So
https://triaskun.id/2020/03/20/sejarah-berulang/
(opens in a new tab)
*Sejarah Berulang*
*Oleh Trias Kuncahyono*
Bukan hanya Karl Marx yang mengatakan bahwa sejarah selalu berulang. Grup band rock, Santana—dengan Carlos Santana, musisi AS kelahiran Meksiko—pun meneriakkan hal yang sama.
Marx mengatakan, _“Histoire se répète toujours deux fois: la première fois comme tragédie, la deuxième fois comme farce;_ sejarah selalu mengulang dirinya sendiri: pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.” Sementara Santana bertanya, _Who says history doesn’t repeat itself?_ Siapa bilang sejarah tidak mengulang dirinya sendiri? Pertanyaan Santana mengawali lagunya _Oye 2014._
Tetapi, sejarah yang kali ini berulang tidak seperti yang dikatakan Marx, “pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.” Kali ini, sejarah berulang, tetap sebagai tragedi. Tragedi yang merenggut nyawa banyak orang di mana-mana, di banyak negara.
Lebih dari 600 tahun silam, dunia disapu wabah penyakit karena bakteri Yersinia pestis yang kemudian memunculkan istilah _Black Death_, atau _Great Pestilence_ atau _Great Plague,_ atau _Great Mortality._ Disebut _Great Mortality,_ misalnya, karena demikian banyaknya nyawa yang melayang akibat wabah penyakit itu. _Black Death_ diperkirakan membunuh 30 persen hingga 60 persen penduduk Eropa, sekitar 50 juta jiwa, pada waktu itu, abad ke-14; mengurangi penduduk dunia dari sekitar 450 juta menjadi antara 350 juta hingga 375 juta jiwa.
Yang menarik, dari mana penyakit itu berasal. Ole Beneditow dalam _History Today_ (Vol. 55, 3 Maret 2005) menulis, dulu diduga bahwa _Black Death_ berasal di China, tetapi penelitian baru menunjukkan bahwa wabah penyakit itu mulai merebak pada musim semi 1346 di wilayah stepa, yang terbentang dari pantai barat laut Laut Kaspia ke Rusia selatan. Pada waktu itu, daerah tersebut dikuasi orang-orang Mongol.
Akan tetapi, Nicholas Wade ( _The New York Times_, 31 Oktober 2010) berdasarkan kesimpulan para ahli genetika dari Universitas College Cork, Irlandia yang dipimpin Mark Achtman, menulis wabah penyakit itu berasal dari China dan Asia Tengah yang waktu itu dikuasai orang-orang Mongol.
Baik dalam tulisan Ole Beneditov maupun Nicholas Wade, sama disebutkan bahwa wabah sampai ke daratan Eropa lewat Jalur Sutera _(Silk Road)_ “dibawa” orang-orang Mongol ketika mereka menyerang kota pelabuhan Kaffa (sekarang Feodosiya) di Krimea. Mereka mengepung kota pelabuhan dagang itu.
Pada musim gugur 1346 para pengepung terjangkit wabah _Black Death_ dan dari mereka manembus kota. Penduduk kota, antara lain, para pedagang dari Genoa, Italia melarikan diri naik kapal kembali ke Sisilia dan Eropa Selatan. Tanpa mereka ketahui, _Black Death_ terbawa serta, masuk ke daratan Eropa. Dan, masuk ke Afrika Timur “menumpang” armada kapal China—300 kapal—pimpinan Admiral Zheng dalam melakukan pelayaran dagang dari China ke Afrika, 1409.
Dari Kaffa, para pedagang Genoa membawa epidemi ke pelabuhan-pelabuhan di Mediterania (Laut Tengah) dan menyebar ke Sisilia (1347), daratan Italia, Spanyol, dan Perancis (1348); lalu Austria, Hongaria, Swiss, Jerman, dan sejumlah negara lain.
_Black Death_ adalah gelombang kedua dari tiga gelombang, pada masa lalu, yang menyerang Eropa. Yang pertama terjadi pada abad ke-6 di zaman Justinianus I (Flavius Justinianus), menjadi Kaisar Byzantium (527-565). Ketika itu (542), ibu kota Kekaisaran Romawi Timur, Konstanstinopel, menjadi korban lewat kapal dari Mesir.
Sejarawan Byzantium asal Procopius dari Caesarea (500-565) menulis wabah yang berasal dari China itu masuk ke Pelusium, muara Sungai Nil di Afrika Utara. Menurut Wendy Orent, penulis _Plague_, penyakit menyebar ke dua jurusan: utara yakni ke Aleksandria dan timur ke Palestina. Penyebar penyakit ini adalah tikus hitam _(Rattus rattus)_ yang “menumpang” kapal dagang pengangkut gabah (John Horgan, _Ancient History Encyclopedia_, 2014).
Gelombang ketiga—wabah penyakit yang menyerang daratan Eropa—berasal dari Propinsi Yunan China (1894). Dari Yunan, masuk Hongkong kemudian menyebar ke seluruh dunia “membonceng” kapal-kapal dagang: menyerang Hawaii (1899), San Franciscko (1900).
Kini, setelah lebih dari enam abad, muncul wabah penyakit yang berasal dari Wuhan, China: Corana virus (Covid-19). Sejarah telah berulang. Dan, Italia, seperti sebelumnya, menjadi negara terberat kedua setelah China.
Dahulu, wabah Justinian, menjadi titik awal kemunduran Kekaisaran Romawi Timur, karena merosotnya perekonomian dan pelemahan kekaisaran. Menurut Randolph Stilson, _Black Death_, pandemik kedua, mengakhiri abad feodalisme di Eropa.
Walter S Zapotoczny dalam _The Political and Social Consequences of the Black Death_, 1348 – 1351 (2006) menulis, _Black Death_ sangat mempercepat perubahan sosial dan ekonomi selama abad ke 14 dan 15.
Apa yang akan terjadi sekarang ini setelah wabah Covid-19, berakhir? Akan menjadi seperti apa negara-negara yang terkena wabah Covid-19 nanti, seperti China, Italia, Iran, Korea Selatan, dan Perancis, juga negara-negara lain, termasuk Indonesia?
Apakah pandemi Covid-19 akan mampu, misalnya di negeri ini, mengubah sifat mencari untung (entah politik maupun ekonomi, juga sektarian), lebih mementingkan diri sendiri di tengah penderitaan yang menghinggapi sementara orang bahkan elite politik, menjadi lebih solider, toleran, memiliki keutamaan berbela rasa _(compassion),_ tidak egoistik?
Apakah pandemi Covid-19 ini akan mampu mengubah sifat orang yang senang menari di atas penderitaan orang lain dan memunculkan sikap _beyond_ terhadap kepentingan diri dan seluruh kelompoknya?
Apakah pandemi Covid-19, akan mampu mengubah orang di negeri ini, yang dalam bahasanya Syafii Maarif—larut dalam pragmatisme politik yang tunamoral dan tunavisi—menjadi bermoral dan bervisi? Mampukah, “derita nasional” ini menyadarkan orang untuk membuang jauh-jauh pragmatisme politik yang cenderung menghalalkan segala cara termasuk transaksional dalam panggung politik?
Padahal, bukankah, pada dasarnya, manusia seperti dikatakan oleh Cecilius (230-168 SM), adalah _Homo homini deus est, si suum officium sciat_—manusia adalah dewa bagi manusia yang lain jika ia mengetahui kewajibannya. Mengapa demikian, sebab sifat _compassion_, welas asih, bela rasa tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan; alih-alih dimotivasi oleh kepentingan pribadi.
Orang yang benar-benar manusiawi, secara konsisten berorientasi pada orang lain, bukan selalu beroritentasi pada diri sendiri, kepentingan diri sendiri dalam segala macam bentuknya. Hanya orang-orang yang tunamoral, tuna-etika yang mengingkari semua itu. Mereka itu, golongan “Black Death” yang perlu dibasmi karena membawa dunia sekitar kita menjadi hitam kelam.
Sejarah akan selalu berulang. Demikian juga di setiap zaman akan selalu muncul manusia (orang-orang) yang mementingkan diri sendiri, yang mencari keuntungan di tengah kebuntungan orang lain, yang tidak memiliki nilai-nilai keutamaan seperti bela rasa. Mereka ini tidak peduli meski digolongkan sebagai bagian dari _Black Death._ Karena seperti dikatakan Plautus (251-184 SM), _homo homini lupus est,_ manusia adalah serigala bagi manusia lain. Padahal yang diperlukan saat ini adalah kebersamaan, solideritas, dan saling menolong. ***to
Saturday, March 21, 2020
Karl Max and Virus Corona
Reviewed by JMG
on
March 21, 2020
Rating: 5