalam menyempurnakan persatuan kita dengan Yesus melalui tubuh-Nya di dunia, yaitu Gereja. Roh Kudus membimbing kita bagaimana menjadi serupa dengan Kristus.

ASAL-USUL SAKRAMEN PENGUATAN

Apabila kamu memahami sakramen sebagai suatu "bahasa isyarat", kamu juga dapat memahami bagaimana dan mengapa sakramen dapat mengadakan perubahan. Hal ini terutama tampak nyata dalam Sakramen Penguatan. Pesan yang hendak disampaikan melalui Sakramen Penguatan adalah "Tuhan menghormati kamu dan memberimu kekuatan menghadapi persoalan-persoalan yang berat." Tuhan menyatakannya melalui beberapa cara. Upacara Sakramen Krisma merupakan salah satu di antaranya.

Penguatan yang pertama menggunakan tiga bahasa isyarat yang berbeda: angin, lidah api dan berkata-kata dalam bahasa asing. Peristiwa tersebut terjadi dalam suatu perayaan Yahudi kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Perayaan itu disebut Shavuot. Artinya "Minggu-minggu". Shavuot dirayakan sekitar tujuh minggu sesudah Hari Raya Paskah Yahudi. Shavuot disebut juga Pentakosta, yang artinya "lima puluh hari". Yaitu semacam perayaan untuk mengucap syukur dan untuk mengenang Tuhan memberikan Sepuluh Perintah Allah kepada bangsa Israel.

Biasanya, para rasul Yesus pergi ke Bait Allah untuk menyampaikan persembahan mereka. Tetapi, saat itu mereka takut kalau-kalau mereka ditangkap seperti Yesus. Karenanya, mereka bersembunyi di ruangan di mana Yesus merayakan Perjamuan Terakhir-Nya.

Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di satu tempat. Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah, di mana mereka duduk; dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya. (Kis 2: 1-4)

Ada juga kisah-kisah dalam Kitab Suci di mana orang secara tiba-tiba berubah. Perubahan tersebut selalu disertai dengan kobaran semangat, iman dan kesediaan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas iman, yaitu Gereja.

Masing-masing peristiwa tersebut dikenangkan melalui bahasa isyarat yang berbeda-beda sepanjang sejarah Gereja. Pada akhirnya, Gereja menetapkan bahasa isyarat yang sekarang dipergunakan dalam Sakramen Penguatan.

Di masa mendatang, Gereja mungkin saja mengubah bahasa-bahasa isyarat itu, tetapi pesan yang hendak disampaikan serta pengaruh yang ditimbulkannya akan tetap sama, yaitu kehadiran Roh Allah. Makna dan kuasa bahasa isyarat tersebutlah yang terpenting, yaitu kehadiran Roh Kudus Allah dalam diri kita.

APA YANG DILAKUKAN ROH KUDUS?

Tahukah kamu bagaimana komputer bekerja? Bagi sebagian orang, keyboard komputer merupakan suatu panel dengan simbol-simbol dan karakter-karakter yang aneh. Jika kamu tidak tahu apa yang harus kamu perbuat, ada satu kunci yang perlu kamu ingat, karena kunci ini termasuk yang paling penting: F1

Dalam sebagian besar program komputer, apabila kamu mengalami kesulitan, kamu dapat menekan kunci F1 dan segera HELP window akan muncul menampilkan petunjuk-petunjuk mengenai apa yang harus kamu lakukan.

Kamu dapat menganggap Roh Kudus sebagai kunci pribadimu yang menolongmu dalam segala permasalahan hidup. Roh Kudus tidak saja menunjukkan kepadamu bagaimana melakukan sesuatu, tetapi Ia juga akan memberimu kekuatan untuk melakukannya.

Sebagai contoh, Yesus berpesan kepada para rasul-Nya bahwa apabila mereka diserahkan ke pengadilan oleh karena iman mereka, mereka tidak perlu khawatir akan apa yang harus mereka katakan untuk membela diri. Roh Kudus sendiri yang akan berkata-kata di dalam mereka. Hal itu memang benar-benar terjadi kemudian, seperti yang telah dikatakan oleh Yesus.

Ada suatu singkatan yang menjadi populer dalam beberapa tahun belakangan ini. WWJD - singkatan dari What Would Jesus Do? Apa yang akan Yesus lakukan? Yaitu suatu cara yang baik untuk mempertimbangkan apakah suatu perbuatan itu OK atau akan menyakiti orang lain. Istilah lain bagi WWJD adalah hati nurani. Hati nurani adalah suatu "suara" lembut dalam dirimu yang mengatakan "Jangan lakukan, itu dosa" atau "Pergilah menolong orang itu, ia dalam kesulitan." Itulah suara Roh Kudus!

Kamu tidak perlu repot-repot menekan kunci mana pun untuk mendapatkan bantuan seperti itu, karena Roh Kudus ada dalam kamu dan Ia senantiasa siap sedia menolongmu kapan saja dan di mana saja kamu berada. Setiap saat kamu membutuhkan pertolongan atau nasehat tentang apa saja, bertanyalah kepada Roh Kudus. Kemudian tunggu Ia menjawabmu. Jawaban itu akan datang dalam benakmu, atau melalui orang lain, atau melalui Gereja.

SPONSOR atau PENJAMIN

Di televisi, sponsor adalah seorang, atau suatu perusahaan, atau suatu kelompok yang menawarkan sesuatu kepada pemirsa. Biasanya tujuan mereka adalah menjual apa yang mereka tawarkan. Dalam segi tertentu, seorang Sponsor atau Penjamin dalam Sakramen Penguatan juga melakukan hal serupa. Mereka menawarkan atau menghadirkan calon penerima Krisma ke hadapan Gereja yang diwakili oleh Bapa Uskup. Mereka menawarkan segi-segi baikmu kepada komunitas Gereja.

Sama seperti sponsor TV, para penjamin calon Krisma juga harus yakin akan orang yang mereka jamin. Para penjamin sesungguhnya mengatakan, "Kami menghormati orang ini dan menurut kami, ia akan menjadi anggota Gereja yang baik." Penjamin terbaik biasanya adalah wali baptis calon yang bersangkutan.

CATATAN TENTANG SAKRAMEN PENGUATAN

Dalam Gereja-gereja Katolik di Timur Tengah (Ritus Timur), Sakramen Krisma diberikan oleh imam kepada bayi-bayi pada saat mereka menerima Sakramen Pembaptisan.

Dalam bahasa Ibrani, 'Ruah' (= Roh), juga berarti Angin dan Napas Hidup.

Minyak Krisma terbuat dari minyak zaitun. Karena minyak zaitun memiliki aroma yang kurang sedap, maka ditambahkan balsem wangi.

Dalam Kitab Suci, terkadang orang menerima pencurahan Roh Kudus sebelum mereka dibaptis. Lihat Kis 10: 44-48

Minyak Krisma diberkati oleh Uskup dalam Pekan Suci. Kemudian minyak Krisma dibagi-bagikan ke seluruh wilayah keuskupan sebagai lambang persatuan dalam Gereja.

sumber : "The Sacramental Gazette, Confirmation: Why?"; Rm Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: "diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Richard Lonsdale."

Monday, July 6, 2015

Sakramen Baptis dalam Gereja Katolik sekali untuk selamanya

Sebagaimana setiap orang yang telah dilahirkan tidak bisa masuk kembali ke dalam rahim ibunya, demikian pula mereka yang sudah dibaptis. Sekali dibaptis, selamanya Katolik; tidak terbatalkan. Bagi orang Katolik kematian justru melahirkannya kembali, yakni lahir ke dalam hidup abadi. Sakramen Baptis membawa konsekuensi positif dan membahagiakan baik untuk hidup di dunia maupun setelah kematian.

Kelahiran Baru
Sakramen Baptis mempunyai beberapa makna,
Pertama, dibaptis berarti dilahirkan kembali dalam Allah (Yoh 3:3). Ini juga bermakna ditenggelamkan dalam wafat dan kebangkitan Kristus (Rm 3:3-4) supaya bisa mengambil bagian dalam hidup dan kemuliaan Yesus Kristus (KGK, 1227). Dengan demikian semua orang yang dibaptis menjadi bagian dari Gereja, tubuh mistik Kristus.

Kedua, Sakramen Baptis membuka pintu untuk masuk ke persatuan penuh dengan Yesus Kristus dan Gereja-Nya dalam Sakramen-sakramen lain, terutama Krisma dan Ekaristi (bdk. KGK, 1229-1233). Karena itu, hanya mereka yang sudah dibaptis bisa menerima Sakramen Krisma, Pengakuan dosa, Ekaristi, Pernikahan atau Imamat, Pengurapan orang sakit.

Ketiga, setiap orang dilahirkan menjadi putra/putri orang tuanya. Walau ada orang tua yang membuang anaknya, setiap orang mempunyai orang tua (biologis). Demikian juga orang yang dibaptis, mau tidak mau menjadi anak-anak Allah dan mengenakan meterai salib. Meterai ini tidak terhapuskan oleh apa pun. Meski yang bersangkutan tidak mempraktikkan iman Katolik lagi -bahkan menyangkal Tuhan Yesus- tanda sakramen tetap menempel padanya.

Keempat, Sakramen Baptis menghantar orang memasuki hidup abadi. Mereka yang dibaptis bersatu dengan kematian dan kehidupan Yesus. Karena itu, mereka yang mati dalam Kristus akan dibangkitkan dan mulia bersama dengan Dia (Yoh 6:37; 1Kor 15:22).

Anugerah dan Tantangan
Sakramen Baptis merupakan anugerah dan sekaligus tugas. Anugerah hidup baru dan kekal yang kita terima dalam Sakramen Baptis mengundang kita untuk hidup seperti Yesus (Kol 2:6) dan hidup dalam terang (1Yoh 1:6).
Lebih dari itu, menjadi pengikut Kristus berarti memanggul salib kehidupan (Mrk 8:34-35). Bukan dibebani salib, tetapi memanggul salibnya sendiri dengan menggunakan semangat Yesus Kristus. Mereka mesti siap menanggung aniaya (2Tim 3:12) seperti Yesus juga menderita sengsara untuk menyelamatkan dunia.
Setelah Kristus naik ke surga Dia menampilkan tubuh-Nya dan melanjutkan karya penyelamatan-Nya dalam Gereja, tubuh mistik-Nya. Karena itu, semua orang Katolik menjadi pembawa tubuh Kristus itu. Mereka menghadirkan Kristus dan menjadi saksi-Nya di mana pun dia berada.

Prosesnya Tidak Mudah

Pada umumnya Gereja menganjurkan tiga tahap dalam pembaptisan: persiapan, pelaksanaan, dan program lanjutan.
Pertama, tahap persiapan biasanya disebut katekumenat yang meliputi beberapa tahap (KGK, 1232). Hal ini dapat dibaca dalam pedoman calon baptis dewasa atau Rites of Christian Initation of Adults (RCIA). Hanya orang yang sungguh matang dan siap untuk menjadi Katolik akan dibaptis.

Kedua, pelaksanaan Sakramen Baptis minimal mesti memenuhi dua syarat, yakni rumusan dan tindakan (KGK, 1240). Rumusannya, "Aku membaptis kamu dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus." Tindakannya ialah tiga kali mencurahkan air pada dahi atau menenggelamkan calon baptis ke dalam air.

Ketiga, mistagogi atau program lanjutan (bdk. KGK, 1254-1255). Menjadi Katolik tidak berakhir dalam penerimaan Sakramen Baptis. Sebaliknya, itu merupakan langkah awal menghayati hidup baru dalam Kristus, mereka yang baru saja dibaptis perlu terus dibina dan dikembangkan imannya. Bila ini dilupakan, setelah dibaptis iman orang Katolik mandeg (tidak tumbuh).

Penutup dari uraian di atas perlu ditegaskan bahwa Sakramen Baptis memberikan jaminan kehidupan abadi bersama Kristus. Apakah kita percaya kepada Yesus dan mau dibaptis serta dilahirkan kembali dalam Dia? Semoga melalui Tahun Iman, kita semakin setia dalam menghayati rahmat baptis kita. (Rm. Albertus Herwanta, O.Carm/RUAH)

Barangsiapa menuruti segala perintah-Nya, ia diam di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Dan demikianlah kita ketahui, bahwa Allah ada di dalam kita, yaitu Roh yang telah Ia karuniakan kepada kita. --- 1Yoh 3:24

Sumber :
http://katedralmakassar.blogspot.com/2013/01/sakramen-baptis-dalam-gereja-katolik.html

Wednesday, July 1, 2015

Sakramen Tobat sebagai Sakramen Penyembuhan

Flu, pilek, batuk, sakit kepala, sakit lever, typhus, dan sebagainya adalah beberapa contoh penyakit fisik yang sering, kadang, atau pernah kita alami. Dan ketika muncul gejala-gejala yang sudah tidak enak di badan, kita segera pergi ke dokter dan atau ke apotik untuk memperoleh obat yang cocok, karena ingin segera sembuh. Dalam hal penyakit fisik, kita lebih mudah mengenalinya. Kemudian kita segera mengobatinya. Karena apabila dibiarkan, penyakit tersebut bisa berakibat semakin parah atau membawa kepada maut. Sebaliknya dalam hal penyakit non-fisik, spiritual, meskipun lebih sulit mestinya kita harus lebih jeli mengenalinya. Supaya kalau ada penyakit dalam diri kita, kita bisa segera mengupayakan obat untuk menyembuhkannya. Sebab kalau penyakit tersebut dibiarkan terus akan membawa kita kepada keadaan yang lebih buruk, bahkan mengakibatkan maut (bdk. 1 Kor 15:55b-56a).

Aneh tapi nyata! Terhadap penyakit yang bisa membawa maut ini, sering kita tidak merasa takut. Kita tenang-tenang saja. Kita membiarkannya tetap bercokol dan menggerogoti jiwa kita selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun. Kita menganggap bahwa itu bukan penyakit atau hanya penyakit biasa, �Cuman kecil koq, toh tidak akan sampai membahayakan.� Sangatlah bijaksana!

Apabila menderita penyakit spiritual (dosa) dan ingin segera disembuhkan supaya tetap sehat rohaninya, kita datang kepada �DOKTER� atau menghubungi �asisten DOKTER� untuk menerima�bukan sekedar resep obat tetapi� Sakramen TOBAT. Sebab dengan menerima Sakramen Tobat, kita akan mengalami daya penyembuhan Tuhan atas penyakit dosa-dosa kita.

Kita menerima Sakramen Tobat sebagai sakramen penyembuhan atas luka-luka dan penyakit batin-hati-jiwa kita. Sakramen penyembuh-Nya akan membawa kita kepada hidup dan keselamatan kekal. Untuk itu kita perlu mengenali dan merefleksikan bersama: kedosaan kita sebagai suatu penyakit dan belaskasihan serta kerahiman Allah Bapa sebagai suatu obat yang menyembuhkan jiwa kita.

1. BEBERAPA NAMA

Ada beberapa nama yang sering digunakan untuk Sakramen Tobat. Pertama, Sakramen Tobat itu sendiri. Disebut demikian, karena hal yang terpenting yang mau ditekankan di sini ialah tobat dan orang beriman yang bertobat. Konsili Vatikan II memakai kembali istilah �Sakramen Tobat� (lih. Sacrosanctum Concilium, No. 72; Lumen Gentium, No. 11).

Kedua, dinamakan �Sakramen Pengakuan Dosa� karena orang yang bertobat itu menyatakan sikap tobatnya kepada Allah dan mengakukan segala dosanya di hadapan imam selaku pelayan Gereja. Pengakuan atas dosa-dosanya ini menunjukkan bahwa dengan rendah hati dan jujur ia mengaku dirinya sebagai orang yang berdosa yang membutuhkan kerahiman Allah.

Ketiga, disebut juga dengan �Sakramen Pengampunan Dosa� karena dosa-dosa yang telah diakukan dengan jujur dan rendah hati itu�melalui absolusi imam�secara sakramental telah diampuni oleh Allah sendiri. Seperti dalam rumus absolusi disebutkan, ��Semoga lewat pelayanan Gereja, Ia (Allah) melimpahkan pengampunan dan damai kepada Saudara.�

Keempat, dinamakan juga �Sakramen Pendamaian� (rekonsiliasi) karena melalui pengampunan yang telah diterima oleh pentobat, Allah sendiri memperdamaikan pentobat dengan Diri-Nya dan Gereja. Seperti dikatakan oleh Konsili Vatikan II bahwa �mereka yang menerima Sakrarnen Tobat memperoleh pengampunan dan Allah dan sekaligus didamaikan dengan Gereja� (Lumen Gentium, No. 11). Pengampunan Allah adalah ungkapan cinta-Nya yang mendamaikan. Karena rasul Paulus memberi nasihat, �Berilah dirimu didamaikan dengan Allah� (2 Kor 5:20).

Kelima, Sakramen Tobat juga merupakan �Sakramen Penyembuhan� karena ia memberikan rahmat penyelamatan dan penyembuhan atas jiwa dan raga manusia (lih. Katekismus Gereja Katolik, No. 1420-1421).

2. SAKRAMEN TOBAT: BERANGKAT DARI PENYADARAN DAN PENELITIAN BATIN

Seorang katekumen yang berasal dari latar belakang Protestan pernah bertanya pada waktu pelajaran agama mengenai sakramen-sakramen demikian, �Romo, pembaptisan itu kan sudah menyucikan kita dari segala dosa. Kita sudah menjadi manusia baru. Kenapa sih masih ada lagi Sakrarnen Tobat segala. Maknanya khan sama, pengampunan dosa. Kemudian yang ingin saya tanyakan, apakah Sakramen Tobat itu sungguh perlu?� Di satu sisi dia benar. Bahwa Sakramen Baptis itu menyucikan kita dan segala dosa. Kita menjadi manusia baru, seperti kata rasul Paulus, �Kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita� (1 Kor 6:11).

Betapa besar anugerah Allah yang diberikan kepada kita lewat Sakramen Baptis ini. Namun pada sisi lain, kehidupan baru sebagai manusia yang disucikan lewat Sakramen Baptis itu tidak membuat kita menjadi manusia yang sempurna yang kebal dosa. Dalam hal ini diperlukan 2 sikap:

a. Penyadaran akan kelemahan dan dosa

Hidup yang disucikan, kehidupan baru yang diterima dalam Sakramen Baptis tidak menghilangkan kerapuhan dan kelemahan kodrat manusiawi kita. Kecenderungan kepada dosa (concupiscentia) pun tidak dihilangkan dari kodrat manusiawi kita. Kecenderungan ini tetap ada dan tinggal dalam diri kita. Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja mengingatkan bahwa Gereja itu kudus karena Kristus, Putera Allah, yang bersama dengan Bapa dan Roh Kudus membuatnya kudus (lih. Lumen Gentium, No. 39). Namun demikian, Gereja itu �merangkum pendosa-pendosa dalam pangkuannya sendiri. Gereja itu suci sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaruan� (Lumen Gentium, No. 8).

Jelaslah bahwa Gereja itu kudus. Ia sudah �dikuduskan bagi Tuhan�. Tetapi Gereja tidak terbedakan dan semua orang lain justru karena kedosaan mereka dan karena �persekutuan Gereja (itu) mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya� (Gaudiurn et Spes, No. 1). Untuk itulah Gereja yang kudus sekaligus masih tetap mempunyai kecenderungan kepada dosa ini dipanggil untuk terus-menerus membersihkan dan membarui diri, menjalankan pertobatan yang tiada hentinya. Sebab pertobatan kristiani itu berlangsung sepanjang hidup.

Hal yang harus disadari di sini ialah bahwa kita ini hidup �dalam bejana tanah liat� (2 Kor 4:7). Kita ini manusia lemah, rapuh, mudah jatuh dan �pecah� dalam kecenderungan kita akan dosa. Dan lagi, kita ini masih hidup �dalam kemah kediaman kita di bumi ini� (2 Kor 5:1). Maka dengan menyadari akan semua ini, kita mau terus merindukan dan memperoleh rahmat kerahiman Allah lewat perayaan Sakramen Tobat.

b. Penelitian batin

Hal yang hendaknya juga tidak dilupakan dalam proses penyadaran diri akan kelemahan dan dosa yang selalu bisa saja terjadi setelah pembaptisan, yaitu penelitian batin. Kita mau masuk ke dalam lubuk hati yang terdalam, melihat dan memeriksa kembali bahwa temyata kita memang orang berdosa yang membutuhkan pertobatan dan pembaruan. Penelitian batin yang sungguh-sungguh seperti ini akan menyadarkan kita sebagai orang berdosa, baik dalam arti personal (dosa-dosa pribadi) maupun dalam arti komunal (dosa-dosa sosial).

Penelitian batin adalah sikap dasar yang penting. Karenanya, dalam Surat Apostolik Kedatangan Milenium Ketiga No. 36 (KMK, No. 36) Bapa Suci menegaskan bahwa �pada ambang milenium yang baru, orang kristen harus menempatkan din mereka sendiri berkenaan dengan tanggung jawab yang mereka punyai juga atas kejahatan-kejahatan sekarang ini�.

Bapa Suci, seperti dinyatakan oleh banyak Kardinal dan Uskup, mengajak kita�Gereja dewasa ini�agar mengadakan penelitian batin yang sungguh-sungguh (lih. Ibid.). Sebab dengan memiliki sikap batin demikian, kita akan �menghargai secara baru dan merayakan secara lebih intens Sakramen Pengakuan Dosa (Pendamaian) menurut maknanya yang paling dalam� (KMK, No. 50).

3. SAKRAMEN TOBAT, SAKRAMEN YANG MENYEMBUHKAN

Mengapa kita hendaknya merayakan Sakramen Tobat secara lebih intens, terus-menerus? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul sebagai suatu refleksi atas penghayatan Sakramen Tobat dewasa ini. Romo Michael Scanlan, dalam bukunya yang berjudul �The Power in Penance� (Notre Dame: Ave Maria Press, 1972) menulis demikian, �Dewasa ini kita melihat bahwa Sakramen Tobat telah jatuh ke dalam kesia-siaan yang semakin besar, dan pentingnya sakramen ini secara umum tidak dilihat lagi baik oleh imam mau pun oleh umat� (lih. Alex I. Suwandi,�Penyembuhan dalam Sakramen Tobat�, BPK Keuskupan Padang, 1998:16).

Keadaan �dewasa ini�, yang dimaksud 27 tahun silam, saya kira tidak terlalu jauh berbeda dengan keadaan dewasa ini. Romo Alex I. Suwandi dalam buku tersebut di atas menyebutkan tiga alasan mengapa dewasa ini umat kurang menghargai Sakramen Tobat dengan tidak mengaku dosa.

Pertama, orang tidak mengaku dosa karena tidak mengerti konsep dosa secara jelas. Sehingga hal yang sebenarnya termasuk dosa, itu dilihat sebagai hal yang biasa dan tidak perlu diakukan kepada Tuhan dalam Sakramen Tobat.

Kedua, orang tidak mengaku dosa karena hilangnya pengakuan diri sebagai orang berdosa, yang masih tetap memiliki kecenderungan terhadap dosa (Ah, saya khan sudah suci karena dulu sudah dibaptis!). Dengan menganggap dirinya demikian saja, orang sudah jatuh dalam dosa kesombongan.

Ketiga, orang tidak mengaku dosa lagi karena tiadanya penyembuhan sesudah pengakuan dosa. Setelah menerima Sakramen Tobat toh masih tetap melakukan dosa yang sama. �Malu akh, selalu mengaku dosa yang sama melulu, itu-ituuuu�terus!�, komentar salah seorang umat yang pemah saya dengar.

Alasan ketiga ini perlu kita lihat lebih dalam, mengapa ada semacam �keluhan atau keputusasaan� dalam diri umat, yang sebenarnya dengan menerima Sakramen Tobat ingin menjadi manusia baru dan utuh. Sebabnya antara lain karena tidak adanya keterbukaan yang penuh dalam diri peniten atau pentobat sendiri. Ia hanya mengatakan beberapa dosa yang ringan-ringan saja, walaupun pengakuan yang terakhir sudah cukup lama atau malah belum pernah menerima Sakramen Tobat sejak dibaptis dewasa.

Di satu pihak, dosa-dosa yang telah diakukan kepada Tuhan dalam Sakramen Tobat itu sudah diampuni. Kita percaya itu. Tetapi dengan mengakukan dosa-dosa yang ringan-ringan saja, atau dengan menutupi (tidak mengatakan) dosa yang sebenarnya, yang jauh lebih pokok dan mengganggu hidupnya, membuat pengakuan itu tidak sampai pada akar-akar dosa. Misalnya kenapa masih saja ada rasa iri hati, perasaan bersalah yang tidak sehat, merasa diri tidak dicintai, sulit mengampuni, dan sebagainya.

Hal-hal tersebut harus dicari apa sebenarnya yang menjadi akar semua dosa. Dalam hal ini, imam perlu menangkap akar dari semua dosa yang diakukan itu atau yang tidak disebutkan dengan jelas oleh si peniten. Sehingga apabila akar dosa tersebut sudah ditemukan dan si peniten membutuhkan doa penyembuhan, doa penyembuhan itu bisa dilakukan segera sesudah absolusi. Dengan demikian Sakramen Tobat selalu memberi daya penyembuhan spiritual, yakni pengampunan dosa, juga memberikan penyembuhan luka-luka batin (misalnya dan sikap mudah marah, dendam, iri hati, merasa dibenci, dan sebagainya), atau penyembuhan relasi yang disharmonis dengan sesamanya ataupun pembebasan dan kuasa kegelapan (misalnya terlibat dalam ilmu hitam, perdukunan, dan sebagainya). Dalam hal ini Sakramen Tobat dapat memberikan daya penyembuhan secara integral, utuh. Orang sungguh-sungguh dapat merasakan hidup secara baru dan bebas dan beban-beban yang selama ini terasa berat dan menyesakkan.

Dalam pengalaman pastoral, terutama dalam menerimakan Sakramen Tobat, tidak sedikit saya menjumpai urnat yang setelah mengakukan dosa-dosanya dan menerima absolusi kemudian minta didoakan. Saya menangkap bahwa pada kesempatan itu sebenarnya umat merindukan suatu penyembuhan secara utuh lewat Sakramen Tobat yang diterimanya. Berdoa bagi segi-segi kehidupan yang terluka sebagai tambahan dan pemberian absolusi dan pernyataan pengampunan Tuhan atas semua dosa adalah kesempatan yang baik dan indah dalam pelayanan Sakramen Tobat.

4.BUAH-BUAH ROHANI SAKRAMEN TOBAT

Perayaan Sakramen Tobat menghasilkan buah-buah rohani seperti:
Orang mengalami pendamaian dengan Allah karena relasi kasih dengan Allah yang telah putus karena dosa (terjadi PHK: Putus Hubungan Kasih) telah dipulihkan kembali. Kasih Allah yang hidup sungguh-sungguh menjadi hidup kembali dan dialami secara pribadi.
Orang mengalami pendamaian dengan komunitas Gereja. Relasi dengan sesama saudara yang selama ini retak dan rusak, entah karena dendam, iri hati, tak mau mengampuni, difitnah, dan sebagainya, telah disembuhkan dan pulih kembali. Sebab Sakramen Tobat �menyembuhkan orang yang diterima kembali dalam persekutuan dengan Gereja yang menderita karena dosa dan salah seorang anggotanya� (Katekismus Gereja Katolik, No.1469).
Orang mengalami penyembuhan secara utuh: dan dosa, luka-luka batin, relasi yang disharmonis, dan ikatan ilmu hitam, perdukunan, dan sebagainya.
Orang mengalami pembebasan dari siksa abadi, yang akan diterimanya jikalau ia tetap berada dalam dosa berat (Katekismus Gereja Katolik, No. 1496).
Orang mengalami pembebasan�paling sedikit�dan sebagian siksa sementara yang diakibatkan oleh dosa.
Orang mengalami ketenangan hati nurani dan hiburan rohani. Orang mengalami pertumbuhan kekuatan rohani untuk perjuangan dalam menghayati iman kristianinya.

5. BEBERAPA HAL PRAKTIS

Ada beberapa hal praktis yang perlu diperhatikan berkaitan dengan Sakramen Tobat ini:
Pemberi Sakramen Tobat adalah Uskup dan para imam yang telah menerima wewenang berkat Sakramen Tahbisan. Tidak semua umat tahu hal ini. Pernah ada umat yang ingin mengaku dosa kepada frater atau suster, kemudian ia disarankan supaya datang kepada imam yang punya wewenang untuk itu.
Perlu adanya katekese mengenai surga, neraka, api penyucian, dosa, kerahiman Allah, dan sebagainya, sehingga umat memiliki penghargaan secara baru dan merayakan Sakramen Tobat secara lebih intens. Sakramen Tobat dirayakan bukan hanya sekurang-kurangnya sekali setahun (lihat perintah Gereja ke-4 dalam 5 perintah Gereja), tetapi lebih baik lagi kalau dilakukan lebih sering dan teratur.
Pastor Paroki (pelayan Gereja) perlu sekali menanamkan dalam diri umat kesadaran akan pentingnya merayakan Sakramen Tobat secara pribadi. Tentu saja hal ini menuntut kesediaan para imam untuk menerimakan Sakramen Tobat kapan saja umat memintanya secara wajar (bdk. Katekismus Gereja Katolik, No. 986).
Penyadaran akan kelemahan dan dosa serta penelitian batin perlu dibudayakan; juga ibadat tobat bersama pada kesempatan-kesempatan tertentu, misalnya kesempatan retret, rekoleksi, Adven, Prapaskah, dan sebagainya.
Sakramen Tobat adalah salah satu keunggulan dan kekhasan Gereja Katolik, yang tidak dimiliki oleh Gereja-Gereja Protestan. Kita sendiri harus menghargainya secara baru dan merayakannya secara lebih intens. Melalui Sakramen Tobat, bilur-bilur, penyakit, dan luka-luka dosa kita disembuhkan oleh Allah yang Mahabelaskasih. Pengampunan dan penyembuhan-Nya sungguh konkrit dan nyata.

Sumber :
http://www.carmelia.net/index.php/artikel/tanya-jawab-iman/71-sakramen-tobat-sebagai-sakramen-penyembuhan

Tags

Renungan (53) Sejarah Gereja (45) Kepausan (42) Katekese (40) Para Kudus (39) Berita Katolik (37) Ekaristi (36) Kitab Suci (33) Yesus Kristus (33) Doa dan Hymne (30) Liturgi (29) Apologetik (26) Renungan Cerdas (25) Fransiskus (22) Santa Maria (22) Artikel Lain (19) Dokumen Gereja (19) Gereja Katolik (19) Katekese Liturgi (17) Ajaran Gereja Katolik (16) Komuni Kudus (16) Paskah (16) Benediktus XVI (13) Dasar Iman Katolik (13) Kisah Nyata (13) Renungan Poltik (13) Natal (11) Kompendium Katolik (10) Bapa Gereja (9) Katolik Indonesia (9) Katolik Timur (9) Petrus (9) Roh Kudus (9) Sakramen Gereja Katolik (9) Allah Tritunggal (8) Perayaan Ekaristi (8) Prapaskah (8) Prodiakon (8) Tradisi (8) Kesaksian (7) Pemazmur (7) Sakramen Ekaristi (7) Tuhan Allah (7) Adven (6) Kematian (6) Liturgi dan Kaum Muda (6) Misdinar (6) Paduan Suara Gereja (6) Pekan Suci (6) Rabu Abu (6) Ajaran Gereja (5) Hari Peringatan (5) Hari Pesta / Feastum (5) Kamis Putih (5) Maria Bunda Allah (5) Perayaan Natal (5) Piranti Liturgi (5) Seputar Liturgi (5) Tritunggal (5) EENS (4) Ibadat Kematian (4) Ibadat Peringatan Arwah (4) Katekismus Gereja (4) Maria Diangkat Ke Surga (4) Minggu Palma (4) Misa Jumat Pertama (4) Misa Latin (4) Nasihat Bijak (4) Nyanyian Liturgi (4) Pentakosta (4) Sakramen Perkawinan (4) Seremonarius (4) Surat Gembala Paus (4) Surat Gembala Uskup (4) Tahun Iman (4) Tokoh Nasional (4) Tuhan Yesus (4) Beato dan Santo (3) Berita Nasional (3) Doa Litani (3) Doa Rosario (3) Dupa dalam Liturgi (3) Eksorsisme (3) Jalan Salib (3) Jumat Agung (3) Lektor (3) Liturgi dan Anak (3) Makna Homili (3) Malam Paskah (3) Masa Prapaskah (3) Misa Krisma (3) Misa Tridentina (3) Musik liturgi (3) Novena Natal (3) Pantang dan Puasa (3) Sakramen Tobat (3) Spiritualitas (3) Surat Gembala KWI (3) Tata Gerak dalam Liturgi (3) Tokoh Internasional (3) Toleransi Agama (3) Yohanes Paulus II (3) Cinta Sejati (2) Dasar Iman (2) Denominasi (2) Devosi Hati Kudus Yesus (2) Devosi Kerahiman Ilahi (2) Doa (2) Doa Angelus (2) Doa Novena (2) Doa dan Ibadat (2) Ekumenisme (2) Gua Natal (2) Hari Sabat (2) Homili Ibadat Arwah (2) How To Understand (2) Ibadat Syukur Midodareni (2) Inkulturasi Liturgi (2) Inspirasi Bisnis (2) Kanonisasi (2) Kasih Radikal (2) Keajaiban Alkitab (2) Keselamatan Gereja (2) Kisah Cinta (2) Korona Adven (2) Lagu Malam Kudus (2) Lagu Rohani (2) Lawan Covid19 (2) Lintas Agama (2) Madah dan Lagu Liturgi (2) Makna Natal (2) Maria Berdukacita (2) Maria Dikandung Tanpa Noda (2) Maria Ratu Rosario Suci (2) Motivator (2) Mujizat Kayu Salib (2) Mutiara Kata (2) New Normal (2) Nita Setiawan (2) Organis Gereja (2) Penyaliban Yesus (2) Perarakan dalam Liturgi (2) Peristiwa Natal (2) Perubahan (2) Pohon Natal (2) Renungan Paskah (2) Sakramen Gereja (2) Sakramen Imamat (2) Sakramen Minyak Suci (2) Sakramen Penguatan (2) Sekuensia (2) Sharing Kitab Suci (2) Tahun Liturgi (2) Tujuan dan Makna Devosi (2) Ucapan Selamat (2) Virus Corona (2) WYD 2013 (2) Youtuber Top (2) 2 Korintus (1) Aborsi dan Kontrasepsi (1) Abraham Linkoln (1) Adorasi Sakramen Mahakudus (1) Agama Kristiani (1) Ajaran Gereja RK (1) Alam Gaib (1) Alam Semesta (1) Alkitab (1) Allah Inkarnasi (1) Allah atau Mamon (1) Arianisme (1) Ayat Alquran-Hadist (1) Bapa Kami (1) Berdamai (1) Berhati Nurani (1) Berita (1) Berita Duka (1) Berita International (1) Bible Emergency (1) Bukan Take n Give (1) Busana Liturgi (1) Cara Mengatasi (1) Cinta Sesama (1) Cintai Musuhmu (1) D Destruktif (1) D Merusak (1) Dialog (1) Doa Bapa Kami (1) Doa Permohonan (1) Doa Untuk Negara (1) Documentasi (1) Dogma EENS (1) Doktrin (1) Dosa Ketidakmurnian (1) Dunia Berubah (1) Egois dan Rakus (1) Era Google (1) Evangeliarium (1) Filioque (1) Garputala (1) Gereja Orthodox (1) Gereja Samarinda (1) Godaan Iblis (1) Golput No (1) Hal Pengampunan (1) Hamba Dosa (1) Hari Bumi (1) Hari Raya / Solemnity (1) Haus Darah (1) Hidup Kekal (1) Hierarki Gereja (1) Homili Ibadat Syukur (1) Ibadat Kremasi (1) Ibadat Pelepasan Jenazah (1) Ibadat Pemakaman (1) Ibadat Rosario (1) Ibadat Tobat (1) Imam Kristiani (1) Imperialisme (1) Influencer Tuhan (1) Inisiator Keselamatan (1) Injil Mini (1) Inspirasi Hidup (1) Irak (1) Israel (1) Jangan Mengumpat (1) Kandang Natal (1) Karismatik (1) Kasih (1) Kasih Ibu (1) Kata Allah (1) Kata Mutiara (1) Katekismus (1) Keadilan Sosial (1) Kebaikan Allah (1) Kebiasaan Buruk Kristiani (1) Kedewasaan Kristen (1) Kehadiran Allah (1) Kejujuran dan Kebohongan (1) Kelahiran (1) Keluarkan Kata Positif (1) Kemiskinan (1) Kesehatan (1) Kesetiaan (1) Kesombongan (1) Kiss Of Life (1) Kompendium Katekismus (1) Kompendium Sejarah (1) Konsili Nicea (1) Konsili Vatikan II (1) Kremasi Jenazah (1) Kumpulan cerita (1) Lamentasi (1) Lectionarium (1) Mantilla (1) Maria Minggu Ini (1) Martir Modern (1) Masa Puasa (1) Masalah Hidup (1) Melawan Setan (1) Mengatasi Kesepian (1) Menghadapi Ketidakpastian (1) Menjadi Bijaksana (1) Menuju Sukses (1) Mgr A Subianto B (1) Misteri Kerajaan Allah (1) Misterius (1) Moral Katolik (1) Mosaik Basilika (1) Mukjizat Cinta (1) Mukzijat (1) Nasib Manusia (1) Opini (1) Orang Berdosa (1) Orang Jahudi (1) Orang Kudus (1) Orang Lewi (1) Orang Munafik (1) Orang Pilihan (1) Orang Sempurna (1) Ordo dan Kongregasi (1) Owner Facebooks (1) Pandangan Medis (1) Para Rasul (1) Pelayanan Gereja (1) Pembual (1) Pencegahan Kanker (1) Penderitaan Sesama (1) Pendiri Facebooks (1) Penerus Gereja (1) Penjelasan Arti Salam (1) Penyelamatan Manusia (1) Penyelenggara Ilahi (1) Perasaan Iba (1) Perdamaian Dunia (1) Perjamuan Paskah (1) Perjamuan Terakhir (1) Perkataan Manusia (1) Perselingkuhan (1) Pertobatan (1) Pesta Natal (1) Pikiran (1) Positik kpd Anak (1) Presiden Soekarno (1) Pusing 7 Keliling (1) Putra Tunggal (1) Rasio dan Emosi (1) Roh Jiwa Tubuh (1) Roti Perjamuan Kudus (1) Saat Pembatisan (1) Saat Teduh (1) Sabat (1) Sahabat lama (1) Sakit Jantung (1) Sakramen Baptis (1) Saksi Yehuwa (1) Salib Yesus (1) Sambutan Sri Paus (1) Sejarah Irak (1) Selamat Natal (1) Selamat Tahun Baru (1) Selingan (1) Siapa Yesus (1) Soal Surga (1) Surat Kecil (1) Surat bersama KWI-PGI (1) Surga Dan Akherat (1) Tafsiran Alkitab (1) Tamak atau Rakus (1) Tanda Beriman (1) Tanda Percaya (1) Tanpa Korupsi (1) Tanya Jawab (1) Teladan Manusia (1) Tembok Yeriko (1) Tentang Rakus (1) Teologi Di Metropolitan (1) Thomas Aquinas (1) Tim Liturgi (1) Tokoh Alkitab (1) Tokoh Gereja (1) Tolong Menolong (1) Tradisi Katolik (1) Tri Hari Suci (1) Triniter (1) True Story (1) Tugas Suku Lewi (1) Tugu Perdamaian (1) Tuguran Kamis Putih (1) Tuhan Perlindungan (1) Tulisan WAG (1) YHWH (1) Yesus Manusia (1) Yesus Manusia Allah (1) Yesus Nubuat Nabi (1) Yesus Tetap Sama (1)