Latest News

Showing posts with label Rabu Abu. Show all posts
Showing posts with label Rabu Abu. Show all posts

Tuesday, February 25, 2020

5 PERTANYAAN TENTANG RABU ABU YANG SERING DI TERIMA UMAT KATOLIK


Hari ini umat Katolik di seluruh dunia akan merayakan Hari Rabu Abu. Rabu Abu adalah hari di mana umat Katolik memulai masa pertobatan atau permulaan masa Prapaskah.
[ gerejark.blogspot.com ]
Banyak perayaan khas dengan suasana tobat yang akan di jalani umat Katolik selama masa Prapaskah. Mulai dari puasa, aksi puasa pembangunan, pengakuan dosa, hingga Jalan Salib.

Sejumlah ritual itu adalah siklus yang terus terulang tiap tahun. Namun, terkadang ada hal-hal sederhana yang luput dari perhatian. Kita kaget sendiri ketika sesama umat Katolik atau umat dari agama lain bertanya tentang hal-hal sederhana itu.

Berikut ini adalah 5 pertanyaan tentang hari raya Rabu Abu yang sering diajukan kepada umat Katolik. Ketika kamu bertemu dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, kamu harus menjawab demikian.

1. Abu yang dioleskan di dahi itu terbuat dari apa?

Orang mungkin saja bertanya, dari mana abu yang dioleskan di dahi dalam Misa Rabu Abu? Atau abu tersebut di buat dari bahan apa?

Ternyata abu yang kita terima dalam bentuk olesan tanda salib di dahi itu dibuat dari debu hasil pembakaran daun palma yang diberkati pada Minggu Palma tahun sebelumnya. Daun palma dalam tradisi umat Katolik mengandung makna kemenangan.

2. Kenapa harus abu?

Dasar jawaban untuk pertanyaan ini adalah kitab Kejadian 2:7. Disana di katakan bahwa Allah menciptakan Adam dari ‘debu’. Dan ada juga kisah tentang Yesus menyembuhkan orang buta dengan mengoleskan tanah kepada mata orang buta itu, dalam kitab Yohanes 9:6.

Dengan abu yang kita terima, kita kembali di tandai untuk menyambut hidup Yesus Kristus yang sanggup memperbarui dan menyempurnakan kita kembali.

3. Kenapa di oleskan di dahi?

Abu di oleskan di dahi untuk membantu kita mengenali kembali area spiritual, tempat dimana kita dapat berkembang dan area kedosaan mana yang harus kita jauhi. Dahi (dan kepala) adalah tempat pikiran dan akal budi bekerja.

Untuk bertobat kita mesti berpaling dari dosa dan mengarah kepada Allah. Kita menggunakan abu sebagai ekspresi bahwa kita perlu memperbarui kembali iman kita.

4. Doa apa yang pas untuk di doakan setelah menerima abu?

Segalam macam doa yang diujarkan dengan penuh penghayatan pasti di dengar oleh Tuhan. Doa yang di maksud bisa dalam bentuk doa spontan atau doa-doa yang sudah disiapkan dalam buku-buku liturgi.

Tapi kalau kamu masih bingung untuk mencari doa yang cocok, kamu bisa memilih dari kitab Mazmur yang mengandung tema pertobatan. Kamu bisa memilih Mazmur 6 atau Mazmur 32. Daraskan salah satu sebagai doa.

5. Masa Prapaskah berlangsung berapa lama?

Terhitung sejak Rabu Abu, umat Katolik akan merayakan masa pertobatan atau masa Prapaskah selama 4O hari, tanpa menghitung hari Minggu. Masa Prapaskah akan selesai atau genap 40 hari pada hari Sabtu sebelum hari Minggu Palma.

Angka empat puluh ini mengingatkan kita akan perjalanan bangsa Israel selama 40 tahun di padang gurun dan puasa Yesus selama 40 hari. Selama empat puluh hari ini umat Katolik melakukan ziarah iman.

Ini sejumlah pertanyaan yang bisa kamu jumpai dalam keseharian. Apalagi, minggu ini kita akan merayakan hari Rabu Abu sehingga 5 pertanyaan ini bisa membantu kamu untuk menghayati perayaan tersebut dengan lebih baik.
[ gerejark.blogspot.com ]
Dicopy-paste dan diposting kembali oleh : Rinnong - Duc in Altum
[https://stand-under.blogspot.com/2020/02/5-pertanyaan-tentang-rabu-abu-yang.html]


💙 MAKNA ABU 
MENURUT KITAB SUCI 

👼🏻 Sebelum kita menerima Abu di dahi kita pada  Hari Rabu Abu, ada baiknya kita mengerti makna dibalik simbol ABU dalam tradisi Kitab Suci. 

👼🏻 Kata ABU beberapa kali muncul bersamaan dengan kata DEBU. Dua kata ini berasal dari akar kata yang sama. APAR = Debu, IPER= Abu. 

👼🏻 Debu adalah benda terkecil (pada zaman itu, sebelum ditemukan atom atau partikel), sifatnya: tidak ada artinya, mengotori, tak berguna dan tak bermanfaat, namun masih bisa dilihat. 

👼🏻 Sementara Abu mengacu pada sisa-sisa benda-benda yang dibakar. Mengacu pada kemusnahan sesuatu yang ada menjadi tiada, kesia-siaan, dan tidak punya arti lagi. 

👼🏻 Abraham ketika Ia berbicara dengan Tuhan, mengakui dirinya hanyalah debu dan abu (Kej 18:27).

👼🏻 Debu dan abu adalah benda yang mempunyai derajat paling rendah di antara benda-benda lainnya. 

👼🏻 Dalam kitab Samuel dikatakan debu dan abu adalah tempat tinggal orang-orang miskin dan orang lemah. Allah mengangkat mereka dari debu dan abu. 1Sam 2:8.                                        
 👼🏻  Ada beberapa tokoh dalam Kitab Suci yang menggunakan ritual pertobatan dengan menggunakan debu dan abu: 

1. Ayub. 42:6 "Ayub bertobat dalam debu dan abu"

2. Nabi Yehezkiel menyerukan pertobatan kepada Israel dengan menaruh abu di atas kepala dan berguling dalam debu. (Yeh 27:30)

3. Raja Niniwe setelah mendengar nubuat penghukuman yang disampaikan Yunus. Raja ini menyesal dan duduk di atas debu (Yun 3:6).

👼🏻 Dari beberapa contoh kemunculan debu dan abu di atas, kita bisa menarik inspirasi dari tindakan pertobatan dengan penerimaan abu di dahi kita: 

PERTAMA
🙏 Kita melihat SIAPA DIRI KITA di hadapan Allah. Tuhan lah Allah, Raja atas diri kita, sementara kita bukanlah apa-apa, tidak berarti, seorang hamba sahaya, tetapi DIKASIHI olehNya.

KEDUA
🙏 Debu dan abu adalah simbol hancurnya hati dan diri kita setelah kita menyadari betapa DOSA TELAH MERUSAK DIRI KITA sedemikian rupa. 

👼🏻 Kita menjadi tidak bisa berpikir jernih, penuh nafsu dan tipu daya, pintar bersandiwara, melakukan kebohongan demi kebohongan. 

👼🏻 Karena dosa kita lupa bahwa kita membutuhkan Tuhan dan sesama. Kita menjadi sedemikian sombong, angkuh dan congkak hati. 

KETIGA
🙏Menjadi debu dan abu artinya kita meninggalkan kedirian kita, dengan segala kesombongan, sifat egois, segala hal-hal yang merusak identitas kita sebagai anak-anak Allah, yang telah ditebus oleh Darah Anak Allah.

KEEMPAT
🙏 Kesadaran bahwa diri kita adalah debu membantu kita untuk melihat orang lain. 

👼🏻 Kita semua berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu, maka tidak perlu ada yang disombongkan lagi. Tidak perlu seorang pun merasa lebih hebat dari orang lain lalu memandang rendah orang lain.

KELIMA
🙏 Sebutir debu tidak akan terlihat oleh mata. Debu akan terlihat bila dikumpulkan bersama debu lainnya. 

👼🏻 Bukankah dunia ini berasal dari kumpulan milyaran debu. Maka diriku yang adalah debu, akan lebih menemukan eksistensi dan maknanya, ketika aku berada bersama yang lain. 

👼🏻 Aku memerlukan orang lain, dan orang lain pun memerlukan aku. 

👼🏻 Selamat memasuki MASA PENUH KERAHIMAN ALLAH.
GBU all 🙏😇



Saturday, February 21, 2015

Rabu Abu Dalam Masa Puasa Umat Katolik

�you are dust, and to dust you shall return� � Genesis

Puasa merupakan sebuah ajang olah rohani yang hidup dalam tradisi kebudayaan masyarakat dunia. Berbagai agama memiliki tradisinya sendiri juga mulai dari Yahudi hingga Hindu yang menekankan pada askestisme serta kemampuan menahan nafsu duniawi. Puasa menjadi sebuah proses latihan rohani yang menantang sekaligus mengajarkan manusia untuk menimba kesadaran yang lebih atau magis.

Dalam tradisi Gereja Katolik, Puasa berlangsung selama 40 hari dan dimaknai sebagai sebuah momen penting untuk pertobatan. Tradisi ini merujuk pada teladan yang dibagikan oleh tokoh-tokoh dari bagian perjanjian lama Kitab Suci yang diteladani oleh umat Kristen. Musa misalnya, melakukan puasa selama 40 hari sebelum ia menerima Sepuluh Perintah Allah yang termashyur itu. Demikian pun Nabi Elia bahkan Yesus sendiri pun menjalani puasa selama 40 Hari 40 Malam di Padang Gurun.

Berdasarkan tradisi baik berpuasa serta perhitungan angka 40 hari yang menyiratkan lamanya masa permenungan dan tobat, maka Gereja Katolik menyusun sendiri rangkaiannya secara liturgis. Secara keseluruhan umat Katolik berpuasa selama 6 pekan. Mengingat hari Minggu dipandang sebagai hari peringatan Kebangkitan maka hari ini tidak dianggap termasuk dalam masa Puasa. Dengan demikian bila dihitung mundur dari Hari Minggu Perayaan Paskah dengan mengurangi jumlah hari Minggu yang ada, maka akan ditemukan permulaan puasa di Hari Rabu.

Lalu, mengapa disebut Rabu Abu?

Mengingat bahwa tradisi berpuasa dalam kekatolikan menyangkut semangat dan laku tobat, maka awal puasa pun berefleksi dari kisah pertobatan Niniwe. Kisah tentang bagaimana Yunus dengan segala kegundahan sekaligus ketaatannya untuk membawa pesan pertobatan ke kota yang diberikan padanya untuk didatangi. Atas usaha Yunus di abad ke 5, kota Niniwe pun memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung sebagai sebuah ungkapan penyesalan akan dosa-dosa mereka pada Allah. Bahkan raja pun turut menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu untuk menunjukkan sesalnya.

Penggunaan abu sebagai salah satu simbol dalam liturgi Katolik memang banyak didasari pada makna abu dalam perjanjian lama. Abu menjadi lambang bagi mereka yang berkabung, lambang kefanaan dan juga tobat. Dalam kitab Ester misalnya, pada masa 485-464 SM, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros untuk melakukan pembunuhan atas semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia. Demikian pun Ayub yang kisahnya ditulis sekitar abad 7 hingga 5 SM. Ia menyatakan ungkapan sesal pada Allah dengan duduk diatas debu.

Rabu Abu menjadi lebih dikenal secara khas setelah ritual tersebut dikembangkan secara liturgis. Menurut catatan yang ditemukan pada edisi awal Gregorian Sacramentary dan terbit di sekitar abad ke 8, pernah seorang Imam Anglo-Saxon berkotbah. Dalam kotbahnya di sekitar 1000, imam yang bernama Aelfric tersebut berujar:

�Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah�

Dengan demikian diketahui bahwa Gereja Katolik mulai menggunakan abu sebagai simbol tobat sebagaimana praktik yang lazim dipakai pada kitab suci. Sehingga sejak abad pertengahan , abu pun mulai menandai masuknya Prapaskah bagi umat Katolik untuk menyadari kefanaan dan perlunya pertobatan. Umat katolik menaburkan abu di kepalanya sebagai simbol serta sikap tobat mereka.

Pada praktiknya di masa sekarang, abu yang digunakan dalam ritual Rabu Abu berasal dari hasil pembakaran daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya. Imam kemudian akan memberkati abu tersebut untuk kemudian ditandai pada dahi umat beriman. Tanda berupa salib di dahi akan dikenakan seraya imam berkata,

�Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu,�
atau
�Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.�

Maka bagi non Katolik, jangan heran bila sekali dalam setahun pada saat Hari Rabu Abu, anda melihat teman anda yang Katolik di dahinya terdapat tanda yang berasal dari abu.

Berbagai latar yang telah dikemukakan ini, juga melandaskan ingatan akan hakikat manusia di awal mula penciptaan. Selain kemuliaan yang dianugerahkan oleh Allah melalui jiwa dan roh, manusia diingatkan pada asal muasal raganya dari debu. Hal ini inilah yang membentuk sebutan Rabu Abu atau Ash Wednesday, karena pada hari pertama permulaan puasa itu umat Katolik diajak menyadari bahwa dirinya berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu pada akhirnya nanti.

Tanda abu di dahi bagi umat Katolik bukan sebagai tanda ketaatan ibadah, bukan pula sebagai simbol kesucian si pemilik dahi, atau bukan pula aksesori yang menjadi penghias diri, apalagi dijadikan sebagai obyek selfie. Tanda abu di kening umat Katolik pada Rabu Abu sejatinya mengingatkan bahwa si pemilik dahi adalah seorang pendosa, seorang yang sadar akan kedosaannya, seorang yang melalui dosa belajar untuk memperbaiki hidupnya. Melalui pertobatan.

Dalam konteks kebangsaan, mari kita sertakan dalam doa tobat kita, para pemimpin dan elit politik negeri. Semoga mereka juga diberi kebijaksanaan dan ingatan akan abu sejarah kelam bangsa ini. Agar melalui abu sejarah korupsi dan pertarungan kekuasaan di masa lalu, kita menyadari pentingnya menjaga pondasi masa depan bangsa. Sebelum semua itu pun kembali menjadi debu.

Selamat memasuki Rabu Abu dengan semangat pertobatan kalbu.

Sumber:
http://www.sembirink.com/

Wednesday, March 5, 2014

Sejarah Rabu Abu (dies cinerum)

Rabu Abu yang awalnya dikenal dengan nama dies cinerum (hari abu) adalah hari pertama masa Pra-Paskah, yaitu 40 hari sebelum Paskah (hari Minggu tidak dihitung) atau 44 hari (termasuk Minggu) sebelum Jumat Agung. Pada Rabu Abu dan setiap hari jumat selama 40 hari tersebut umat Katolik berusia 18�59 tahun diwajibkan berpuasa, dengan batasan makan kenyang paling banyak satu kali, dan berpantang.

Pada Pada hari Rabu Abu, umat katolik datang ke Gereja dan diberi tanda salib dari abu sebagai simbol upacara ini pada dahinya. Simbol ini mengingatkan umat akan ritual Israel pada jaman dahulu di mana seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan (Ester 4:1, 3). Dalam Mazmur 102:10 penyesalan juga digambarkan dengan "memakan abu": "Sebab aku makan abu seperti roti, dan mencampur minumanku dengan tangisan."

Yesus juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, �Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.� (Mat 11:21)

Memang jika melihat sumber-sumber dalam kitab suci, begitu banyak referensi penggunaan abu. Tetapi dalam dokumen gereja, catatan tentang penggunaan abu pada awal-awal sejarah Gereja tidaklah banyak. Dalam bukunya �De Poenitentia�, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah �hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.� Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya �Sejarah Gereja� bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.

Sekitar abad kedelapan, mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan �Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.� Setelah memercikkan air suci, imam bertanya, �Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?� Yang mana akan dijawab orang tersebut dengan, �Saya puas.�

Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian dan tobat. Kemungkinan kebiasaan mengolesi abu pada dahi atau ubun-ubun baru dirayakan secara liturgis pada tahun 900-an. Sebelumnya, abu hanya digunakan sebagai suatu tanda para pentobat yang mau mengaku dosa. Barulah pada awal abad ke-11, ada catatan yang menggambarkan pengolesan abu pada hari Rabu sebelum memasuki Masa Prapaskah dan pada akhir abad tersebut, Paus Urbanus II menitahkan penggunaan abu secara umum pada hari tersebut.

Awalnya, para klerus dan kaum pria menerima penaburan abu di atas kepala mereka. Sementara itu kaum wanita menerima tanda salib abu di dahi mereka. Sekarang, seperti yang kita ketahui bersama, semua menerima tanda salib abu di dahi.

Pada abad ke-12 dikeluarkanlah sebuah aturan bahwa abu harus terbuat dari cabang dan daun palma dari Minggu Palma tahun sebelumnya. Di beberapa paroki masih ada kebiasaan untuk mengumpulkan daun-daun tersebut dari semua umat untuk dibakar dalam upacara bersama sebelum masa Prapaskah dimulai.

Demikian sedikit informasi yang dihimpun dari berbagai sumber tentang sejarah Rabu abu yang setiap tahun kita peringati menjelang masa paskah. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca semua.

Sumber :
http://belajarliturgi.blogspot.com/2011/03/sejarah-rabu-abu-dies-cinerum.html

Saturday, February 16, 2013

Mengapa Disebut �Rabu Abu�?

Rabu Abu adalah hari pertama Masa Prapaska, yang menandai bahwa kita memasuki masa tobat 40 hari sebelum Paska. Angka �40? selalu mempunyai makna rohani sebagai lamanya persiapan. Misalnya, Musa berpuasa 40 hari lamanya sebelum menerima Sepuluh Perintah Allah (lih. Kel 34:28), demikian pula Nabi Elia (lih. 1 raj 19:8). Tuhan Yesus sendiri juga berpuasa selama 40 hari 40 malam di padang gurun sebelum memulai pewartaan-Nya (lih. Mat 4:2).

1. Mengapa hari Rabu?

Nah, Gereja Katolik menerapkan puasa ini selama 6 hari dalam seminggu (hari Minggu tidak dihitung, karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Yesus), maka masa Puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40 hari. Dengan demikian, hari pertama puasa jatuh pada hari Rabu. (Paskah terjadi hari Minggu, dikurangi 36 hari (6 minggu), lalu dikurangi lagi 4 hari, dihitung mundur, jatuh pada hari Rabu).

Jadi penentuan awal masa Prapaska pada hari Rabu disebabkan karena penghitungan 40 hari sebelum hari Minggu Paska, tanpa menghitung hari Minggu.

2. Mengapa Rabu �Abu�?

Abu adalah tanda pertobatan. Kitab Suci mengisahkan abu sebagai tanda pertobatan, misalnya pada pertobatan Niniwe (lih. Yun 3:6). Di atas semua itu, kita diingatkan bahwa kita ini diciptakan dari debu tanah (Lih. Kej 2:7), dan suatu saat nanti kita akan mati dan kembali menjadi debu. Olah karena itu, pada saat menerima abu di gereja, kita mendengar ucapan dari Romo, �Bertobatlah, dan percayalah kepada Injil� atau, �Kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu� (you are dust, and to dust you shall return).�

3. Tradisi Ambrosian

Namun demikian, ada tradisi Ambrosian yang diterapkan di beberapa keuskupan di Italia, yang menghitung Masa Prapaskah selama 6 minggu, termasuk hari Minggunya, di mana kemudian hari Jumat Agung dan Sabtu Sucinya tidak diadakan perayaan Ekaristi, demi merayakan dengan lebih khidmat Perayaan Paskah.

Sumber :
http://katolisitas.org/7997/mengapa-disebut-rabu-abu

Friday, March 16, 2012

Apa Itu Rabu Abu ?

Rabu Abu adalah permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa pertobatan, pemeriksaan batin dan berpantang guna mempersiapkan diri untuk Kebangkitan Kristus dan Penebusan dosa kita.

Mengapa pada Hari Rabu Abu kita menerima abu di kening kita? Sejak lama, bahkan berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat. Misalnya, dalam Kitab Yunus dan Kitab Ester. Ketika Raja Niniwe mendengar nubuat Yunus bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan, maka turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu. (Yunus 3:6). Dan ketika Ester menerima kabar dari Mordekhai, anak dari saudara ayahnya, bahwa ia harus menghadap raja untuk menyelamatkan bangsanya, Ester menaburi kepalanya dengan abu (Ester 4C:13). Bapa Pius Parsch, dalam bukunya "The Church's Year of Grace" menyatakan bahwa "Rabu Abu Pertama" terjadi di Taman Eden setelah Adam dan Hawa berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Oleh karena itu, imam atau diakon membubuhkan abu pada dahi kita sambil berkata: "Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu" atau "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil".

Abu yang digunakan pada Hari Rabu Abu berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Setelah Pembacaan Injil dan Homili abu diberkati. Abu yang telah diberkati oleh gereja menjadi benda sakramentali.

Dalam upacara kuno, orang-orang Kristen yang melakukan dosa berat diwajibkan untuk menyatakan tobat mereka di hadapan umum. Pada Hari Rabu Abu, Uskup memberkati kain kabung yang harus mereka kenakan selama empat puluh hari serta menaburi mereka dengan abu. Kemudian sementara umat mendaraskan Tujuh Mazmur Tobat, orang-orang yang berdosa berat itu diusir dari gereja, sama seperti Adam yang diusir dari Taman Eden karena ketidaktaatannya. Mereka tidak diperkenankan masuk gereja sampai Hari Kamis Putih setelah mereka memperoleh rekonsiliasi dengan bertobat sungguh-sungguh selama empat puluh hari dan menerima Sakramen Pengakuan Dosa. Sesudah itu semua umat, baik umum maupun mereka yang baru saja memperoleh rekonsiliasi, bersama-sama mengikuti Misa untuk menerima abu.

Sekarang semua umat menerima abu pada Hari Rabu Abu. Yaitu sebagai tanda untuk mengingatkan kita untuk bertobat, tanda akan ketidakabadian dunia, dan tanda bahwa satu-satunya Keselamatan ialah dari Tuhan Allah kita.

sumber : Catholic Online Lenten Pages; www.catholic.org/lent/lent.html &
Ask A Franciscan; St. Anthony Messenger Magazine; www.americancatholic.org

Thursday, March 10, 2011

Rabu Abu : Asal Mula Perayaan & Penggunaan Abu

oleh: Romo William P. Saunders *
Seorang teman Protestan bertanya mengapa orang Katolik mengenakan abu pada hari Rabu Abu. Bagaimanakah asal mula perayaan dan penggunaan abu?
seorang pembaca di Purcellville

Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal / tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1). Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM) menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6).

Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, �Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.� (Dan 9:3). Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.

Yesus Sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, �Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.� (Mat 11:21)*

Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya �De Poenitentia�, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah �hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.� Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya �Sejarah Gereja� bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.

Dalam abad pertengahan (setidak-tidaknya abad kedelapan), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan �Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.� Setelah memercikkan air suci, imam bertanya, �Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?� Yang mana akan dijawab orang tersebut dengan, �Saya puas.� Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian dan tobat.

Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan �Rabu Abu� ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, �Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah.� Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.

Dalam liturgi kita sekarang, dalam perayaan Rabu Abu, kita mempergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, �Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu,� atau �Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.� Sementara kita memasuki Masa Prapaskah yang kudus ini guna menyambut Paskah, patutlah kita ingat akan makna abu yang telah kita terima: kita menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa kita. Kita mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan kita. Kita memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam pembaptisan, yaitu ketika kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang baru bersama Kristus. Dan yang terakhir, kita menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu, kita berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Pada intinya, kita mati bagi diri kita sendiri, dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus.

Sementara kita mencamkan makna abu ini dan berjuang untuk menghayatinya terutama sepanjang Masa Prapaskah, patutlah kita mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam karya dan amal belas kasihan terhadap sesama. Bapa Suci dalam pesan Masa Prapaskah tahun 2003 mengatakan, �Merupakan harapan saya yang terdalam bahwa umat beriman akan mendapati Masa Prapaskah ini sebagai masa yang menyenangkan untuk menjadi saksi belas kasih Injil di segala tempat, karena panggilan untuk berbelas kasihan merupakan inti dari segala pewartaan Injil yang sejati.� Beliau juga menyesali bahwa �abad kita, sungguh sangat disayangkan, terutama rentan terhadap godaan akan kepentingan diri sendiri yang senantiasa berkeriapan dalam hati manusia � Suatu hasrat berlebihan untuk memiliki akan menghambat manusia dalam membuka diri terhadap Pencipta mereka dan terhadap saudara-saudari mereka.�

Dalam Masa Prapaskah ini, tindakan belas kasihan yang tulus, yang dinyatakan kepada mereka yang berkekurangan, haruslah menjadi bagian dari silih kita, tobat kita, dan pembaharuan hidup kita, karena tindakan-tindakan belas kasihan semacam itu mencerminkan kesetiakawanan dan keadilan yang teramat penting bagi datangnya Kerajaan Allah di dunia ini.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : �Straight Answers: The Ashen Cross� by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright �2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
* ayat dikutip dari Kitab Suci Komunitas Kristiani, Edisi Pastoral Katolik
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: �diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.�

Tags

Renungan (53) Sejarah Gereja (45) Kepausan (42) Katekese (40) Para Kudus (39) Berita Katolik (37) Ekaristi (36) Kitab Suci (33) Yesus Kristus (33) Doa dan Hymne (30) Liturgi (29) Apologetik (26) Renungan Cerdas (25) Fransiskus (22) Santa Maria (22) Artikel Lain (19) Dokumen Gereja (19) Gereja Katolik (19) Katekese Liturgi (17) Ajaran Gereja Katolik (16) Komuni Kudus (16) Paskah (16) Benediktus XVI (13) Dasar Iman Katolik (13) Kisah Nyata (13) Renungan Poltik (13) Natal (11) Kompendium Katolik (10) Bapa Gereja (9) Katolik Indonesia (9) Katolik Timur (9) Petrus (9) Roh Kudus (9) Sakramen Gereja Katolik (9) Allah Tritunggal (8) Perayaan Ekaristi (8) Prapaskah (8) Prodiakon (8) Tradisi (8) Kesaksian (7) Pemazmur (7) Sakramen Ekaristi (7) Tuhan Allah (7) Adven (6) Kematian (6) Liturgi dan Kaum Muda (6) Misdinar (6) Paduan Suara Gereja (6) Pekan Suci (6) Rabu Abu (6) Ajaran Gereja (5) Hari Peringatan (5) Hari Pesta / Feastum (5) Kamis Putih (5) Maria Bunda Allah (5) Perayaan Natal (5) Piranti Liturgi (5) Seputar Liturgi (5) Tritunggal (5) EENS (4) Ibadat Kematian (4) Ibadat Peringatan Arwah (4) Katekismus Gereja (4) Maria Diangkat Ke Surga (4) Minggu Palma (4) Misa Jumat Pertama (4) Misa Latin (4) Nasihat Bijak (4) Nyanyian Liturgi (4) Pentakosta (4) Sakramen Perkawinan (4) Seremonarius (4) Surat Gembala Paus (4) Surat Gembala Uskup (4) Tahun Iman (4) Tokoh Nasional (4) Tuhan Yesus (4) Beato dan Santo (3) Berita Nasional (3) Doa Litani (3) Doa Rosario (3) Dupa dalam Liturgi (3) Eksorsisme (3) Jalan Salib (3) Jumat Agung (3) Lektor (3) Liturgi dan Anak (3) Makna Homili (3) Malam Paskah (3) Masa Prapaskah (3) Misa Krisma (3) Misa Tridentina (3) Musik liturgi (3) Novena Natal (3) Pantang dan Puasa (3) Sakramen Tobat (3) Spiritualitas (3) Surat Gembala KWI (3) Tata Gerak dalam Liturgi (3) Tokoh Internasional (3) Toleransi Agama (3) Yohanes Paulus II (3) Cinta Sejati (2) Dasar Iman (2) Denominasi (2) Devosi Hati Kudus Yesus (2) Devosi Kerahiman Ilahi (2) Doa (2) Doa Angelus (2) Doa Novena (2) Doa dan Ibadat (2) Ekumenisme (2) Gua Natal (2) Hari Sabat (2) Homili Ibadat Arwah (2) How To Understand (2) Ibadat Syukur Midodareni (2) Inkulturasi Liturgi (2) Inspirasi Bisnis (2) Kanonisasi (2) Kasih Radikal (2) Keajaiban Alkitab (2) Keselamatan Gereja (2) Kisah Cinta (2) Korona Adven (2) Lagu Malam Kudus (2) Lagu Rohani (2) Lawan Covid19 (2) Lintas Agama (2) Madah dan Lagu Liturgi (2) Makna Natal (2) Maria Berdukacita (2) Maria Dikandung Tanpa Noda (2) Maria Ratu Rosario Suci (2) Motivator (2) Mujizat Kayu Salib (2) Mutiara Kata (2) New Normal (2) Nita Setiawan (2) Organis Gereja (2) Penyaliban Yesus (2) Perarakan dalam Liturgi (2) Peristiwa Natal (2) Perubahan (2) Pohon Natal (2) Renungan Paskah (2) Sakramen Gereja (2) Sakramen Imamat (2) Sakramen Minyak Suci (2) Sakramen Penguatan (2) Sekuensia (2) Sharing Kitab Suci (2) Tahun Liturgi (2) Tujuan dan Makna Devosi (2) Ucapan Selamat (2) Virus Corona (2) WYD 2013 (2) Youtuber Top (2) 2 Korintus (1) Aborsi dan Kontrasepsi (1) Abraham Linkoln (1) Adorasi Sakramen Mahakudus (1) Agama Kristiani (1) Ajaran Gereja RK (1) Alam Gaib (1) Alam Semesta (1) Alkitab (1) Allah Inkarnasi (1) Allah atau Mamon (1) Arianisme (1) Ayat Alquran-Hadist (1) Bapa Kami (1) Berdamai (1) Berhati Nurani (1) Berita (1) Berita Duka (1) Berita International (1) Bible Emergency (1) Bukan Take n Give (1) Busana Liturgi (1) Cara Mengatasi (1) Cinta Sesama (1) Cintai Musuhmu (1) D Destruktif (1) D Merusak (1) Dialog (1) Doa Bapa Kami (1) Doa Permohonan (1) Doa Untuk Negara (1) Documentasi (1) Dogma EENS (1) Doktrin (1) Dosa Ketidakmurnian (1) Dunia Berubah (1) Egois dan Rakus (1) Era Google (1) Evangeliarium (1) Filioque (1) Garputala (1) Gereja Orthodox (1) Gereja Samarinda (1) Godaan Iblis (1) Golput No (1) Hal Pengampunan (1) Hamba Dosa (1) Hari Bumi (1) Hari Raya / Solemnity (1) Haus Darah (1) Hidup Kekal (1) Hierarki Gereja (1) Homili Ibadat Syukur (1) Ibadat Kremasi (1) Ibadat Pelepasan Jenazah (1) Ibadat Pemakaman (1) Ibadat Rosario (1) Ibadat Tobat (1) Imam Kristiani (1) Imperialisme (1) Influencer Tuhan (1) Inisiator Keselamatan (1) Injil Mini (1) Inspirasi Hidup (1) Irak (1) Israel (1) Jangan Mengumpat (1) Kandang Natal (1) Karismatik (1) Kasih (1) Kasih Ibu (1) Kata Allah (1) Kata Mutiara (1) Katekismus (1) Keadilan Sosial (1) Kebaikan Allah (1) Kebiasaan Buruk Kristiani (1) Kedewasaan Kristen (1) Kehadiran Allah (1) Kejujuran dan Kebohongan (1) Kelahiran (1) Keluarkan Kata Positif (1) Kemiskinan (1) Kesehatan (1) Kesetiaan (1) Kesombongan (1) Kiss Of Life (1) Kompendium Katekismus (1) Kompendium Sejarah (1) Konsili Nicea (1) Konsili Vatikan II (1) Kremasi Jenazah (1) Kumpulan cerita (1) Lamentasi (1) Lectionarium (1) Mantilla (1) Maria Minggu Ini (1) Martir Modern (1) Masa Puasa (1) Masalah Hidup (1) Melawan Setan (1) Mengatasi Kesepian (1) Menghadapi Ketidakpastian (1) Menjadi Bijaksana (1) Menuju Sukses (1) Mgr A Subianto B (1) Misteri Kerajaan Allah (1) Misterius (1) Moral Katolik (1) Mosaik Basilika (1) Mukjizat Cinta (1) Mukzijat (1) Nasib Manusia (1) Opini (1) Orang Berdosa (1) Orang Jahudi (1) Orang Kudus (1) Orang Lewi (1) Orang Munafik (1) Orang Pilihan (1) Orang Sempurna (1) Ordo dan Kongregasi (1) Owner Facebooks (1) Pandangan Medis (1) Para Rasul (1) Pelayanan Gereja (1) Pembual (1) Pencegahan Kanker (1) Penderitaan Sesama (1) Pendiri Facebooks (1) Penerus Gereja (1) Penjelasan Arti Salam (1) Penyelamatan Manusia (1) Penyelenggara Ilahi (1) Perasaan Iba (1) Perdamaian Dunia (1) Perjamuan Paskah (1) Perjamuan Terakhir (1) Perkataan Manusia (1) Perselingkuhan (1) Pertobatan (1) Pesta Natal (1) Pikiran (1) Positik kpd Anak (1) Presiden Soekarno (1) Pusing 7 Keliling (1) Putra Tunggal (1) Rasio dan Emosi (1) Roh Jiwa Tubuh (1) Roti Perjamuan Kudus (1) Saat Pembatisan (1) Saat Teduh (1) Sabat (1) Sahabat lama (1) Sakit Jantung (1) Sakramen Baptis (1) Saksi Yehuwa (1) Salib Yesus (1) Sambutan Sri Paus (1) Sejarah Irak (1) Selamat Natal (1) Selamat Tahun Baru (1) Selingan (1) Siapa Yesus (1) Soal Surga (1) Surat Kecil (1) Surat bersama KWI-PGI (1) Surga Dan Akherat (1) Tafsiran Alkitab (1) Tamak atau Rakus (1) Tanda Beriman (1) Tanda Percaya (1) Tanpa Korupsi (1) Tanya Jawab (1) Teladan Manusia (1) Tembok Yeriko (1) Tentang Rakus (1) Teologi Di Metropolitan (1) Thomas Aquinas (1) Tim Liturgi (1) Tokoh Alkitab (1) Tokoh Gereja (1) Tolong Menolong (1) Tradisi Katolik (1) Tri Hari Suci (1) Triniter (1) True Story (1) Tugas Suku Lewi (1) Tugu Perdamaian (1) Tuguran Kamis Putih (1) Tuhan Perlindungan (1) Tulisan WAG (1) YHWH (1) Yesus Manusia (1) Yesus Manusia Allah (1) Yesus Nubuat Nabi (1) Yesus Tetap Sama (1)