Friday, December 20, 2019
TAMPI BERAS (Oneul Mohae)
Dalam perkembangan alam yang semakin rusak dan polusi yang meningkat, oknum manusia semakin membuat benteng untuk perlindungannya nanti ketika tiba saatnya bumi dilanda kehancuran. Benteng ini telah lahir dalam bentuk teknologi mapan, pemikiran yang terlalu rasional dan mimpi akan kehidupan yang layak di Mars atau planet lain.
Manusia tak bisa lepas dari cita-cita yang harus ia wujudkan, baik itu cita-cita menjadi penguasa, asisten penguasa atau pesuruh penguasa. Penguasa disini adalah mereka yang kelak akan menguasai orang lain atau hal yang bisa jadi andalannya kedepan. Tak bisa dipungkiri, manusia akan melakukan semuanya untuk mencapai cita-cita itu dan itu berdampak pada orang lain yang belum memiliki cita-cita seperti itu.
Tulisan kali ini ingin membahas sesuatu yang beda, ketika orang lain memikirkan kemajuan, aku ingin memikirkan salah satu akibat negatif kemajuan itu dan mengangkat itu sebagai bahan kajian yang perlu dimatangkan lagi dalam kehidupan bermasyarakat.
“TAMPI”. . . siapa sih yang kenal dengan salah satu jenis smartphone yang bisa 4G-an ini?
Hahaha, sory sory...aku terbawa iklan HP.
Tampi adalah alat yang sering digunakan manusia untuk membersihkan beras dari sisa kulitnya, berbentuk persegi, bulat atau setengah bulat dibuat dari anyaman tanaman. Menurut situs kbbi.we.id, tampi (menampi) merupakan istilah membersihkan beras, padi, kedelai dan sebagainya dengan nyiru, digerakkan turun naik. Dari istilah ini kita bisa memahami tampi, menampi, dan nyiru adalah satu kesatuan makna pengerjaan untuk membersihkan beras dan lainnya dan dalam kehidupan masyarakat yang belum mengandalkan beras indromaret atau swalayan lainnya, istilah tampi sering terdengar akrab dalam kegiatan per-beras-an.
Aku ingin menggunakan kata Tampi dalam kajian berikutnya karena mengacu pada kebiasaan masyarakat dalam membersihkan beras dibanding menggunakan nyiru sebagai alatnya. Tampi dalam kehidupan masyarakat biasa erat maknanya sebagai kegiatan awal sebelum pada aktivitas utama memasak nasi. Biasanya beras-beras yang baru keluar dari kilang padi masih menyisakan kulit padi dan butir kotoran atau debu yang ikut menempel pada beras itu sendiri. Sehingga membutuhkan gerakan tangan untuk menggunakan nyiru membersihkan itu lagi hingga sampai dipenghujung acara, berasnya sudah benar-benar bersih dan siap untuk di tanak.
Yang bisa kita pahami disini adalah, adanya kearifan budaya untuk memaknai beras sebagai anugerah dan perlu pengerjaan khusus sehingga sampai didalam perut. Kearifan disini atas dasar pemahaman aku sendiri, ketika beras dibersihkan dengan tampi, ada 3 hal yang perlu diperhatikan:
i. Arah mata si penampi. Aku pernah melihat ibuku sendiri menampi beras dengan seksama. Sungguh sebuah kegiatan yang perlu keseriusan. Ketika aku mencoba mengganggunya dengan memakan beras yang sudah bersih, ia marah dan mengatakan bahwa aku mengoceh perhatiannya pada beras yang sedang ditampi. Aku melihat gerakan matanya yang sangat teliti dan tajam mengayunkan nyiru. Gerakan mata juga diperlukan untuk teliti sehingga tidak ada beras bersih yang terbuang bebas ikut dengan kotoran lainnya.
ii. Hembusan. Beberapa hembusan juga diperlukan sebagai pendorong keluarnya sisa kulit padi yang masih menempel. Pelaksanaanya sama seperti menghembus air minum yang masih panas tetapi arahnya lebih kuat sehingga menekan keluar kotoran dalam kumpulan tampian beras
iii. Tangan yang lihai. Inti dari semua aktivitas penampian beras adalah kelihaian tangan mengayunkan nyiru. Dari beberapa pengamatan masyarakat desa, penampian beras jelas lebih kepada pemaknaan. Kenapa? Seperti kalimat diawal tadi, beras adalah anugerah kehidupan sehingga perlu perlakuan khusus dari setiap yang akan menikmatinya. Itu terasa pada gerakan tangan memainkan nyiru membersihkan beras, diayunkan keatas sejajar hidung dan kebawah sebatas pinggang. Ada juga orang yang akan memaknainya berbeda dengan cara mengayunkannya seperti membentuk lingkaran kedalam. Dari gerakan ini, filosofi penampian terlihat secara tak langsung, dimana tangan yang menanam dan tangan pula yang membersihkannya. Artinya, gerakan penampian tak sebatas menampi begitu saja, orang yang telah bersusah payah mengerjakan padi hingga menjadi beras punya perlakuan tersendiri ketika ia membersihkan beras sebelum dimasak.
Dari ketiga perhatian diatas, pasti sangatlah menjadi bahan ocehan oleh orang-orang yang dengan teganya memfoya-foyakan nasi hanya karena mereka memakai kata “Uang adalah Segalanya”. Perlakuan beras yang sangat bermakna belum tentu bisa dirasakan oleh mereka yang menggunakan beras swalayan yang sudah steril dan terjamin. Mulai dari penampian saja sudah hal yang asing ketika diperbincangkan karena tak perlu, ada anggapan itu hanya sebatas kegiatan rumahan para ibu-ibu. Tetapi disini aku melihat filosofi yang sangat berpengaruh dalam hidup. Tampi bukanlah aktivitas rumahan, melainkan perlakuan khusus yang diikat oleh kearifan budaya, dijadikan sebagai proses awal penjamuan makan besar. Menampi beras perlu ketelitian, mengandaikan diri ketika memulai sebuah pekerjaan dan itu perlu hati dan pikiran yang sinkron dan sungguh-sungguh melakukannya. Hidup ini juga adalah sebatas hembusan persekian detik, dan ketika tiba saatnya MATI, hembusan itu akan berhenti beraktivitas dan kita tidak tahu selanjutnya apa yang akan terjadi.
Melihat ibu-ibu di desa dan sebagian ibu-ibu di kota yang menampi beras adalah suatu kebahagiaan karena, mereka menjiwai penampian itu untuk kesehatan juga. Gerakan tangan untuk mengendurkan otot-otot yang kaku, ketelitian mata untuk melatih penglihatan agar selalu fokus dan hembusan yang mengingatkan kita akan hidup yang sebenarnya.
Jadi, ketika tampi digantikan oleh beras-beras steril yang bisa dengan seenaknya dibeli diswalayan, mahal, menjadi kebutuhan utama, secara langsung melepas khasanah kearifan. “kampungan banget sih, masih make tampi”, adalah ocehan yang aku dengar terlontar dari seorang ibu muda kepada seorang wanita tua. Mungkin karena ia melihat tampi yang sudah koyak ditempeli lem sebagai perekat, makanya ia mengatakan seperti itu, tetapi yang bisa dipahami bahwa ibu muda itu belum paham mengenai beras yang selama ini ia makan. Bisa dikatakan beras swalayan memang steril tetapi apa bisa dikatakan sepenuhnya sehat dibanding hasil sendiri, ditampi sendiri dan dimasak sendiri. Beras yang ditampi oleh wanita tua itu sendiri adalah hasil sawahnya sendiri, sehingga ia mengetahui susah payahnya mengusakan sepiring nasi untuk dimakan.
Beda dengan kehidupan sekarang, dimana nasi dalam setiap acara atau pesta selalu ada lebihnya hanya karena kebutuhan mereka lebih dari itu. Perhatian lebih bisa ditujukan pada msyarakat marjinal, yang masih membutuhkan makanan, disisi lain orang-orang besar dengan ludahnya ia membuang nasi yang tak sesuai dengan lidah emasnya.
Sekali lagi, semua itu karena tampi, tampi menggerakkan masyarakat modern untuk berpindah menggunakan alat pembersih yang lebih keren dan cepat. Dibanding tampi yang butuh orang banyak dengan waktu yang sangat lama membersihkan 1 juta ton beras.
Ironisnya itu adalah tegakah kita membuang nasi walaupun sebutir ? apa yang akan kau lakukan ketika beras yang menjadi 5 sehat 4 sempurnamu tidak ada? Atau hilang dari peredaran tanpa melihat makanan pengganti lain ? pasti ada yang kurang. Jadi utamanya, hargailah anugerah kehidupan itu dengan lebih berperikemanusiaan.
http://leosihura.blogspot.com/2016/12/tampi-beras-oneul-mohae.html
TAMPI BERAS (Oneul Mohae)
Reviewed by JMG
on
December 20, 2019
Rating: 5