Gbr Ilustrasi saja
L. B. Moerdani: Meninggalkan Keyakinan Saya Hanya untuk Mendapat Suatu Jabatan? NEVER..!
Para pemuja jabatan dan kekuasaan hingga mengobral agama, benar-benar kena hantaman halilintar dari seorang Leonardus Benjamin Moerdani. Bukan rahasia khusus lagi bila trend menjadi muallaf karena iming-iming pangkat dan jabatan sudah terjadi secara masif, terstruktur dan sistematis di negeri ini.
Bagi Benny Moerdani, hal itu never! Pendirian Benny soal agama, masalah keyakinan memang terbukti tegas. Dia tidak mau menjual keyakinannya dengan banting harga hingga banting stir, apalagi banting hape China. Keyakinan adalah harta yang paling berharga baik dalam hidup maupun matinya.
Hal tersebut tertuang dalam memoarnya, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (2014). Sebagaimana ditulis tirto.id, Jusuf Wanandi bercerita bagaimana Fikri Jufri bertanya pada Benny, “Kenapa Anda tidak mau masuk Islam supaya kami bisa memilih Anda sebagai Presiden Republik ini?”
Dituliskan, “Semua yang hadir terdiam. Benny menatap tajam Fikri dan bilang: ‘Apa kamu pikir saya semurah itu?’ dengan nada marah. ‘Meninggalkan keyakinan saya hanya untuk mendapat suatu jabatan? Never!'”
Semoga banyak artis politisi dan pejabat publik terkena pukulan halilintar yang menggelegar dari seorang Benny Moerdani. Dyarr ora Cak… bangga kok jadi pejabat karena muallaf. Jadi artis terkenal saja gara-gara bermuallaf ria. Tidak kreatif! Sebangga-bangganya jadi pejabat, menjadi artis terkenal karena muallaf, tetap tidak bisa mengalahkan kebanggaan punya Habib Rizieq yang paling lama ibadah umrah setelah menanam pisang di dekat kandang kambing.
Ketegasan Benny Moerdani rupanya sangat dipengaruhi latar belakang keluarganya. Benny terlahir dari pasangan berbeda agama. Menurut Julius Pour dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan (1995), seperti ditulis tirto.id, ayah Benny yang bernama Moerdani Sosrodirjo adalah seorang pegawai jawatan kereta api kolonial. Dia muslim. Sementara istrinya, guru TK bernama Jeanne Roech—yang berdarah setengah Jerman —beragama Katolik. Kesepuluh anak dari perkawinan mereka semua ikut ajaran Katolik.
Dari keluarga beda agama inilah, dapat diduga kalau Benny menghargai baik ibunya yang Katholik maupun ayahnya yang Muslim. Tidak mengherankan apabila dalam Sebuah tulisan di buku L.B. Moerdani, 1932-2004, menyebut kalau Benny “100 persen Katolik.” menariknya, ke-Katolik-an itu tak diekspresikan secara gamblang dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah tanda kematangan beragama seorang Benny.
Agama sebagai wilayah privat, sebagai urusan kebatinan dan keterhubungan mutlak dengan Sang Pencipta harus tinggal dalam wilayah yang suci. Maka tidak selayaknya urusan yang suci itu diumbar di ranah publik dengan berbagai aksesoris agama. Berbeda sekali dengan orang-orang yang dibuat mabuk oleh syiar agama dimana-mana. Hingga ekspresi keagamaan diumbar tanpa kendali di jagad manusia. Dari ujung rambut hingga ujung kaki melulu dibuat gamis.
Gaya beragama Benny Moerdani memang berkelas. Dia tidak ingin mencemari ruang publik dengan ekspresi beragama yang kelewatan seperti gaya dewa mabok agama. Ruang publik adalah ruang pengabdian untuk kesejahteraan bersama sesuai profesi yang diemban secara profesional.
Itulah Benny. Meski dicap anti-Islam, ia punya banyak kawan dekat beragama Islam. Adnan Ganto, yang tiga dekade malang melintang dan sukses berkarier di bank asing, adalah salah satunya.
Dengan latar belakangnya dunia perbankan, Adnan menjadi penasihat ekonomi Benny yang saat itu menjabat Menteri Pertahanan. Namun, ada harga yang mesti dibayar: kedekatannya dengan Benny membuat Adnan dianggap sudah jadi Katolik oleh pemuka kelompok Islam. Padahal, “kali pertama Adnan naik haji, justru Benny yang memberi fasilitas Ongkos Naik Haji (ONH) Plus.
Sebagaimana ditelusuri tirto.id, Benny sendiri itu punya leluhur beragama Islam. Suatu kali, ketika Try Sutrisno masih menjadi Panglima KODAM Jakarta Raya, ia diajak Benny sowan ke Bima, Nusa Tenggara Barat. Disebutkan dalam buku Keputusan Sulit Adnan Ganto itu bahwa Try Sutrisno diajak Benny untuk berziarah ke makam leluhur-leluhurnya. Sambil menunjuk nisan-nisan itu, ia berkata, “Try, lihat, kamu baca. Ini nenek moyang saya. Orang Islam semua, kan? Pangeran semua.”
Itulah Benny Moerdani. Sosok yang mampu dengan bijak memilah masalah agama. Bahwa beragama itu masalah privat yang terasa nikmat ketika tidak dibawa-bawa ke ruang publik. Penghayatan agama itu begitu suci, maka jangan sampai dibawa-bawa ke jalan-jalan yang penuh debu dan kotoran.
Ah, andai saja orang mau belajar cara agama yang dihidupi Benny Moerdani. Negara ini pasti punya kekebalan alias tidak mempan disulut dengan isu agama. Sayangnya, banyak politisi terkutuk bin busuk yang suka bikin gaduh dengan senjata politisasi agama.